Lubang-lubang di Desa Lebbo Tengae
Gemuruh di dalam perut bumi mengawali terjadinya sebuah lubang di Desa ”Lubang Tengah”. Dalam hitungan jam, tanah di sekitar lubang bergulung, lalu membentuk lubang besar dengan kedalaman lebih dari 60 meter.
Gemuruh di dalam perut bumi mengawali terjadinya sebuah lubang di Desa ”Lubang Tengah”. Dalam hitungan jam, tanah di sekitar lubang bergulung, lalu membentuk lubang besar dengan kedalaman lebih dari 60 meter. Meski telah terbiasa dengan amblesan, mitigasi masih menjadi momok bagi warga, bahkan pemerintah, di wilayah dengan daerah karst terbesar kedua di dunia ini.
Memanggul cangkul, Mappiare (45) berjalan di pematang untuk beranjak pulang. Hari itu telah tiba tengah hari, Senin (30/12/2019), di Desa Lebbo Tengae, Cenrana, Maros, Sulawesi Selatan. Langkahnya berhenti ketika sejumlah orang berada di sekitar lubang amblesan yang telah dipenuhi air, sekitar 30 meter dari sawahnya.
Ayah tiga anak ini berbincang sejenak kepada pengunjung dengan cangkul masih tersampir di pundak. Para pengunjung mendekat ke arah lubang atau sinkhole ini. Beberapa di antaranya, termasuk anak- anak, bahkan hanya berjarak 20 sentimeter dari bibir lubang. Mereka para pengunjung yang penasaran digerakkan informasi viral di dunia maya.
Mappi, panggilannya, tetap menjaga jarak. ”Baru hari ini saya berani dekat ke lubang. Sejak mulai terjadi, sampai kemarin, saya kalau ke sawah lewat pematang situ,” tunjuknya ke arah pematang sebelah yang berjarak 50 meter.
Bukan tanpa alasan tentunya. Mappi menjadi salah satu saksi proses terbentuknya lubang di dekat petakan sawahnya. Rabu (23/12/2019), sekitar pukul 09.00, ia berencana melanjutkan pengerjaan tanah di sawahnya menggunakan traktor. Bersantai sejenak di saung tanpa atap di petakan sawahnya, bunyi gemuruh terdengar.
Tiga rekannya, Muzakkar, Sulaeman, dan Pudding, sesama petani yang sawahnya berdekatan, bergegas mendekat ke saung. Seorang dari mereka mengatakan, asal gemuruh tersebut berasal dari alat berat yang sedang melewati jalan desa. ”Rusak lagi jalan kalau begitu,” timpal Mappi. Jalan di desanya baru dibeton beberapa tahun lalu.
Tanah yang ditumbuhi rumput kecil ikut bergulung masuk ke sumber asap, membentuk sebuah lubang.
Akan tetapi, gemuruh itu tidak jua hilang. Setelah berbatang-batang rokok kretek mereka isap, gemuruh itu seakan menjadi-jadi. Suara gemuruh itu bertambah dengan suara limpasan air. Lalu, asap putih membubung ke udara. Mappi melongok dari atas saung dan melihat asap putih dari tengah petakan sawah. Bersamaan dengan itu, tanah yang ditumbuhi rumput kecil ikut bergulung masuk ke sumber asap, membentuk sebuah lubang.
”Saya pikir sudah seperti di Palu, tanah longsor. Kami langsung lari amankan traktor,” cerita Mappi. Lubang itu awalnya hanya berdiameter kurang dari 1 meter. Seiring waktu, lubang bertambah lebar dan dalam.
Air dari saluran irigasi yang terletak tepat di bibir lubang masuk ke dalamnya. Dari bawah, air juga keluar. Hingga hampir dua pekan, lubang atau yang dikenal dengan istilah sinkhole tersebut telah mencapai diameter 20 meter. Kedalamannya pun sudah lebih dari 60 meter.
Muzakkar (45) sudah beberapa kali melihat air yang masuk ke sebuah lubang tanpa tahu ke mana ujungnya. Akan tetapi, ia mengatakan, ”Baru kali ini lihat depan mata sampai besar begini. Jangan-jangan nanti masih bisa tambah lebar, atau ada lubang lain?”
Desa Lebbo Tengae berada di Kecamatan Cenrana, Maros, sekitar 70 kilometer dari Kota Makassar. Desa yang dimekarkan tahun 1980 ini awalnya bergabung denghanDesa Labuaja. Dengan kontur alam berbukit- bukit, dialiri Sungai Camba, dan rimbunnya pepohonan, desa ini terbilang asri.
Lebbo Tengae
Sejak mekar, desa seluas 17 kilometer persegi ini diberi nama Lebbo Tengae. Secara harfiah, Lebbo Tengae yang diambil dari bahasa Bugis, jika diartikan dalam bahasa Indonesia, berarti ”lubang tengah”. Muzakkar menceritakan, sejauh yang ia tahu, nama desa ini baru disepakati ketika desa ini terbentuk. Sebelumnya, nama Lebbo Tengae tidak pernah ada, baik nama kampung maupun nama dusun.
Nama desa ini ditetapkan beberapa tokoh masyarakat dan aparat desa saat musyawarah pemekaran desa dilakukan.
