Mengukuhkan Kembali Hak Berdaulat di Laut Natuna Utara
Dukungan publik terhadap upaya pemerintah menegakkan kembali hak berdaulat pada wilayah zona ekonomi eksklusif di Laut Natuna Utara tampak nyata.
Oleh
Topan Yuniarto/Litbang "Kompas"
·4 menit baca
Dukungan publik terhadap upaya pemerintah menegakkan kembali hak berdaulat pada wilayah zona ekonomi eksklusif di Laut Natuna Utara tampak nyata. Publik mengapresiasi sikap tegas pemerintah terhadap klaim China di kawasan tersebut.
Presiden Joko Widodo menyatakan tidak ada tawar-menawar dalam kasus klaim China pada wilayah zona ekonomi eksklusif atau ZEE Indonesia. Hak berdaulat Indonesia di ZEE Natuna Utara dijaga lewat penegakan hukum. Indonesia secara tegas menolak klaim historis China atas wilayah laut yang berada di Kepulauan Riau itu. Sikap ini berdasarkan pada status Indonesia yang tidak memiliki tumpang tindih wilayah dengan China di kawasan tersebut. Hal ini diperkuat oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Sikap tegas pemerintah ini diapresiasi publik. Hal ini terangkum dalam jajak pendapat Kompas pekan lalu. Hampir semua responden (93,4 persen) setuju dengan pernyataan dan sikap Presiden Jokowi. Presiden menegaskan tidak akan berkompromi soal hak berdaulat Indonesia di kawasan ZEE Natuna Utara.
Dukungan terhadap sikap pemerintah ini tidak lepas dari sikap publik yang cenderung antusias jika menyangkut kebanggaan mereka terhadap kepentingan bangsa. Setidaknya hal ini juga tertangkap dari antusiasme publik mengikuti pemberitaan terkait polemik klaim China atas wilayah ZEE Indonesia ini. Sebagian besar responden menyatakan mengikuti pemberitaan mengenai Laut Natuna Utara, sebagian di antaranya dengan intensif.
Hak berdaulat
Tentu, bagi publik, klaim China di kawasan Laut Natuna Utara ini mau tidak mau membuka kembali wawasan soal kedaulatan. Kedaulatan dalam kasus ini dimaknai sebagai kewenangan penuh negara atas wilayah, termasuk laut teritorial yang membentang 12 mil laut (22 kilometer) dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Sementara, ZEE merupakan kawasan perairan membentang hingga 200 mil laut (370 km) dari titik pangkal kepulauan. Negara memiliki hak berdaulat di kawasan ZEE, yaitu hak untuk mengelola dan memanfaatkan hasil laut (Kompas, 9/1/2020).
Pengetahuan publik mengenai kedaulatan dan hak berdaulat pada zona teritorial ataupun ZEE menarik untuk disimak. Lebih dari separuh responden (58,5 persen) menyatakan pernah mendengar tentang kedaulatan penuh berada di zona teritorial sejauh 12 mil laut. Sementara, pemahaman publik akan kekuatan kedaulatan antara zona teritorial dan ZEE Indonesia cenderung belum utuh. Sebagian responden (38,5 persen) menyatakan keduanya sama kuat hak kedaulatannya, sedangkan sebagian lainnya (40,3 persen) menyatakan kekuatan kedaulatannya berbeda.
Dari pendapat yang diungkapkan publik mengenai kedaulatan dan hak berdaulat ini bisa dikatakan sebenarnya masyarakat belum memahami secara jelas perbedaan di antara keduanya. Dalam kasus masuknya nelayan China di kawasan ZEE Laut Natuna Utara, bagi sebagian besar responden hal ini dianggap sebagai bentuk pelanggaran kedaulatan. Padahal, hal itu bukan pelanggaran kedaulatan sepanjang tidak mencuri dan mengeksploitasi hasil laut. Penangkapan ikan secara ilegal di ZEE merupakan pelanggaran hukum dan hak berdaulat. Meski demikian, cara pandang publik ini bisa dipahami sebagai ekspresi dari nasionalisme dan cinta Tanah Air.
Mendukung
Tidak heran jika kemudian semangat nasionalisme juga tampak dari hasil jajak pendapat ini. Hampir seluruh responden (91,4 persen) mendukung sikap tegas pemerintah yang menolak klaim historis China atas perairan Laut Natuna Utara. Sikap ini juga diikuti dengan penilaian separuh lebih responden yang juga setuju bahwa Indonesia tidak memiliki tumpang tindih wilayah dengan China sehingga tidak diperlukan dialog atau perundingan.
Hal lainnya yang juga didukung oleh publik adalah pernyataan pemerintah yang menegaskan Indonesia tidak akan pernah mengakui sembilan garis putus-putus (nine dash line) yang diklaim China. Sebab, menurut responden, klaim China tersebut bertentangan dengan UNCLOS 1982.
Publik juga mendukung sepenuhnya segala upaya untuk menegakkan kedaulatan dan hak berdaulat yang dimiliki Indonesia. Langkah pemerintah mengerahkan kapal-kapal Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan Kapal Perang RI (KRI) untuk mengusir kapal China yang menangkap ikan secara ilegal di Laut Natuna Utara juga mendapat lampu hijau dari hampir semua responden.
Perkuat pertahanan
Meskipun mendukung langkah pemerintah, publik juga menyadari kasus ini menjadi pelajaran agar pemerintah lebih meningkatkan pertahanan, terutama di wilayah perbatasan. Sejauh mana kekuatan pertahanan Indonesia di perbatasan masih menjadi tanda tanya bagi publik. Hal ini tampak dari terbelahnya penilaian responden terhadap kekuatan pertahanan dan keamanan kita di laut. Lebih dari separuh responden (54,7 persen) menyatakan kekuatan hankam Indonesia masih lemah, sedangkan sebagian responden lainnya (42,5 persen) menyatakan sebaliknya.
Beragam konflik di wilayah perbatasan dengan negara tetangga, terutama di wilayah perairan, memang tidak bisa dihindari. Potensi hasil laut, termasuk kekayaan minyak yang terkandung di dalamnya, merupakan target kepemilikan dari tiap negara yang batas wilayahnya saling bersinggungan. Meskipun demikian, pada kasus klaim China atas wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara ini sebagian besar responden (81,6 persen) meyakini akan dapat diselesaikan secara damai.
Penyelesaian dengan cara damai ini diikuti dengan penegasan bahwa wilayah ZEE Indonesia di perairan Natuna Utara tetap harus dipertahankan sebagai hak berdaulat Indonesia. Selain itu, publik juga berharap pemerintah untuk meningkatkan aktivitas, baik pertahanan maupun sosial ekonomi, untuk memperkuat hak berdaulat Indonesia di wilayah Natuna Utara. Bagaimanapun kasus klaim China ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk meneguhkan kembali hak berdaulatnya.