Menagih Komitmen Memulihkan Lahan Bekas Tambang
Walau sudah memiliki regulasi pascatambang, hingga saat ini penanganan lahan bekas tambang masih banyak meninggalkan lubang-lubang galian. Sanksi lebih lugas diperlukan untuk mengawal reklamasi lahan bekas tambang.
Reklamasi wajib dilakukan oleh setiap usaha tambang. Ketentuan tersebut diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara. Regulasi minerba tersebut mewajibkan dilaksanakannya kegiatan reklamasi dan pascatambang bagi seluruh kegiatan tambang.
Dari sisi lingkungan, aturan ini menandai kemajuan orientasi penambangan, karena di aturan sebelumnya diksi reklamasi dan pascatambang belum dicantumkan dalam perundang-undangan.
Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan baru mengatur mengenai penggolongan bahan galian, bentuk perusahaan tambang, usaha pertambangan, kuasa pertambangan, serta pungutan kegiatan tambang.
Baru pada 2009, kegiatan pascatambang termasuk reklamasi dicantumkan dalam regulasi yang ada. Aturan tersebut menjelaskan reklamasi sebagai suatu kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.
Sedangkan pascatambang merupakan kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.
Wewenang
Menjadi kewenangan pemerintah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang. Kewenangan itu menurut ketentuan Pasal 6 Ayat 1 huruf r Undang-Undang Minerba tersebut dilakukan sejak dari hulu, saat perusahaan tambang mengurus ijin tambang.
Dalam Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi wajib memuat ketentuan tentang lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pascatambang serta dana jaminan reklamasi dan pascatambang.
Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang.
Kewajiban tersebut dipertegas dalam tahapan perencanaan. Setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi.
Baca juga: Bekas Tambang Merugikan
Dalam pelaksanaannya, penyusunan proposal reklamasi tersebut juga harus mengikuti kaidah teknik yang baku, agar tidak menyebabkan kerusakan lingkungan atau permasalahan sosial yang menimbulkan korban. Kinerja pelaksanaan kewajiban reklamasi dan pasca-tambang juga menjadi salah satu syarat dalam sertifikasi Clean and Clear.
Sertifikasi Clean and Clear merupakan bentuk tata tertib administrasi dan wilayah tambang sekaligus menjaga agar pertambangan berjalan baik dari sisi izin, operasional, dan dampaknya.
Aturan teknis reklamasi dan kegiatan pascatambang diturunkan dalam peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi Paska Tambang dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Kewajiban
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tegas mengamanatkan pelaksanaan reklamasi sesuai dengan rencana reklamasi dan rencana pascatambang sampai memenuhi kriteria keberhasilan. Reklamasi dilakukan terhadap lahan yang terdampak dari kegiatan eksplorasi tambang.
Peraturan pemerintah tersebut juga mengatur waktu pelaksanaannya. Reklamasi wajib dilakukan paling lambat 30 hari setelah tidak ada kegiatan usaha pertambangan.
Kegiatan reklamasi lahan bekas tambang memiliki beberapa prinsip yang bertujuan memberikan perlindungan lingkungan hidup pertambangan. Prinsipnya meliputi perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, dan tanah serta udara berdasarkan standar baku mutu atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Penggunaan lubang bekas tambang untuk irigasi juga bukan hal yang tepat sebab air bekas tambang memiliki kandungan kimia berbahaya.
Selain itu, reklamasi juga memiliki prinsip memberikan perlindungan dan pemulihan keanekaragaman hayati, serta penjaminan terhadap stabilitas dan keamanan timbunan batuan penutup, kolam tailing, dan lahan bekas tambang.
Dari sisi teknis, Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2018 mengatur pedoman pelaksanaan reklamasi dan pascatambang serta pascaoperasi pada kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Tak hanya itu, pedoman pengelolaan teknis pertambangan juga diatur.
Penegasan aturan tersebut melalui proses reklamasi yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan. Ini berarti, kegiatan reklamasi seharusnya disiapkan dan dievaluasi terus menerus sejak tahap eksplorasi, produksi, hingga pascatambang. Selain itu, pemegang izin usaha pertambangan memiliki kewajiban melaporkan pelaksanaan reklamasi yang sudah dilakukan.
Reklamasi juga tidak hanya dilakukan pada lahan bekas tambang. Namun, upaya ini juga dilakukan pada lahan di luar bekas tambang seperti tempat penimbunan tanah penutup, jalan, dan pabrik. Reklamasi juga harus dilakukan pada bangunan maupun lahan yang digunakan untuk menunjang operasional tambang.
Dana jaminan
Kewajiban lain dalam pengajuan izin usaha tambang adalah dana jaminan reklamasi dan pascatambang. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengatur pemegang Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan Khusus wajib menyediakan dana jaminan reklamasi.
Dana ini merupakan dana yang dibayarkan pemegang Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan Khusus tambang sebagai jaminan bahwa pihaknya akan melakukan reklamasi dan pascatambang.
Apabila kewajiban reklamasi dan pascatambang telah dilaksanakan, dana jaminan reklamasi dikembalikan kepada pemegang izin usaha. Ketika perusahaan abai terhadap kewajiban reklamasi, dana ini akan digunakan oleh pihak ketiga untuk mereklamasi lahan bekas tambang.
Jumlah jaminannya ditetapkan bersama dengan rencana reklamasi tahap eksplorasi, operasi produksi, dan pascatambang. Waktu penempatan dana jaminan tersebut paling lambat 30 hari sejak rencana kerja dan anggaran biaya tahap eksplorasi, operasi produksi, dan pascatambang disetujui. Jaminan reklamasi tersebut ditempatkan pada bank pemerintah dalam bentuk deposito berjangka.
