Tanpa Masyarakat Adat
Kehadiran UU masyarakat Adat sejatinya merupakan jalan utama pemulihan masyarakat adat dalam menikmati hak-hak tradisionalnya yang selama ini termarginalkan.
Pada 100 hari kerja periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, tak terdengar pernyataan ataupun aksi nyata untuk masyarakat adat.
Akankah kurun waktu tiga bulan pertama ini menjadi pertanda bahwa pemerintah tidak menjawab harapan masyarakat adat untuk hidup lebih baik?
Masih segar dalam ingatan, saat kampanye capres periode pertama, Jokowi di hadapan perwakilan masyarakat adat berkomitmen untuk mengakui, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat di seluruh Nusantara.
Komitmen Nawacita Jokowi terkait masyarakat adat dijabarkan dalam enam hal pokok: meninjau ulang dan sinkronisasi peraturan perundangan terkait hak-hak masyarakat adat, pengesahan UU masyarakat adat, penyelesaian konflik agraria terkait hak-hak masyarakat adat, membentuk komisi independen masyarakat adat, dan memastikan penerapan UU Nomor 6/2014 tentang Desa terkait penetapan desa adat.
Capaian Nawacita
Hingga akhir periode pertama pemerintahan Jokowi, pencapaian komitmen Nawacita untuk masyarakat adat terbatas pada pengukuhan hutan adat kurang lebih 30 hektar. Sebagian besar luasan hutan adat yang ditetapkan bahkan berada di luar kawasan hutan, menyimpangi makna Putusan MK nomor 35/2012 yang menghendaki adanya reformasi tenurial di sektor kehutanan.
Sebagian besar luasan hutan adat yang ditetapkan bahkan berada di luar kawasan hutan, menyimpangi makna Putusan MK nomor 35/2012 yang menghendaki adanya reformasi tenurial di sektor kehutanan.
Implementasi terhadap otonomi desa adat sebagaimana dimandatkan dalam UU Desa hingga saat ini pun belum diikuti dengan penetapan desa adat oleh Kemendagri.
Nasib Pembentukan Komisi Masyarakat Adat yang sejak awal sering disebutkan telah berada di meja presiden hingga akhir masa jabatan presiden Jokowi di periode pertama, tidak ketahuan rimbanya. Hal yang sama juga terjadi pada gagalnya pengesahan rancangan undang-undang masyarakat adat.
Meskipun Presiden Jokowi telah mengeluarkan surat perintah presiden dan telah menunjuk enam kementerian yang akan membahas RUU Masyarakat Adat bersama DPR RI, tetapi Daftar inventarisasi masalah (DIM) sebagai salah satu syarat pembahasan rancangan Undang-undang hingga akhir masa sidang DPR RI periode 2014-2019 tidak pernah kelihatan wujudnya.
Dua kali kegagalan pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi undang-undang terjadi akibat ketidakseriusan pemerintah dalam proses pembahasan RUU tersebut.
Di tengah situasi ketidakpastian hukum, kriminalisasi masyarakat adat terus terjadi. Sepanjang 2019, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat sedikitnya 51 orang warga masyarakat adat menjadi korban kriminalisasi karena berladang secara tradisional.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang empat tahun terakhir terdapat 1.771 kasus konflik agraria, melibatkan masyarakat adat, petani, dan masyarakat pedesaan.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat sedikitnya 1,6 juta warga masyarakat adat kehilangan hak pilihnya pada Pemilu 2019 karena dianggap mendiami kawasan hutan lindung dan konservasi yang oleh Kemendagri dikategorikan bukan wilayah permukiman dalam administrasi kependudukan, tidak memiliki batas maupun kode wilayah.
Hingga akhir periode pertama pemerintahan Jokowi, komitmen Nawacita tentang pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat, jadi jargon politik semata. Jauh panggang dari api.
Periode kedua
Dalam visi-misi periode kedua pemerintahan Jokowi, pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat hanya ditumpangkan pada misi keenam terkait penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM.
Di situ disebutkan komitmen untuk melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat adat, mulai dari legal aspek, pemberdayaan ekonomi, perlindungan hukum, hingga pemanfaatan sumber daya alam yang lestari tanpa perincian.
Namun dalam penjabarannya tidak ditemukan pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat dan roadmap penyelesaian konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat.
Kehadiran UU Masyarakat Adat merupakan amanat konstitusi yang diatur di dalam Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) UUD 1945. Juga mandat TAP MPR No.IX Tahun 2001 yang telah memerintahkan kepada presiden dan DPR untuk sinkronisasi peraturan perundang-undangan di sektor pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
Kehadiran UU Masyarakat Adat merupakan amanat konstitusi yang diatur di dalam Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) UUD 1945.
Bukannya sungguh-sungguh melaksanakan amanat konstitusi tersebut, Presiden Jokowi malah mengambil langkah kebijakan yang berpotensi meningkatkan konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat.
Dalam arahan presiden untuk dokumen rancangan teknokratik RPJMN 20120-20124 dinyatakan bahwa salah satu cara mencapai tujuan Indonesia berpenghasilan menengah-tinggi yang sejahtera, adil, dan berkesinambungan adalah dengan mengundang investasi seluas-luasnya. Untuk itu, pemerintah berupaya memangkas perizinan dan hambatan investasi lain, didukung gagasan omnibus law pro-investasi.
Hal utama yang perlu diperhatikan adalah kehadiran investasi tidak boleh melanggar hak asasi manusia warga negara apalagi menegasikannya dalam proses-proses pembangunan.
Karena itu gagasan omnibus law investasi yang diusung oleh pemerintah harus diawali dengan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat atas wilayah dan sumber-sumber agrarianya.
Pengesahan UU Masyarakat Adat dapat digunakan sebagai pintu masuk omnibus law masyarakat adat dengan mencabut ketentuan pengaturan masyarakat adat di berbagai peraturan sektoral yang menjadi penyebab utama peminggiran masyarakat adat untuk menikmati hak-hak tradisionalnya.
UU sektoral tersebut juga mengakibatkan konflik dan ketidaknyamanan iklim investasi serta mereduksi hak atas akses pengelolaan SDA dan rentan menyebabkan kemiskinan bagi masyarakat adat.
Kehadiran UU masyarakat Adat sejatinya merupakan jalan utama pemulihan masyarakat adat dalam menikmati hak-hak tradisionalnya yang selama ini termarginalkan.
Seturut dengan itu, lahirnya UU Masyarakat Adat dapat digunakan sebagai instrumen untuk memicu geliat ekonomi, kepastian, dan kenyamanan iklim investasi yang berkeadilan bagi semua pihak dengan memberikan kepastian hukum hak-hak masyarakat adat.
Dengan cara inilah cita-cita “Indonesia berpenghasilan menengah-tinggi yang sejahtera, adil, dan berkesinambungan” dapat terwujud.
(Muhammad Arman Direktur Advokasi Hukum dan HAM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN))