Tak Mudah Mengusir AS dari Timur Tengah
Bagi Iran, pertarungannya dengan Amerika Serikat masih panjang. Setelah pembalasan Iran atas wafatnya Qassem Soleimani dengan serangan 22 rudal balistik ke kamp militer AS di Irak, perkara Iran-AS belumlah selesai.
Bagi Iran, pertarungannya dengan Amerika Serikat masih panjang. Setelah Mayor Jenderal Qassem Soleimani wafat, Iran telah membalas dengan serangan 22 rudal balistik ke kamp militer AS, Ain al-Assad dan kamp militer Harir, di Irak Rabu (8/1/2020). Namun, perkara belum selesai.
Semua pejabat tinggi Iran menegaskan, setelah serangan balasan dengan 22 rudal balistik itu dilancarkan, perjuangan balasan hakiki melawan AS justru baru dimulai. Targetnya, tak lain, adalah untuk mengusir AS dari kawasan Timur Tengah.
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei dalam pidato kepada rakyat Iran, beberapa jam seusai serangan balasan tersebut, menegaskan, serangan balasan Iran saat itu tidaklah cukup. Serangan tersebut harus dilanjutkan dengan upaya mengusir AS dari Irak dan kawasan Timur Tengah.
Baca juga: Iran Balas Serang, AS Klaim Aman
Presiden Iran Hassan Rouhani juga menegaskan hal yang sama. Aksi balasan hakiki terhadap AS, katanya, adalah perjuangan mengusir AS dari Timur Tengah.
Juru Bicara Pemerintah Iran Ali Rabiei dalam konferensi pers di Teheran, Rabu itu, menyatakan pula bahwa keberhasilan mengusir kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) merupakan pendahuluan menuju upaya mengusir AS dari Timur Tengah.
Baca juga: Rouhani Serukan Iran Bersatu Melawan AS
Karena itu, Iran dan para loyalisnya memandang keputusan sidang darurat parlemen Irak pada Minggu (5/1/2020), yang meminta hengkangnya pasukan asing dari Irak, merupakan kemenangan politik. Keputusan itu dinilai sebagai langkah awal mengakhiri keberadaan pasukan asing di Irak. Keputusan parlemen Irak tersebut dianggap sesuai dengan visi Iran di Timur Tengah.
Namun, sesungguhnya visi Iran itu sulit diimplementasikan saat ini di Timur Tengah, bahkan juga di Irak. Terlalu banyak kekuatan politik yang butuh keberadaan pasukan AS di Irak ataupun Timur Tengah.
Sulit diwujudkan
Namun, sesungguhnya visi Iran itu sulit diimplementasikan saat ini di Timur Tengah, bahkan juga di Irak. Terlalu banyak kekuatan politik yang butuh keberadaan pasukan AS di Irak ataupun Timur Tengah. Posisi AS masih terlalu solid.
Di Irak sendiri, perimbangan kekuatan politik setelah letupan unjuk rasa besar sejak Oktober 2019, melawan elite penguasa Irak dan pengaruh Teheran di negara itu, semakin tidak menguntungkan Iran.
Unjuk rasa besar yang merebak di wilayah berpenduduk mayoritas Syiah di Baghdad serta provinsi-provinsi di Irak selatan dan barat daya telah memecah kubu Syiah antara kelompok pro dan kontra terhadap unjuk rasa tersebut. Hal ini tentu melemahkan posisi politik kaum Syiah di Irak sekaligus pengaruh Iran di negara itu.
Baca juga: Retaknya Rumah Besar Syiah
Pemerintahan PM Adel Abdul Mahdi dukungan Iran akhirnya juga tumbang, awal Desember lalu, akibat tekanan unjuk rasa tersebut. Selain itu, sidang darurat parlemen Irak yang meminta hengkangnya pasukan asing di Irak itu juga hanya dihadiri 168 orang dari 329 anggota parlemen.
Sidang parlemen tersebut tidak dihadiri para anggota parlemen dari kaukus Kurdi dan sebagian besar kubu Sunni. Artinya, kaum Sunni dan Kurdi Irak menolak hasil sidang darurat parlemen tersebut.
Saat ini, ada dua kesepakatan terkait keberadaan pasukan asing di Irak. Pertama, kesepakatan keamanan Irak dan AS tentang status keberadaan pasukan AS di Irak (status of forces agreement/SOFA) tahun 2008. Kedua, kesepakatan tahun 2014 yang menegaskan permintaan bantuan Irak kepada masyarakat internasional untuk memerangi NIIS dan soal keanggotaan Irak dalam koalisi internasional melawan NIIS. AS kini diperkirakan memiliki sekitar 5.200 anggota pasukan di Irak.