Peraturan Pemerintah Nomor 78/2010 mengatur lebih rinci penempatan dana jaminan. Walau menyetorkan dana jaminan reklamasi, namun tidak menghilangkan kewajiban pemegang Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan Khusus untuk melaksanakan reklamasi.
Apabila berdasarkan hasil evaluasi terhadap laporan pelaksanaan reklamasi menunjukkan pelaksanaan reklamasi tidak memenuhi kriteria keberhasilan, pemerintah dapat menetapkan pihak ketiga untuk melaksanakan kegiatan reklamasi dengan menggunakan jaminan reklamasi.
Sanksi administratif
Walau sudah diatur ketat, keberadaan lubang tambang menjadi salah satu permasalahan lama di Indonesia terutama terkait dampaknya. Seperti yang diberitakan Kompas di Musi Rawas, Sumatera Selatan dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Lima kolam bekas tambang emas di Bukit Tembang, Desa Muara Tiku dan Sukamenang, Kecamatan Karang Jaya, Musi Rawas, Sumatera Selatan, mengancam keselamatan warga yang tinggal di dataran lebih rendah.
Air limbah dari kolam-kolam tersebut mengalir ke Sungai Tiku. Ikan di sungai sering mati dan mengapung, masyarakat yang memanfaatkan air sungai menderita gatal-gatal kulit atau merasa linu di tulang kaki mereka.
Baca juga: Pusaran Konflik Lubang Bekas Tambang
Ada pula lubang bekas tambang batubara di Desa Kerta Bhuana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur pada 2008 silam. Akibat tercebur ke bagian yang dalam dan tak bisa berenang, tiga siswi SMP tewas tenggelam.
Kasus yang terjadi pada 2008 tersebut, ternyata masih terjadi hingga saat ini. Dalam pantauan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), sedikitnya 140 orang meninggal menjadi korban lubang bekas tambang sepanjang 2014-2018.
Masih ditemukannya korban-korban akibat lubang bekas tambang menggambarkan celah kewajiban pengembalian fungsi lingkungan yang tidak dilaksanakan dan berdampak panjang pada kematian banyak anak karena tercebur atau pencemaran air bekas tambang ke rumah penduduk.
Dalam pengamatan Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Muhammad Jamil, akar berulangnya korban meninggal di lubang tambang adalah abainya pemerintah dan aparat dalam penegakan hukum. Dalam catatan Jatam, belum ada satu sanksi berat diberikan untuk memberikan efek jera seperti pencabutan izin kepada perusahaan maupun pidana.
Dari 140 kasus korban meninggal akibat lubang bekas tambang, hanya satu yang berujung vonis pengadilan, yakni kasus meninggalnya Dede Rahmad di Samarinda, Kalimantan Timur pada akhir 2011. Pengadilan kemudian menjatuhkan hukuman penjara dua bulan bagi petugas keamanan perusahaan. Anehnya pihak perusahaan sendiri tidak ditindak, dan dibiarkan tetap beraktifitas hingga saat ini.
Melihat regulasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 78/2010, pelanggaran sanksi bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan Khusus tambang adalah sanksi administratif.
Sanksi ini berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, serta pencabutan izin usaha. Namun, menurut Jamil, sanksi pencabutan izin usaha belum pernah diterapkan.
Sesuai definisinya, reklamasi dilakukan untuk menata, memulihkan, memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukkannya.
Saat ini, kewajiban reklamasi ini juga mendapat tantangan dari revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Rancangan perubahan tersebut memuat revisi pada Pasal 99 Ayat 2 yang menurut Jamil membuat perusahaan mengingkari tanggung jawabnya untuk memelihara lingkungan hidup pascatambang.
Materi pasal itu adalah, ”Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pascatambang”. Namun, dalam pengajuan revisi, pasal itu diganti, ”Peruntukan lahan pascatambang antara lain dapat digunakan untuk bangunan irigasi dan obyek wisata”.
Jamil mengingatkan, lubang bekas tambang seharusnya direklamasi untuk mengembalikan ekosistem lingkungan. Penggunaan lubang bekas tambang untuk irigasi juga bukan hal yang tepat sebab air bekas tambang memiliki kandungan kimia berbahaya.
Memulihkan
Sesuai definisinya di aturan undang-undang, reklamasi dilakukan untuk menata, memulihkan, memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukkannya.
Konsep ini dapat dibaca dari dua aspek. Pertama, reklamasi merupakan upaya mengembalikan lingkungan bekas tambang sesuai aslinya. Cara yang mendekati konsep ini adalah dengan menutup lubang bekas tambang agar kembali seperti sedia kala.
Kedua, perbaikan kualitas lingkungan dan ekosistem menuntut penanganan oleh institusi yang memahami lingkungan hidup. Melihat paradigma reklamasi sebagai bagian dari upaya pemulihan lingkungan, idealnya reklamasi lahan bekas tambang ditangani dan diawasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Selain itu, regulasi yang sudah ada perlu diimbangi dengan penerapan sanksi yang tegas untuk menutup lubang bekas tambang. Bila semangat reklamasi sudah dinyatakan sejak dalam aturan, diimbangi dengan impelentasi yang lugas, bencana kedua akibat bekas lahan tambang dapat diminimalkan. (Litbang Kompas)