Suap di Balik Pengutak-atikan Kursi
Rabu (8/1/2020) menjadi hari yang sibuk bagi Komisi Pemberantasan Korupsi. Belum tuntas kelanjutan operasi tangkap tangan terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah, giliran komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, yang terjaring karena diduga bersekongkol dengan politisi partai penguasa untuk memuluskan ambisinya.
Kasus ini berawal dari informasi adanya transaksi dengan Wahyu melalui orang kepercayaannya, yakni Agustiani Tio Fredelina, bekas anggota Badan Pengawas Pemilu 2008-2012. Agustiani juga bekas calon anggota legislatif (caleg) PDI-P dari daerah pemilihan Jambi. Dari kasus tersebut tim KPK pun mulai bergerak.
Wahyu pun diturunkan dari pesawat yang hendak membawanya ke Bangka-Belitung, Rabu sekitar pukul 12.55. Sementara Agustiani dijemput di rumahnya dengan barang bukti berupa uang Rp 400 juta dalam denominasi dollar Singapura, bersumber dari Saeful Bahri, staf Hasto Kristiyanto (Sekretaris Jenderal PDI-P), dan sebuah buku rekening pada pukul 13.14.
Selanjutnya, di salah satu tempat makan di kawasan Sabang, Jakarta, Saeful dan advokat dari PDI-P, Donny Tri Istiqomah, turut ditangkap, Rabu sekitar pukul 13.26.
Upaya suap terhadap Wahyu itu bertujuan untuk mengamankan kursi DPR untuk caleg PDI-P dari Dapil Sumatera Selatan I, Harun Masiku. Kursi di dapil tersebut memang sempat kosong setelah caleg PDI-P dengan perolehan suara terbanyak, Nazaruddin Kiemas, meninggal pada Maret 2019.
Secara paralel, tim di lapangan terus bergerak untuk memburu pihak lain yang terkait. Antara lain, Harun Masiku dan salah satu pengurus PDI-P selaku sumber uang Rp 400 juta. Sekitar pukul 20.00, tim tiba di areal gedung Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta karena menerima informasi bahwa elite PDI-P yang hendak diambil berada di situ.
Namun, belum sampai masuk ke dalam gedung, tim dari KPK lebih dulu dihadang petugas kepolisian yang meminta identitas anggota tim itu. Selanjutnya, mereka dibawa ke suatu tempat untuk menjalani serangkaian pemeriksaan sampai tes urine meski telah menunjukkan identitas sebagai tim dari KPK. Selepas subuh, tim itu baru dilepaskan kembali, tanpa berhasil mengambil sosok yang dimaksud.
Mengenai hal ini, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Argo Yuwono membenarkan bahwa ada tim penyidik KPK yang memasuki kompleks PTIK. Namun, seperti dikutip Kompas.com, Argo menyebutkan, kehadiran penyidik KPK itu untuk menunaikan ibadah shalat.
Keesokan pagi, Kamis (9/1), beredar kabar di kalangan media bahwa tim KPK dihambat saat akan melakukan penyegelan ruang Sekjen PDI-P karena tak membawa surat tugas. Hal ini segera dibantah Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar bahwa timnya membawa surat tugas lengkap, tapi tak kunjung memperoleh izin dari pihak pengamanan gedung untuk melakukan penyegelan.
Nama Hasto pun santer dikaitkan setelah peristiwa itu. Dari informasi yang didapat terungkap, sosok yang dikejar hingga ke gedung PTIK adalah Hasto. Saat hal ini dikonfirmasi, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, ”Benar, pada saat itu tim ke PTIK. Tim sempat dicegat dan diminta identitasnya. Lalu diproses dan ditanya-tanya sampai tes urine.”
Namun, Hasto membantah dan berdalih malam itu ia bertemu sejumlah pemimpin redaksi media dalam rangka menyampaikan informasi penyelenggaraan Rapat Kerja Nasional PDI-P.
