Bom Waktu Ancaman Lingkungan Pascatambang
Kegiatan penambangan masih mengancam kelestarian lingkungan. Tanpa pemulihan lahan dan lingkungan, kondisi ini akan menjadi bom waktu bagi ekosistem. Reklamasi tambang menjadi kunci pemulihan fungsi lahan bekas tambang.
Wajah Pulau Singkep, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau berubah setelah ditinggalkan perusahaan-perusahaan tambang. Dulu, Singkep terkenal sebagai ”The Indonesian Tin Belt” bersama daerah penghasil timah lainnya, seperti Bangka Belitung, Pulau Karimun, Kundur, Kepulauan Riau, dan sebelah barat Kalimantan.
Sejak 1812 sampai 1992, timah di Singkep dikelola Kesultanan Riau-Lingga, Perusahaan Belanda, sampai jatuh ke pengelola Indonesia. Kini kejayaan tersebut hanya menyisakan lahan kritis seluas lebih dari separuh wilayah Singkep, terbengkalai selama puluhan tahun.
Sekitar 40.000 hektar lahannya menjadi hamparan pasir putih yang tidak ditumbuhi tanaman apa pun. Di sela-selanya terdapat kolam seluas rata-rata satu hektar yang merupakan bekas lubang tambang.
Kolam-kolam itu menjadi sarang nyamuk Anopheles dan Aedes aegypti. Hampir semua warga Singkep pernah terjangkit malaria dan demam berdarah (Kompas, 14/9/2016).
Di wilayah lain, tepatnya di Kelurahan Rapak Dalam, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, kolam-kolam bekas lubang tambang batubara digunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Padahal, airnya mengandung logam berat di atas ambang batas aman.
Baca juga: Jatam Dorong KPK Giatkan Lagi Gerakan Nasional Penyelamatan SDA
Berdasarkan liputan investigasi Kompas, kandungan mangan dan besi berada di atas ambang batas aman. Kandungan mangan (Mn) pada sampel air sebesar 9,21 miligram per liter atau 18 kali lipat lebih besar dari ambang batas maksimum yang ditetapkan, yaitu 0,5 miligram per liter.
Kandungan besi (Fe) mencapai 3,27 miligram per liter atau tiga kali lipat dari ambang batas maksimal air bersih, yaitu 1,0 miligram per liter. Karena itu, air menjadi asam. Derajat keasaman (pH) air 2,76 yang berarti konsentrasinya sangat asam.
Jika dikonsumsi, air yang terkontaminasi logam berat akan menyebabkan gangguan penyakit kronis, seperti gangguan reproduksi, gangguan pembentukan sel darah, ginjal, dan kanker.
Wilayah terancam
Cerita tersebut merupakan dampak dari kegiatan penambangan yang tidak diikuti upaya pelestarian lingkungan. Kondisi tersebut akan menjadi ancaman bagi daerah lain yang memiliki kegiatan penambangan, khususnya penmbangan terbuka. Apalagi hampir di setiap provinsi di Indonesia memiliki potensi tambang batubara, mineral, dan nonmineral.
Dari komoditas batubara saja ada 23 provinsi. Sumber daya tersebut paling banyak ada di Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur. Artinya 23 provinsi tersebut harus waspada terhadap pengelolaan tambang batubara di wilayahnya.
Mengembalikan sesuatu yang telah diambil dari bumi tidak akan sama dengan wujud aslinya.
Sementara wilayah lain, yaitu NTB dan Kalimantan Tengah, perlu waspada karena potensi bijih tembaga di wilayahnya. Sebanyak 16 provinsi lain juga memiliki risiko yang sama karena tambang bijih tembaga.
Sumber daya emas yang ada di 27 provinsi juga menjadi ancaman jika penambangan tidak dilakukan dengan kaidah keberlanjutan lingkungan. Dari 27 provinsi tersebut, sumber daya emas paling banyak terdapat di NTB dan Papua.
Beberapa sebaran komoditas tambang tersebut hanyalah sebagian kecil dari total sumber daya tambang di Indonesia. Sisanya masih ada sekitar 30 jenis material tambang yang terkandung dalam bumi Nusantara.
Jika penambangan dilakukan tanpa kaidah yang benar, puluhan tahun ke depan wilayah Indonesia akan menjadi lahan kritis. Hal tersebut dapat diprediksi dari usia cadangan tambang dengan asumsi semua cadangan akan dieksplorasi.
Sebagai contoh, penyediaan batubara akan bertahan hingga sekitar 76 tahun ke depan. Perhitungan tersebut berdasarkan jumlah cadangan sebanyak 37 miliar ton dan asumsi angka produksi batubara yang mencapai 485 juta ton pada 2018.
