Sinyal Bahaya Ekonomi Sultra
Sektor pertambangan kian dominan di tengah merosotnya sektor pertanian yang bertahun-tahun menjadi tulang punggung ekonomi Sulawesi Tenggara.
Ibarat racun berbungkus madu, postur ekonomi di Sulawesi Tenggara terlihat menggoda, tetapi menyimpan bahaya. Sektor pertambangan kian dominan di tengah merosotnya sektor pertanian yang bertahun-tahun menjadi tulang punggung. Hal ini bisa berdampak luas, terlebih ketika kekayaan tambang habis dikeruk dan memunculkan gejolaknya.
Raut wajah Baso Rani Muchtar (45) jauh dari ceria saat mengenang bagaimana sektor pertambangan di Sultra meredup pada medio 2014. ”Suram. Mau menangis waktu itu,” kata Baso yang saat itu baru diberi kepercayaan menjabat General Manager Zenith Hotel.
”Tahun itu seperti mati suri. Bukan cuma kami, semuanya kena,” imbuhnya.
Pada 2014, sektor pertambangan di Sultra goyah. Ekspor nikel dihentikan menyusul rencana pemerintah untuk memajukan industri dalam negeri. Puluhan perusahaan tambang megap-megap. Puluhan ribu tenaga kerja dirumahkan, bahkan sebagian besar tanpa pesangon.
Sebelumnya, selama kurang lebih satu dekade, sektor pertambangan moncer dan perlahan merajai perekonomian di Sultra. Akan tetapi, goyahnya sektor ini secara seketika membuat sektor lain terdampak, seperti rumah makan, transportasi, jasa keuangan, hiburan, dan perhotelan.
Tahun itu seperti mati suri.
Baso menceritakan, ketika itu, hampir semua hotel harus mendapat subsidi dari pemilik untuk bertahan. Jika tidak, hotel tidak akan bertahan lama dan bisa dipastikan menuju kolaps. Ambruk di ujung mata.
Setiap malam, bangun tidur, hingga kembali ke rumah, Baso selalu memikirkan cara agar hotel bisa bertahan dan tetap membayar gaji pegawai. Beban berat berada di pundaknya. Hotel-hotel kecil mulai tumbang. Tempat hiburan dan rumah makan juga sama.
”Kami banting harga sampai Rp 200.000 per kamar. Itu pun yang isi cuma 30 dari 88 kamar. Yang penting bisa bertahan dulu. Kami ambil pasar menengah ke bawah yang merupakan pasar hotel kecil. Mau tidak mau kami saling bunuh,” kata Baso, Jumat (27/12/2019).
Berbagai cara ia lakukan bersama rekan-rekannya, termasuk masuk ke usaha katering yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Harga makanan pun didiskon habis-habisan.
Kondisi suram itu berlangsung hingga 2015. Dalam kondisi itu, semua peluang harus direbut agar tidak ambruk. Puluhan hotel lain yang baru buka beberapa tahun dan bermodal cekak tidak mampu bertahan dan gulung tikar.
”Baru masuk tahun 2016 mulai membaik, sampai sekarang. Tahun depan kami prediksi lebih baik lagi,” ucap Baso.
Keyakinan itu didasari kondisi sektor pertambangan di Sultra yang mulai membaik. Namun, belajar dari pengalaman sebelumnya, hotelnya tidak mau terlalu bergantung pada geliat sektor pertambangan.
”Alhamdulillah, sektor pemerintah sangat membantu. Berbagai kegiatan, pertemuan, banyak berlangsung di hotel.” imbuhnya.
Gelombang kedua
Selain karena larangan ekspor, meredupnya sektor pertambangan terutama dipengaruhi kebijakan moratorium izin pertambangan karena banyaknya permasalahan. Bentangan masalah terjadi, mulai dari izin, praktik di lapangan, hingga pengapalan. Setiap seksi dari sektor ini menyimpan celah penyalahgunaan yang bernilai jutaan dollar AS.
Saat ini sektor pertambangan kembali melejit, terhitung sejak tiga tahun terakhir. Kejadian ini merupakan gelombang kedua setelah gelombang pertama pertambangan terjadi di akhir 2000-an hingga sekitar 2014.
Pada 2019, dari sisi ekspor, pertambangan Sultra 99 persen dari total keseluruhan ekspor. Secara tonase, hingga November lalu, total ekspor nikel Sultra 9,2 juta ton. Nilai ini berasal dari bijih nikel mentah atau ore nikel sebesar 8.559.350 wet metric ton (WMT). Jumlah ini bernilai 267 juta dollar AS.
Sementara itu, jumlah nikel olahan smelter 735.761 ton atau senilai 1,163 miliar dollar AS. Total semua hasil ini jika dirupiahkan dengan kurs Rp 14.000 sebesar Rp 19,6 triliun. Nilai ini melebihi APBD provinsi ditambah 17 kabupaten/kota di Sultra yang pada 2019 hanya Rp 19,2 triliun.
Postur ekspor hasil pertambangan ini tidak berbeda dengan tahun sebelumnya. Pada 2018, ekspor nikel sebesar 9,1 juta ton dengan nilai 990 juta dollar AS atau Rp 13,8 triliun. Nilai sebesar itu cukup untuk membeli 2,7 juta ton beras seharga Rp 5.000 per kilogram.
Di satu sisi, meroketnya sektor pertambangan menyimpan bahaya bagi ekosistem perekonomian. Sebab, hal ini menunjukkan rapuhnya sektor-sektor lain dan begitu perkasanya sektor pertambangan yang akarnya lapuk.
”Kondisi ini berisiko karena konsentrasi di ekspor pertambangan rentan mengalami kontraksi, terutama ketika terjadi perubahan permintaan atau ketika deposit habis,” kata Syamsul Anam, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari.
Syamsul mengatakan, semakin terkonsentrasi ekspor hanya pada satu komoditas, semakin rentan ekonomi secara umum. Sebab, jika ekspor mengalami perlambatan, berhenti juga kegiatan di hulu yang menyerap tenaga kerja besar. Khusus untuk nikel, pada 2020 telah ada larangan ekspor karena rencana hilirisasi.
Akan tetapi, proses hilirisasi juga masih jalan di tempat. Kemudahan yang diberikan bagi perusahaan untuk membangun smelter tidak sesuai harapan. Dengan demikian, sektor di hulu akan terganggu atau berjalan tetapi menyalahi aturan.
Ketika sektor ini melemah, maka dampak rentetannya akan panjang. Sebab, sebagai sektor yang dominan, maka sektor keuangan, transportasi, jasa, hingga perdagangan akan terdampak. Selama ini derasnya arus modal perbankan juga berasal dari sektor pertambangan. Pembiayaan kendaraan, baik alat berat maupun kendaraan angkutan, dibeli untuk mendukung sektor pertambangan.
”Kita di sini sudah punya pengalaman beberapa tahun lalu ketika pertambangan mati suri. Kota menjadi lesu dan semuanya mandek,” kata Syamsul.
”Tidak ada jalan lain, peningkatan sektor pertanian menjadi yang utama karena sektor ini secara tradisional adalah penopang utama selama bertahun-tahun. Hanya saja saat ini seperti ditinggalkan,” imbuhnya.
Kajian Syamsul yang mengolah statistik ekonomi dan keuangan daerah dari Bank Indonesia menunjukkan, peranan lapangan usaha pertambangan terhadap perekonomian Sultra terus naik selama tiga tahun terakhir. Pada 2016, berperan 19,85 persen, menjadi 20,97 persen pada 2017, dan pada 2018 di angka 21,05 persen.
Pada saat yang sama peranan lapangan usaha pertanian stagnan, bahkan cenderung turun. Pada tahun 2016, sektor pertanian berperan 23,50 persen, lalu turun 23,28 persen, dan pada 2018 kembali turun menjadi 23,27 persen.
Dalam dua gelombang menjamurnya pertambangan di Sultra, terjadi migrasi tenaga kerja yang tinggi, khususnya dari sektor pertanian. Dalam periode pertama, 2008-2012, tenaga kerja di sektor pertanian berkurang 139.201 orang.
Periode kedua meningkatnya sektor pertambangan terjadi penurunan tenaga kerja sektor pertanian sebanyak 49.960 orang dalam kurun 2016-2018.
Kami hanya butuh pasokan air untuk di wilayah kami.
Kondisi ini mengundang keprihatinan Ketua Gapoktan Sri Kembang, Suwantoko. Baginya, sektor pertanian merupakan tumpuan pada masa kini dan masa depan kehidupannya. Bersama sekitar 200 petani lain di Ranomeeto, Konawe Selatan, ia ingin agar pertanian terus berkembang dan memberikan kesejahteraan bagi diri, keluarga, dan anggota kelompoknya.
”Kami hanya berharap agar pemerintah memberikan perhatian penuh ke sektor ini. Tidak banyak-banyak, kami hanya butuh pasokan air untuk di wilayah kami,” ucapnya.
Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sulawesi Tenggara Suryati Raeba mengatakan, pihaknya juga sangat ingin memajukan sektor pertanian agar memberikan nilai tambah bagi petani dan masyarakat secara luas. Sejumlah program direncanakan berlangsung di 2020, mulai dari infrastruktur hingga kerja sama dengan dinas pendidikan untuk menumbuhkembangkan minat generasi baru terhadap sektor pertanian.
Sektor pertambangan yang mengeruk dan mengambil isi bumi tentu ada masanya. Tidak seperti pertanian, perkebunan, dan perikanan yang mengolah sumber daya alam berkelanjutan. Meski demikian, butuh komitmen dan dukungan semua pihak untuk mengembangkan sektor pertanian, layaknya madu sejati bagi Sultra.