KPU menjadikan kasus yang menimpa Wahyu Setiawan sebagai pelajaran. KPU juga memastikan, kasus Wahyu adalah kasus pribadi.
Oleh
Muhammad Ikhsan Mahar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Komisi Pemilihan Umum menjadikan penangkapan salah satu komisionernya, Wahyu Setiawan, sebagai pelajaran untuk menghindari tindakan melawan hukum di masa mendatang. KPU juga menjanjikan proses yang transparan dalam seluruh tahapan pemilihan kepala daerah serentak 2020 demi tetap terjaganya kepercayaan publik terhadap penyelenggara dan penyelenggaraan pemilihan.
Ketua KPU Arief Budiman menegaskan, kasus dugaan suap yang melibatkan Wahyu terkait proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) merupakan kasus pribadi. Rabu pekan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Wahyu atas dugaan penerimaan suap senilai Rp 600 juta. Wahyu telah ditetapkan sebagai tersangka.
”Kami menjadikan peristiwa (penangkapan Wahyu) sebagai pelajaran bagi KPU RI dan KPU provinsi untuk menghindari praktik melawan hukum. Sebab, yang dilakukan Wahyu murni tindakan pribadi,” kata Arief dalam rapat kerja antara KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dengan Komisi II DPR, Selasa (14/1/2020), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Sebenarnya, seluruh tahapan pemilu dan pilkada telah dilakukan secara transparan, misalnya pengambilan keputusan di KPU didasari rapat pleno yang dihadiri semua komisioner. Akan tetapi, tindakan di luar rapat dan agenda resmi yang dilakukan oknum KPU berada di luar kontrolnya.
Yang dilakukan Wahyu murni tindakan pribadi.
KPU diminta untuk mampu menjaga kepercayaan publik dengan cara tetap menjaga integritas, terutama menjelang pelaksanaan pilkada serentak 2020.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menyatakan, penangkapan Wahyu berpotensi mencoreng kinerja baik penyelenggara pemilu dalam melaksanakan Pemilu 2019. Capaian itu salah satunya terlihat dari partisipasi publik yang tinggi, yaitu 81 persen.
”Penyelenggara pemilu adalah hulu dari proses politik yang menghasilkan pimpinan lembaga/institusi politik. Oleh karena itu, KPU harus mampu menjaga kepercayaan publik terhadap proses pemilihan pada Pilkada 2020, minimal sama dengan capaian Pemilu 2019,” ujar Doli.
Menurut dia, perlu ada komitmen ulang dari penyelenggara pemilu untuk menjaga semangat integritas dan sistem kepemiluan. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, kerja keras KPU di pusat dan daerah untuk menyelenggarakan pemilu yang baik akan sia-sia dan rakyat menjadi sulit percaya.
Dalam rapat yang dihadiri 23 anggota komisi II DPR itu, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Sukamto, menambahkan, KPU harus menjamin pelaksanaan proses Pilkada 2020 bebas dari tindakan melawan hukum. Utamanya, lanjut Sukamto, pada proses pencalonan dan rekapitulasi suara.
Ia berharap KPU dan Bawaslu memperkuat koordinasi dan kolaborasi di daerah untuk segera merumuskan kerentanan dan potensi penyimpangan terhadap aturan penyelenggaraan pemilu.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Kamrussamad, menilai, akar masalah kasus dugaan suap terhadap Wahyu adalah adanya inkonsistensi dalam menjalankan sistem pemilu yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yaitu proporsional terbuka dan suara terbanyak.
”Kita memiliki tafsir masing- masing terkait dasar hukum itu. Padahal kalau kita konsisten, saya yakin dan percaya kita tidak akan mengakomodasi proses di luar sengketa kepemiluan di Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.
Modus baru
Menurut anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Johan Budi, kasus Wahyu menunjukkan ada modus operandi baru korupsi yang melibatkan penyelenggara pemilu. Sebelumnya, KPU tersandung korupsi pengadaan barang dan jasa.
”Kita perlu menggarisbawahi bahwa integritas memiliki durasi waktu. Komitmen integritas seluruh komisioner (KPU) akan terlihat setelah penegak hukum melakukan pengawasan,” kata Johan.
Terkait dengan penangkapan Wahyu, Arief mengungkapkan, pihaknya telah memberi laporan kepada Presiden Joko Widodo dan DPR. Presiden berwenang mengangkat dan memberhentikan komisioner KPU, sedangkan DPR melakukan uji kepatutan dan kelayakan, serta menyusun peringkat untuk calon komisioner KPU. ”Kami sedang menunggu proses lebih lanjut (terkait penggantian),” kata Arief.