Cadangan produksi bijih tembaga diprediksi tersedia selama 39 tahun berdasarkan jumlah cadangan tembaga sebanyak 2,76 miliar ton pada awal tahun 2020. Cadangan komoditas nikel 3,57 miliar ton. Dengan rata-rata produksi 17 juta ton bijih per tahun, cadangan nikel dapat dieksplorasi untuk 184 tahun.
Dengan prediksi usia cadangan tersebut, maka kegiatan penambangan akan dilakukan terus sepanjang cadangan masih ada. Jika tindak lanjut terhadap upaya pelestarian lahan tambang tidak dimulai dari sekarang, puluhan tahun ke depan nasib lahan-lahan tambang akan sama dengan bekas tambang di Pulau Singkep.
Lahan kritis
Prinsip keberlanjutan lingkungan perlu dipikirkan ketika kegiatan penambangan mulai direncanakan. Sebab, upaya mengembalikan fungsi lahan yang dibuka untuk penambangan bukan perkara mudah, apalagi jika lahan itu dulunya merupakan kawasan hutan.
Mengembalikan sesuatu yang telah diambil dari bumi tidak akan sama dengan wujud aslinya. Tanah yang telah dikupas dan dikeruk untuk tambang akan berubah. Litbang Kementerian Pertanian mencatat, kegiatan pengupasan tanah pada pertambangan menyebabkan tercampurnya bahan batuan pada lapisan penutup dengan tanah pucuk.
Padahal, tanah lapisan atas atau tanah pucuk termasuk langka dan tidak pernah tersimpan dalam jumlah yang besar. Fungsinya pun sangat vital. Kehilangan beberapa sentimeter saja pada lapisan atas berdampak pada berkurangnya 40 persen produktivitas pada tanah subur.
Tidak heran jika lahan bekas tambang menjadi lahan kritis. Tanah menjadi masam, terkontaminasi logam berat, lebih padat, dan rendah unsur hara. Kondisi tersebut diperparah karena hilangnya mikroorganisme yang dapat membantu menjaga kesuburan tanah. Karena itu perlu dilakukan pembenahan tanah untuk mengembalikan sifat fisik dan kimia tanah. Tujuannya agar tanah layak dan subur untuk ditanami.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas tanah. Salah satunya adalah memperbaiki derajat keasaman tanah (pH) dan kapasitas tukar kation. Selain itu, perlu juga mengurangi tingkat keracunan logam berat. Caranya dengan memberikan produk samping pembuatan abu soda, yaitu lime cake dan limbah (sludge) industri kertas pada tanah.
Selain itu, kandungan unsur hara dalam tanah perlu ditingkatkan dengan pemanfaatan mikroorganisme. Penambahan inokulan dari kelompok bakteri atau jamur dapat merangsang proses simbiosis dengan zat-zat yang dikandung tanah.
Upaya reklamasi
Pembenahan tanah tersebut menjadi tahapan awal reklamasi tambang. Sesuai definisinya, reklamasi dilakukan untuk menata, memulihkan, memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukkannya.
Pemerintah sudah mengatur reklamasi tambang dalam PP Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan Yang Baik Dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam aturan tersebut, reklamasi dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan. Artinya, reklamasi seharusnya dilakukan sejak tahap eksplorasi, produksi, hingga pascatambang. Dari awal sampai akhir kegiatan pertambangan.
Sekitar 40.000 hektar lahan di Pulau Singkep menjadi hamparan pasir putih yang tidak ditumbuhi tanaman apa pun.
Reklamasi juga tidak hanya dilakukan pada lahan bekas tambang. Upaya ini juga dilakukan pada lahan di luar bekas tambang, seperti tempat penimbunan tanah penutup, jalan, pabrik, serta bangunan dan lahan yang digunakan untuk menunjang operasional tambang.
Meskipun sudah diatur ketat, tidak semua pengelola tambang melaksanakan aturan ini. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, pada 2019 reklamasi yang telah dilakukan seluas 6.748 hektar. Tahun sebelumnya, reklamasi dilakukan terhadap 6.950 hektar bekas tambang. Capaian tersebut hanya 40,68 persen saja dibandingkan dengan luas area bekas tambang yang tercatat dari 25 perusahaan.
Berdasarkan data Sistem Informasi Lingkungan Pertambangan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, luas bekas tambang di Indonesia pada semester II tahun 2018 sekitar 17.000 hektar. Luasan tersebut diakumulasi dari 3 perusahaan tambang berizin kontrak karya (KK) dan 22 perusahaan tambang berizin perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Sementara di luar itu diperkirakan masih ada ribuan perusahaan tambang.
Untuk mencegah meluasnya kerusakan lingkungan, perusahaan tambang harus berkomitmen melakukan pemulihan lingkungan area tambang. Upaya ini juga tidak perlu menunggu eksplorasi dan produksi tambang selesai. Kegiatan itu harus dimulai sejak pembukaan tambang. Dengan demikian, wilayah-wilayah kaya akan tambang tidak lagi menjadi hamparan lahan kritis. (Litbang Kompas)