Potensi meningkatnya jumlah calon tunggal dalam pilkada serentak 2020 perlu diantisipasi. Partai-partai saat ini mulai menjajaki kemungkinan koalisi.
Oleh
Dhanang David/Agnes Theodora Wolkh Wagunu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Menjelang Pilkada 2020, partai-partai politik mulai memetakan kekuatan masing-masing. Sejumlah partai yang sebenarnya bisa mengusung calon kepala daerah sendiri tetap menjajaki peluang menarik partai lain untuk berkoalisi. Jika tidak dibatasi, kondisi ini bisa berujung pada munculnya pasangan calon tunggal di daerah-daerah.
Berdasarkan data konfigurasi kekuatan politik partai-partai yang dipetakan Litbang Kompas, dari total 270 daerah peserta Pilkada 2020, ada 85 daerah di mana PDI-P bisa mengusung pasangan calon sendiri tanpa berkoalisi dengan partai lain. PDI-P menjadi partai yang paling banyak memiliki modal kursi di daerah peserta pilkada.
Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Arif Wibowo mengatakan, dari 85 daerah itu, pihaknya telah memetakan ada 44 daerah di mana PDI-P berpotensi menang tanpa berkoalisi. Meski demikian, partai juga masih menunggu peta politik di lapangan dan potensi koalisi dengan partai lain.
Oleh karena itu, PDI-P pun tengah menjajaki komunikasi dengan partai lain untuk berkoalisi. ”Dinamika dan peta politik perlu dicermati. Partai tidak bisa menang sendirian, kami harus merangkul sebanyak mungkin pihak,” katanya.
Dinamika dan peta politik perlu dicermati.
Di urutan kedua ada Partai Golkar yang mampu mengusung calon sendiri di 56 daerah. Meskipun demikian, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lodewijk F Paulus mengatakan, Golkar masih akan mencari tambahan partai lain untuk berkoalisi. ”Kalau bisa sendiri, ya sendiri. Tetapi, ini kan untuk jangka panjang, jadi menarik rekan kerja dalam dunia politik itu perlu dipertimbangkan,” katanya.
Hal serupa dijumpai di Partai Nasdem, yang perolehan kursinya di 26 daerah sudah memadai untuk mengusung calon sendiri tanpa perlu berkoalisi. Namun, menurut Ketua DPP Bidang Pemenangan Pemilu Partai Nasdem Saan Mustopa, koalisi dibutuhkan untuk mencari calon wakil kepala daerah.
Koalisi bukan hanya dibutuhkan untuk memenuhi syarat pencalonan, yakni memiliki sedikitnya 20 persen jumlah kursi DPRD atau 25 persen akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan legislatif DPRD di daerah yang bersangkutan. Namun, menurut Saan, koalisi juga dibutuhkan untuk memperkuat dukungan politik di DPRD untuk mendukung berjalannya pemerintahan daerah. Saat ini, DPP Partai Nasdem tengah menyisir dan memetakan kekuatan politiknya di daerah untuk menentukan daerah mana yang memerlukan rekan koalisi dan mana yang tidak.
Pragmatis
Konfigurasi politik di daerah serta kecenderungan partai ingin merangkul sebanyak mungkin teman koalisi bisa berujung pada munculnya calon tunggal jika tidak diantisipasi. Ini sejalan dengan pemetaan persoalan Pilkada 2020 oleh Badan Pengawas Pemilu, salah satunya adalah potensi munculnya calon tunggal.
Dominasi sejumlah partai di daerah menjadi salah satu faktor munculnya calon tunggal. Untuk menghindari hal itu, partai-partai lain diharapkan membuat koalisi sendiri agar muncul calon lain.
Beberapa daerah, seperti sejumlah kabupaten di Bali, berpotensi muncul calon tunggal karena kuatnya PDI-P di sana. Demikian juga di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, apalagi jika Golkar sebagai partai dengan suara terbanyak kedua merapat ke PDI-P.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, terjadi tren peningkatan jumlah calon tunggal. Pada 2015, dari 269 daerah yang menggelar pilkada, calon tunggal ada di tiga daerah. Jumlah itu meningkat di Pilkada 2017. Dari 101 daerah peserta pilkada, sembilan daerah yang memiliki calon tunggal.
Partai-partai tidak sepenuhnya yakin dengan kader yang akan ia usung.
Rata-rata calon tunggal berstatus petahana dan memiliki elektabilitas tinggi. Partai beramai-ramai mendukung calon itu meski sebenarnya mampu mengusung calon sendiri.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan, dalam proses pencalonan pilkada, partai-partai cenderung pragmatis dan lebih mengedepankan kepastian menang lewat dukungan politik yang maksimal dari partai lain.
Partai cenderung tidak memaksimalkan kemampuannya yang sudah memenuhi syarat modal pencalonan dan berkontestasi secara kompetitif. Potensi munculnya satu pasangan calon di daerah bersangkutan pun dimungkinkan.
”Partai-partai tidak sepenuhnya yakin dengan kader yang akan ia usung. Sebab, bisa saja kadernya itu tidak mempunyai nilai jual yang tinggi di masyarakat. Jadi, kualitas kader juga berkontribusi membuat sikap pragmatis partai,” tutur Titi.