”Mungkin karena desa ini dikelilingi gunung-gunung. Di empat penjuru mata angin semua gunung. Karena kayak mangkuk, maka mungkin disebut Lebbo Tengae,” ucap ayah tiga anak ini. Ia juga tak tahu pasti ternyata. Eni (50), pegawai di kantor desa, punya cerita lain. Menurut cerita dari orang tua yang ia dengar berkali-kali, nama desa ini ditetapkan beberapa tokoh masyarakat dan aparat desa saat musyawarah pemekaran desa dilakukan.
Ketika itu, selain perangkat Desa Labuaja, juga ada perwakilan Desa Laiya dan Desa Lima Peccoe. Sebab, wilayah desa baru ini akan mengambil wilayah tiga desa tersebut. ”Kebetulan lokasi pertemuannya di Dusun Parigi, yang di dekatnya ada lubang amblesan. Daerah itu juga pas berada di tengah-tengah desa. Katanya, dari situ diambil nama Lebbo Tengae yang berarti lubang tengah,” kata Eni.
Desa ini memang memiliki kontur berbukit, yang sebagian besar adalah rangkaian pegunungan karst, masih rangkaian karst Bantimurung, yang masuk dalam Taman Bumi (Geopark) dunia tersebut. Total luas karst di Maros dan Pangkep 43.750 hektar, yang sebagian di antaranya masuk dalam konsesi pertambangan. Tidak heran jika kemudian daerah ini kaya air dan banyak ditemukan lubang amblesan.
Dalam 20 tahun terakhir, selain sinkhole yang terjadi saat ini, telah ada dua sinkhole lain yang terbentuk di sekitarnya. Pola amblesan membentuk garis lurus sehingga dicurigai terkait adanya aliran sungai bawah tanah di wilayah tersebut. Berdasarkan data geologi kawasan ini, tanah di Desa Lebbo Tengae adalah aluvial yang memiliki kedalaman 5 meter. Akan tetapi, di bawah tanah tersebut membentang batuan gamping seluas lebih kurang 30 kilometer.
”Batuan gamping formasi Tonasa adalah namanya,” kata Kepala Pusat Kebencanaan Universitas Hasanuddin Adi Maulana yang sedang melakukan kajian lengkap di daerah ini. ”Lapisan batuan tersebut 600-700 meter ke bawah. Jadi, memang sangat mungkin adanya sungai bawah tanah. Kami sedang memetakan saluran sekaligus sungai bawah tanah yang ada. Hal ini penting agar saluran ke sungai diketahui untuk mitigasi ke depan. Dan, untuk peringatan, tanah di lokasi sinkhole belum stabil.”
Minim mitigasi
Meski tanah belum stabil, lokasi sinkhole tersebut ramai dikunjungi warga. Sejumlah pengunjung datang setiap hari, terutama dari desa tetangga. Bahkan, ada juga yang dari luar Kabupaten Maros. Pemerintah Kabupaten Maros pun berencana menjadikan daerah ini lokasi wisata. Kepala Bagian Humas Pemkab Maros Darmawati, yang dihubungi pekan lalu, menyampaikan, rencana menjadikan daerah tersebut sebagai lokasi wisata muncul dari Bupati Maros Hatta Rahman.
”Kalau Pak Bupati (Maros) menurut rencana akan bikin tempat wisata di situ. Karena lubangnya ramai dikunjungi orang dan pemandangannya sangat indah. Mungkin bangun vila atau infrastruktur lainnya. Tetapi, tetap menunggu hasil kajian lengkap dulu,” ujarnya. Adi Maulana menyampaikan, rencana tersebut masih sangat dini diutarakan karenakajian sedang dilakukan dan potensi bencana besar terjadi. Seharusnya, saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengedukasi warga terkait dengan potensi bencana.
Edukasi mitigasi awal penting dilakukan agar warga tahu cara mengantisipasi dan segera bersiap jika amblesan terjadi kembali.
Dengan adanya saluran sungai bawah tanah, kata Adi, tentunya akan ada saluran-saluran lain menuju sungai. Saluran tersebut bisa berada di persawahan, jalan, bahkan di permukiman. Edukasi mitigasi awal penting dilakukan agar warga tahu cara mengantisipasi dan segera bersiap jika amblesan terjadi kembali. Bukan dengan kebijakan lain yang tanpa kajian lengkap dan tuntas.
Perencanaan pembangunan, kata Adi, juga penting dengan kontur geologi yang ada di kawasan ini. ”Kita bisa lihat ada saluran air di dekat sinkhole tersebut. Genangan air akan mempercepat pelapukan dan membuat amblesan terjadi.
Ini juga yang harus dipahami pemerintah agar ketika membangun drainase tidak berada di atas terowongan sungai bawah tanah. Dan perlu diingat, daerah yang berdiri di atas batuan gamping rawan terjadi sinkhole, yang tersebar di banyak daerah di Sulsel.
Bagi masyarakat, mitigasi mungkin menjadi kata yang asing karena tidak pernah disosialisasikan. Apalagi dilakukan dalam kehidupan sehari- hari. Pemerintah yang gagap dengan mitigasi bencana bisa- bisa malah memperparah keadaan.
”Kami di sini cuma mau tahu apakah lubang itu akan semakin besar atau tidak? Juga apa ada lubang lain di sekitar sini. Karena sawah itu satu-satunya yang saya punya,” kata Mappi. Ia khawatir lubang besar ada di bawah sawahnya, tempat ia setiap hari menghabiskan banyak waktu.