Lebih dari itu, menurut konstitusi Irak, adalah Pemerintah Irak yang berwenang melaksanakan hasil sidang parlemen itu. Sementara status pemerintah PM Adel Abdul Mahdi sekarang adalah pemerintahan ad interim setelah Mahdi mengundurkan diri awal Desember lalu. Pemerintah ad interim di Irak tidak memiliki wewenang mengambil keputusan besar, seperti meminta hengkangnya pasukan asing dari Irak.
Karena itu, pelaksanaan hasil sidang darurat parlemen Irak itu harus menunggu pembentukan pemerintah baru Irak secara resmi. Dalam konteks ini, tentu AS tidak akan tinggal diam.
AS akan melakukan segala cara agar Pemerintah Irak mendatang harus sesuai dengan kepentingan AS di negara itu.
Berpengaruh kuat
AS akan melakukan segala cara agar Pemerintah Irak mendatang harus sesuai dengan kepentingan AS di negara itu. AS masih cukup mempunyai pengaruh kuat di Irak untuk ikut menentukan pembentukan pemerintah negara itu.
Bagi AS, hengkang dari Irak sama saja menyerahkan Irak kepada Iran. Persoalan itu adalah garis merah yang tidak mungkin dilakukan siapa pun yang berkuasa di Gedung Putih. Pertarungan besar AS saat ini adalah meredam pengaruh Iran di Timur Tengah.
Jangankan meninggalkan Irak, AS pun akan menolak hengkang dari Suriah dengan dalih untuk mengimbangi kehadiran Iran di negara itu. Disinyalir AS masih mempunyai sekitar 2.000 anggota pasukan di Suriah timur laut. Seperti diketahui, bersama Lebanon dan Yaman, Suriah adalah bagian dari poros Iran.
Logikanya, jika AS menolak pergi dari Irak dan Suriah, bagaimana mungkin Washington akan hengkang dari kawasan Timur Tengah. Keberadaan pasukan asing, khususnya pasukan AS, di Timur Tengah sangat terkait dengan pertarungan geopolitik di kawasan tersebut.
Baca juga: Permainan Berbahaya AS di Teluk
Seperti dimaklumi, ada tiga poros besar di Timur Tengah saat ini. Tiga poros itu adalah poros Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA); poros Turki-Qatar; dan poros Iran beserta loyalisnya. Sebagian besar pasukan AS dan asing berada di wilayah poros Arab Saudi-Mesir-UEA dan poros Turki-Qatar. Keberadaan pasukan AS memang hasil permintaan negara-negara dalam poros itu.
Pangkalan-pangkalan militer AS yang tersebar di Kuwait, Bahrain, Qatar, UEA, dan Arab Saudi hadir sejak invasi Irak ke Kuwait tahun 1990. Pasca-Perang Teluk 1990-1991, AS menandatangani kesepakatan keamanan dengan negara-negara Arab Teluk tersebut untuk menyediakan pangkalan militer AS secara permanen di negara-negara Arab Teluk itu.
Baca juga: Peringatan Kaukus Iran dan Dilema AS-Arab Saudi
Pada era rezim Saddam Hussein di Irak, semua pangkalan militer AS di negara-negara Arab Teluk tersebut dibangun untuk menghadapi ancaman rezim Saddam Hussein. Namun, pasca-ambruknya rezim Saddam tahun 2003, pangkalan militer AS lebih diprioritaskan untuk menghadapi ancaman Iran dan NIIS.
Maka, bisa dikatakan, tidak mungkin Iran bisa mengempaskan pangkalan militer AS dari negara-negara Arab Teluk itu. Keberadaan pangkalan-pangkalan militer AS tersebut justru bertujuan untuk menghadapi ancaman Iran.
AS kini memiliki pangkalan udara dan pangkalan laut terbesar di Timur Tengah, yaitu Pangkalan Udara Al Udeid di Qatar dan Pangkalan Laut Armada V di Bahrain. Di Qatar, terdapat lebih dari 10.000 personel pasukan AS, di Bahrain terdapat 9.335 personel pasukan AS.
Baca juga: Dilema Qatar Terjepit AS dan Iran
Di Kuwait, AS memiliki beberapa pangkalan militer, yaitu kamp militer Doha, kamp militer Ali Salem, Al Jahra, Al Udari, dan kamp militer Arifjan. Pasukan AS di Kuwait berjumlah 16.592 personel. Di UEA, AS menggunakan Pangkalan Udara Dhafra dan Pelabuhan Jabal Ali. Di UEA ada 4.240 personel pasukan AS.
Di Oman, sejak 1980 melalui kesepakatan keamanan AS-Oman, AS mendapatkan fasilitas militer serta dapat menggunakan pelabuhan dan pangkalan udara di Oman untuk keperluan operasi militernya di Timur Tengah. Di Arab Saudi, AS juga diizinkan menggunakan semua pangkalan militer di negara tersebut.