Drama Ruwet dari Talaud
Polemik seputar pelantikan bupati-wakil bupati terpilih Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, terus memuncak dan menyita perhatian publik. Kisahnya bak film drama dengan alur yang ruwet.
Hillary Lasut tidak bercanda. Kata “gereget” yang digunakannya untuk menggambarkan bagaimana wakil bupati terpilih Kepulauan Talaud Moktar Parapaga bakal bereaksi terkait polemik pelantikan kepala daerah kabupaten paling utara Indonesia itu ternyata malah terlampau sederhana. Kesabaran Moktar sudah lebih tipis dari sehelai serat benang.
Hillary, anggota DPR termuda yang juga anak Elly Lasut, bupati Kepulauan Talaud terpilih hasil Pilkada 2018, sedang berada di luar negeri saat dihubungi, Kamis (9/1/2020) malam. Ketika dimintai nomor telepon ayahnya, Hillary menyarankan agar lebih baik menghubungi Moktar Parapaga saja, wakil bupati Kepulauan Talaud terpilih.
“Pak Elly sedang di Jakarta, menunggu kepastian pelantikan dari Kemendagri. Sebelumnya, sudah tujuh kali dijanjikan bakal dilantik. Kalau mau minta tanggapan, ke Pak Moktar saja, lebih gereget. Jawaban Pak Elly cenderung normatif,” katanya.
Tiga kali istri, anak-anak, dan keluarga saya datang (ke Manado, Sulawesi Utara) untuk menghadiri pelantikan, tapi semuanya batal! Mereka menangis.
Hampir enam bulan berlalu, nasib Moktar yang terpilih mendampingi Elly masih abu-abu. Ketidakjelasan itu membuatnya lelah, marah, dan frustrasi. Semuanya memuncak dalam nada tinggi ketika dihubungi via telepon.
“Tiga kali istri, anak-anak, dan keluarga saya datang (ke Manado, Sulawesi Utara) untuk menghadiri pelantikan, tapi semuanya batal! Mereka menangis. Banyak sekali biaya sudah keluar. Malu! Gubernur (Sulut Olly Dondokambey) malah menghadap Mendagri (saat itu Tjahjo Kumolo), bilang, ‘Jangan dulu mereka dilantik.’ Ada apa ngomong begitu?!” protes Moktar.
Penundaan pelantikan Elly-Moktar yang memenangi Pilkada 2018 di Kepulauan Talaud bak sebuah drama yang tak dapat ditebak alur, apalagi akhirnya. Seharusnya, Elly dan Moktar dilantik pada Senin, 22 Juli 2019 lalu. Alih-alih melantik mereka, Olly malah menunjuk Sekretaris Kepulauan Talaud Adolf Binilang sebagai pelaksana harian (Plh) bupati.
Kala itu, Olly menegaskan belum menerima perintah pelantikan dari Mendagri Tjahjo. Sebaliknya, ia mengaku menerima radiogram Mendagri nomor T.131.71/3827/OTDA empat hari sebelumnya untuk melantik Plh bupati. “Gubernur taat hukum,” kata Olly saat itu.
Namun, Moktar menolak mentah-mentah tindakan Olly itu. Ia menopang klaimnya dengan mengirim salinan digital surat-surat berisi dasar-dasar pelantikan lewat aplikasi WhatsApp.
Dua dari sekian foto yang dilampirkan Moktar adalah Surat Keputusan (SK) Mendagri Nomor 131.71-2750 dan Nomor 132.71-2751 tertanggal 1 Juli 2019, masing-masing untuk melantik Elly dan dirinya. Setelah Olly memilih tak melantik Elly-Moktar, Mendagri Tjahjo mengirim kembali surat tertanggal 5 Agustus 2019 berisi perintah pelantikan.
Baca juga: Kisruh Talaud Berlanjut
Pada 11 September 2019, Komisi Pemilih Umum (KPU) RI pun telah memastikan Elly-Moktar memenuhi syarat untuk mengikuti pemilihan umum. Dasarnya adalah SK Mendagri Nomor 131.71-3241 tertanggal 2 Juli 2017. SK itu menyatakan Elly Lasut baru menjabat bupati Kepulauan Talaud selama satu periode. Hasil Pilkada 2018 di Kepulauan Talaud juga telah disahkan.
Melantik Elly-Moktar pun menjadi kewajiban Olly, sesuai Pasal 164 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur pilkada. “Pelantikan bupati dan wakil bupati terpilih adalah perintah UU sehingga harus dilaksanakan,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik, Oktober lalu.
Moktar pun menuntut Olly bertindak sebagaimana mestinya sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah. “SK Mendagri sudah keluar, tinggal pengambilan sumpah. Kok, bisa-bisanya gubernur menolak perintah pusat?” katanya.
Cacat hukum
Bagi Pemprov Sulut, permasalahan justru terletak pada SK Mendagri Nomor 131.71-3241 tanggal 2 Juli 2017. Asisten 1 Sulut Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Edison Humiang mengatakan, SK itu cacat hukum. Mahkamah Agung (MA) menetapkannya dengan putusan Nomor 584 K/TUN/2019 tertanggal 6 Desember 2019.
“Sekarang, sudah ada putusan yang inkrah dari MA. SK tahun 2017 itu harus dicabut Mendagri. Kalau Elly dilantik, itu akan jadi preseden buruk bagi demokrasi kita karena dia sudah menjabat dua periode,” kata Edison.
