Nelayan di Natuna, Kepulauan Riau, menolak rencana pemerintah mendatangkan ratusan kapal nelayan dari pantai utara Jawa.
Oleh
·3 menit baca
NATUNA, KOMPAS—Nelayan di Natuna, Kepulauan Riau, menolak rencana pemerintah mendatangkan ratusan kapal nelayan dari pantai utara Jawa. Pemerintah diminta fokus memberdayakan nelayan lokal dan menyatukan kewenangan pengamanan di laut kepada satu institusi penjaga pantai.
Sejumlah perwakilan kelompok nelayan dari tujuh kecamatan di Natuna, Minggu (12/1/2020), berkumpul di Ranai. Mereka sepakat meminta pemerintah mengkaji kembali rencana mobilisasi ratusan kapal nelayan dari pantura Jawa karena dinilai bisa memicu konflik baru.
Ketua Rukun Nelayan Kelurahan Sepempang di Kecamatan Bunguran Timur Hendri mengatakan, cantrang yang lazim digunakan nelayan pantura Jawa efektif di kedalaman 20-50 meter. Padahal, zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara berkedalaman 100 meter lebih.
”Kalau situasinya begitu, pasti mereka lebih banyak menangkap ikan di zona 30 mil ke bawah. Itu memicu konflik daerah tangkapan dengan nelayan tradisional sini,” ujarnya. Di Natuna, mayoritas nelayan mengandalkan alat tangkap tradisional berupa pancing untuk menangkap ikan karang dan tongkol. Warga Natuna mempertahankan cara tangkap tradisional demi menjaga kelestarian sumber daya ikan.
Daripada mendatangkan nelayan dari pantura, kata Hendri, pemerintah bisa memberdayakan nelayan Natuna. Bantuan yang diharapkan berupa kapal berukuran 8-10 gros ton (GT). Kapal itu sesuai kebutuhan dan cara tangkap selama ini. ”Sarana pendukung kios bahan bakar dan pabrik es juga masih langka. Setiap akan melaut, nelayan di Natuna biasanya harus mengantre isi bahan bakar 2-3 hari,” ujar Hendri.
Aspirasi nelayan Natuna itu direspons positif kolega mereka di pantura Jawa.
Aspirasi nelayan Natuna itu direspons positif kolega mereka di pantura Jawa. Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kota Tegal, Jawa Tengah, Riswanto siap mengikuti aturan pemerintah, termasuk soal wilayah tangkapan, jenis kapal, jumlah nelayan, dan jenis alat tangkap yang direkomendasikan. Dengan demikian, potensi konflik dengan nelayan lokal dapat terhindarkan.
Melaut di Laut Natuna Utara idealnya perlu kapal di atas 100 GT. Riswanto berharap semua jenis alat tangkap boleh digunakan di Natuna, termasuk cantrang. Cantrang, menurut dia, alat tangkap yang dapat digunakan di semua musim. ”Nelayan-nelayan asing di Natuna itu menggunakan alat tangkap modern, misalnya pukat harimau. Masak kita tetap mau pakai alat tangkap tradisional?” kata Riswanto.
Gegabah
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (CMSH) Abdul Halim menilai, langkah pemerintah dalam mengatasi konflik di Laut Natuna Utara terkesan reaktif. Upaya penguasaan efektif di perairan itu seharusnya bisa didahului rencana pengelolaan perikanan yang matang.
Kementerian Kelautan dan Perikanan belum memiliki rencana pengelolaan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 711 yang meliputi Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan. Padahal, potensi sumber daya ikan di perairan itu 767.126 ton.
”Saat ini, pemerintah hanya berpikir memobilisasi nelayan sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan dampak lanjutannya. Ketidakjelasan perencanaan dan strategi pengelolaan sumber daya ikan itu pada akhirnya memicu penolakan nelayan di Natuna terhadap kedatangan nelayan pantura,” kata Abdul.
Tokoh nelayan di Natuna, Rodhial Huda, menegaskan, Natuna tak kekurangan jumlah nelayan. Pemerintah tak perlu mendatangkan dari daerah lain. Yang lebih dibutuhkan penambahan armada penjaga pantai agar keamanan dan keselamatan nelayan lokal bisa terjamin ketika melaut hingga ZEE.
Kini, saatnya pemerintah membentuk institusi penjaga pantai dengan kewenangan penuh dalam pengamanan di laut.
Kini, saatnya pemerintah membentuk institusi penjaga pantai dengan kewenangan penuh dalam pengamanan di laut. Itu dinilai memudahkan penindakan terhadap penangkapan ikan ilegal di perairan ZEE.
Di Jakarta, Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan Laksamana Madya Yudo Margono mengatakan, Laut Natuna Utara telah kondusif. Seluruh kapal ikan dan penjaga pantai China telah meninggalkan ZEE, Minggu pukul 14.00.
”Dari laporan KRI dan pantauan langsung Boeing 737 tadi pukul 14.00, kapal-kapal asing telah meninggalkan ZEE. Jarak mereka dari Ranai sekitar 200 sampai 230 nautical mile dari Ranai,” kata Yudo. Meski begitu, patroli KRI dan pesawat udara tetap digelar. Hingga Minggu malam, dua KRI masih berpatroli. Sebagian lainnya mengisi bahan bakar. (NDU/XTI/EDN)