Aparat Iran di Teheran diduga bertindak keras terhadap pengunjuk rasa yang bersimpati kepada korban insiden Boeing 737-800 Ukraina. Namun pihak aparat membantahnya.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
Teheran, Selasa-Iran diduga kembali bertindak kepada pengunjuk rasa yang memprotes pemerintah. Aparat diduga menembaki pengunjuk rasa yang marah kepada pemerintah.
Dalam video yang diverifikasi Associated Press terlihat, aparat menggunakan peluru tajam di dekat lapangan Azadi, Teheran. Video yang beredar pada Senin (13/1/2020) malam waktu setempat atau Selasa dini hari WIB itu, diduga direkam kala unjuk rasa berlangsung pada Minggu malam.
Iran kembali dilanda rangkaian unjuk rasa setelah pesawat Ukraine International Airlines jatuh di Teheran pada Rabu lalu. Teheran mengakui telah menembak pesawat buatan Boeing itu. Akibatnya, seluruh 176 penumpang dan awak pesawat itu tewas dalam kecelakaan tersebut.
Pengakuan Teheran disikapi mahasiswa dan sejumlah warga dengan unjuk rasa. Mereka meluapkan kemarahan kepada pemerintah yang dinilai menipu warga."Mereka bohong, musuh bukan di Amerika, musuh di sini," teriak para pengunjuk rasa.
Sejak Sabtu, gelombang unjuk rasa kembali terlihat di Teheran. Pemerintah menyikapi dengan keras. Pengunjuk rasa pada Sabtu ditangkapi. Bahkan, aparat menangkap Duta Besar Inggris untuk Iran, Robert Macaire, yang berada di lokasi unjuk rasa. Macaire dibebaskan setelah aparat mengidentifikasinya sebagai duta besar dan karena itu punya kekebalan diplomatik.
Unjuk rasa terus berlangsung sampai Minggu. Dalam unjuk rasa Minggu, aparat tidak hanya menggunakan gas air mata dan pentungan untuk membubarkan massa. Di sejumlah video, terlihat darah mengalir dari tubuh pengunjuk rasa.
Dibantah
Kepala kepolisian Teheran, Hossein Rahimi, membantah ada penembakan. "Polisi memperlakukan warga dengan sabar. Polisi tidak menembak massa karena bisa mengendalikan diri," kata dia sebagaimana dikutip media setempat.
Meski ada kabar penembakan, unjuk rasa tetap berlangsung sampai Senin malam. Tentara dan polisi dengan perlengkapan pembubar massa diterjunkan ke sejumlah lokasi unjuk rasa. Sampai Selasa siang waktu Indonesia, belum ada informasi soal bentrokan lanjutan.
Korban tewas akibat unjuk rasa di Iran bukan hal baru. Dalam rangkaian unjuk rasa November-Desember 2019, oposisi menuding total 631 orang tewas. Iran mengakui aparat menembak mati sejumlah orang selama rangkaian unjuk rasa yang dipicu kemarahan atas rencana kenaikan harga bensin itu. Walakin, aparat tidak pernah menyampaikan secara pasti jumlah korban tewas maupun jumlah yang ditangkap.
Oposisi menyebut, mayoritas korban adalah orang muda dan masyarakat berpenghasilan rendah. Mereka paling terdampak oleh rencana kenaikan harga BBM itu.
Dukungan Trump
Seperti dalam unjuk rasa November-Desember 2019, Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mendukung unjuk rasa di Iran kali ini. Ia mengumumkan dukungan melalui media sosial.
"Kepada pemimpin Iran, Jangan bunuh pengunjuk rasa. Sudah ribuan orang anda bunuh atau penjarakan dan dunia menyaksikan. Lebih penting lagi, AS mengawasi. Aktifkan lagi internet dan biarkan jurnalis bebas. Berhenti membunuhi warga Iran," tulisnya di media sosial.
Sejumlah pakar khawatir, dukungan Trump berdampak buruk pada unjuk rasa. "Kala warga Iran marah pada pemerintah mereka karena berbohong soal penembakan pesawat, seharusnya dia (Trump) bermain cantik dan menyatakan duka cita pada keluarga korban. Dengan memperlihatkan seolah semua ini tentang dia, dia malah melemahkan unjuk rasa dan memungkinkan pemerintah (Iran) menuding unjuk rasa sebagai skenario AS," kata Jon Alterman, direktur kajian Timur Tengah pada Center for Strategic and International Studies, Washington DC
Trump didorong meniru Barack Obama yang lebih terkendali dan tidak terbuka mendukung unjuk rasa. "Waktu Obama hanya sekilas saja mendukung unjuk rasa 2009, pemerintah Iran menuding (unjuk rasa) sebagai skenario AS dan menghancurkannya. Jika pemerintahan Trump mendukung lebih terbuka, pemerintah (Iran) akan menyebut mereka (pengunjuk rasa) agen AS dan menghancurkan mereka," kata pakar Iran di Carniege Endowment for International Peace, Karim Sadjadpour (AP/REUTERS)