Baca juga: Jalan Buntu Pelantikan Bupati Definitif Talaud
Seandainya sebuah film, pembatalan pelantikan Elly-Moktar adalah drama dengan alur cerita yang ruwet. Mulanya, Elly telah terpilih sebagai bupati Kepulauan Talaud periode 2004-2009 dan 2009-2014. Di periode kedua, ia tersandung kasus korupsi dana Gerakan Daerah Orang Tua Asuh. Per 10 Agustus 2011, Elly dinyatakan bersalah dan dipenjara hingga 2014.
Constantine Ganggali, wakilnya saat itu, ditetapkan sebagai Plt Bupati. Namun, ia tidak pernah didefinitifkan. Secara praktik, Elly pun tetap menjabat sebagai bupati sekalipun nonaktif.
Pada 2014, Mendagri Tjahjo menerbitkan SK Nomor 131.71-3200 yang berisi pemberhentian Elly sebagai Bupati Talaud 2009-2014 meskipun ia tak lagi aktif menjabat sejak 2011. Dengan demikian, Elly resmi dinyatakan telah menjabat dua periode.
Pada 2016, Elly yang sudah bebas dan berkeinginan menjabat lagi sebagai bupati Kepulauan Talaud menggugat SK tahun 2014 itu di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Namun, sementara gugatan itu berlangsung, Mendagri menerbitkan SK tahun 2017.
SK tahun 2017 mengubah waktu pemberhentian Elly dari 2014 menjadi 2011, yaitu saat ia dijebloskan ke bui, sehingga Elly pun dinyatakan belum genap menjabat dua periode.
Setelah SK tahun 2017 itu diterbitkan pada 2 Juli 2017, PTUN Jakarta mengeluarkan putusan untuk menolak gugatan Elly terhadap SK tahun 2014. Namun, SK tahun 2017 itulah yang dijadikannya dasar untuk mencalonkan diri di Pilkada 2018 bersama Moktar.
Kami juga meminta rekomendasi langkah selanjutnya untuk menentukan kepemimpinan di Talaud.
Setelah dinyatakan menang oleh KPU Kepulauan Talaud, lawan elektoral Elly-Moktar dalam Pilkada 2018, yaitu Welly Titah dan Heber Pasiak, menggugat SK Mendagri tahun 2017. Hal itu kemudian berujung pada putusan MA tertanggal 6 Desember 2019 lalu.
Edison mengatakan, pemprov bergeming dari posisi penolakan terhadap pelantikan Elly-Moktar. “Kami sudah menyurat ke Kemendagri untuk mencabut SK tahun 2017 dan menggugurkan pencalonan Elly Lasut. Kami juga meminta rekomendasi langkah selanjutnya untuk menentukan kepemimpinan di Talaud,” katanya.
Ketika dimintai tanggapan lagi, Plt Dirjen Otda Kemendagri Akmal Malik menolak berkomentar. Ia mengaku belum membaca putusan MA tersebut. “Saya belum bisa komentar,” katanya.
Wakil Gubernur Sulut Steven Kandouw menyatakan kembali posisi pemprov, Selasa (14/1). Pemprov tidak akan melantik Elly-Moktar. Steven dijadwalkan menghadap Mendagri Tito Karnavian, Rabu (15/1) ini.
Pertanyakan gubernur
Rupanya, “menyerah” tak ada dalam daftar kosakata milik Moktar. Menurut dia, gubernur harus patuh pada perintah mendagri, bagaimanapun keadaannya. Ia mempertanyakan lagi sikap Olly.
“Coba cari, UU mana yang menyebut pelantikan bisa ditunda untuk menanti fatwa MA? Tidak ada! Periodisasi bupati sepenuhnya hak mendagri. Kalau mendagri sudah keluarkan SK berdasarkan keputusan KPU, apa lagi yang salah? Ini pemerintahan yang amburadul, malaadministrasi,” katanya.
Ia juga menyebut gugatan pasangan Welly-Heber tidak sah. Menurut UU Pilkada, masyarakat dan pasangan calon diberi waktu dua pekan untuk menggugat pendaftaran pasangan calon lainnya. Hak menggugat itu tak pernah mereka gunakan selama pendaftaran. “Kalau mereka mau menggugat SK Mendagri tahun 2017 di MA, boleh. Tapi, rangkaian pilkada harus diselesaikan sampai pelantikan,” kata Moktar.
Baca juga: Paradigma Mengelola Pilkada
Moktar sudah lelah dan muak dengan ketidakpastian. Warga Kepulauan Talaud, terutama pendukung Elly-Moktar, pun demikian. Kamis (9/1) itu, mereka menggelar aksi massa yang berujung bentrokan dengan kepolisian di halaman kantor bupati. Kaca-kaca dan kursi di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kepulauan Talaud jadi korban.
Moktar menyatakan, Elly dan dirinya tidak akan menyerah. “Gubernur arogan, tidak menghargai hak demokrasi masyarakat,” katanya.
Di tengah rentetan alur yang melelahkan dan tidak jelas ujungnya ini, Elly Lasut mendaftarkan diri sebagai calon gubernur di Partai Nasdem untuk Pilkada 2020 pada Desember lalu. Moktar menyatakan tak keberatan. “Siapa tahu bisa terpilih dan saya jadi dilantik, ha ha ha…” katanya, kali ini dengan nada yang rendah dan jenaka.