Aktif melobi
Sejak Juli 2019, setelah Kiemas wafat, DPP PDI-P aktif menempuh berbagai upaya untuk melobi KPU dan memastikan Harun mendapat kursi di DPR. Upaya pertama dilakukan dengan mengajukan uji materi Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu. Permohonan yang diajukan pada 24 Juni 2019 itu secara resmi diajukan oleh Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Hasto. Keduanya memberi kuasa kepada Donny Tri Istiqomah, advokat partai yang sempat diamankan KPK tapi sudah dilepas.
Salah satu pokok permohonannya agar dalam rekapitulasi suara, partai berwenang menetapkan sendiri caleg yang berhak mendapat pengalihan suara caleg yang sudah meninggal. Alasannya, kendali pencalonan ada di tangan partai politik selaku peserta pemilu. Pada 19 Juli 2019, MA mengabulkan sebagian permohonan itu dan dalam pendapatnya menilai pengalihan suara caleg meninggal menjadi diskresi partai.
Mendapat lampu hijau dari MA, upaya kedua pun diluncurkan DPP PDI-P pada 5 Agustus 2019. Dengan ditandatangani Hasto, DPP PDI-P menyurati KPU agar melaksanakan putusan MA. DPP meminta agar suara Kiemas dialihkan ke Harun Masiku.
Namun, KPU menolak permintaan PDI-P karena berdasarkan Pasal 426 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, KPU berwenang mengganti caleg terpilih yang meninggal dengan caleg berperolehan suara kedua terbanyak di dapil itu. Lagi pula, putusan MA juga tidak memberi perintah eksplisit seperti itu ke KPU.
Di Dapil Sumsel I, perolehan suara kedua terbanyak milik Riezky Aprilia dengan 44.402 suara. Harun Masiku ada di urutan ketiga terbawah dengan 5.878 suara. Rapat pleno KPU pada 31 Agustus 2019 pun tetap menetapkan Riezky sebagai calon terpilih PDI-P di Dapil Sumsel I.
Tidak kehabisan akal, PDI-P kembali mengirim surat pada 13 September 2019, meminta KPU memberikan suara Kiemas kepada Harun. Surat berikutnya, pada 6 Desember 2019, bernada sama tapi berupa permohonan pergantian antarwaktu (PAW) Riezky dengan Harun. Kedua surat itu juga ditandatangani Hasto. Namun, KPU tetap bergeming.
Upaya PDI-P tidak berhenti sampai di situ. Pada 6 Januari 2020, Agustiani mengontak Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini berkali-kali. Saat itu Agustiani menyebut ingin berkonsultasi hukum untuk mencari celah hukum mekanisme PAW agar Harun bisa menggantikan Riezky.
”Bu (Agustiani) Tio sampai menelepon saya beberapa kali, katanya, DPP memerintahkan saya untuk mengurus hal ini,” kata Titi yang belum menyanggupi permintaan Agustiani.
Dibenahi
Untuk melancarkan perolehan kursi DPR untuk Harun Masiku, Wahyu minta Rp 900 juta yang kemudian direalisasikan dalam dua tahap. Tahap pertama pada pertengahan Desember 2019, uang Rp 400 juta diberikan melalui Saeful dan Doni yang kemudian menyerahkan uang itu kepada Agustiani Tio untuk diteruskan ke Wahyu.
Namun, identitas sumber dana ini tak diungkap dengan alasan sedang didalami. Sesuai pemeriksaan, Jumat (10/1) dini hari, Saeful mengonfirmasi sumber uang yang diserahkan kepada Agustiani Tio untuk Wahyu berasal dari Hasto. Namun, Hasto membantah terlibat dengan hal itu.
Kasus dugaan suap yang menjerat wasit pemilu sekaligus peserta pemilu ini menunjukkan persoalan krusial dalam kelembagaan partai politik dan penyelenggara pemilu. Ambiguitas dalam implementasi aturan mekanisme pengalihan suara caleg yang meninggal serta proses pergantian antarwaktu anggota DPR dapat menjadi celah intimidasi dan praktik transaksional di partai-partai.
Ke depan, aspek mekanisme pergantian antarwaktu hingga integritas penyelenggara pemilu perlu dibenahi. Agenda reformasi sistem politik dan kepemiluan secara holistik dan komprehensif menjadi keharusan demi menyelamatkan kualitas demokrasi.