Lubang Ketimpangan di Daerah Tambang
Kegiatan pertambangan bukanlah suatu usaha ekonomi berkelanjutan. Karena itu, diperlukan penerapan sistem penambangan yang sesuai agar perolehannya dapat optimal tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi mendatang.
Kekayaan alam berupa bahan tambang menghasilkan nilai ekonomi tinggi. Namun, dalam jangka panjang, keterbatasan sumber daya alam dapat menimbulkan beban kemiskinan bagi generasi mendatang. Limbah dan lubang bekas tambang berpotensi merusak ekosistem alam sehingga menurunkan kualitas lingkungan dan ekonomi.
Indonesia memiliki potensi pertambangan yang besar. Kondisi ini dapat dilihat dari kontribusi sektor pertambangan dan penggalian terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Berdasarkan data BPS, sejak 2015-2018, sektor ini menyumbang PDB rata-rata 7,62 persen.
Adapun sumbangan nilai ekspor hasil pertambangan selama 2018 sebesar 29,3 miliar dollar AS dengan berat bersih 469,9 juta ton. Jumlah tersebut diperoleh dari 81,84 persen batubara dan lignit serta 17,87 persen bijih logam. Nilai ekspor pertambangan pada 2018 mengalami kenaikan 20,5 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar 24,3 miliar dollar AS.
Kegiatan tambang juga dinilai menguntungkan dalam jangka pendek karena menciptakan nilai tambah (value added) dan membuka lapangan kerja. Seperti yang terlihat di dua daerah tambang, yaitu Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan.
Distribusi sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDRB 2018 di Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan masing-masing 46,35 persen dan 20,24 persen. Sektor ini turut menyumbang penurunan tingkat pengangguran terbuka dan persentase penduduk miskin selama lima tahun terakhir di provinsi tersebut.
Pada 2013, tingkat pengangguran terbuka di Kalimantan Timur 7,94 persen, menurun menjadi 6,6 persen pada 2018. Adapun persentase penduduk miskinnya turun dari 6,38 persen pada 2013 menjadi 6,03 persen pada 2018.
Fenomena serupa juga terjadi di Sumatera Selatan. Tingkat pengangguran terbuka di Sumatera Selatan turun menjadi 4,23 persen dari 5,00 persen. Adapun persentase kemiskinan turun dari 14,06 persen menjadi 12,80 persen.
Ketimpangan
Akan tetapi, tidak semua wilayah dengan pertambangan yang luas akan menjamin kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Di beberapa wilayah, ditemukan besarnya kontribusi hasil pertambangan tersebut belum signifikan dirasakan manfaatnya. Hanya sebagian kalangan yang menikmati kue hasil pertambangan.
Salah satu wilayah dengan fenomena tersebut adalah Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan. Pendapatan daerah di Kabupaten Balangan didominasi sektor pertambangan dan penggalian sebesar 62,06 persen dari PDRB tahun 2018.
Namun, kekayaan alam tambang tersebut belum diikuti kemakmuran warganya. Statistik Daerah Kabupaten Balangan mencatat, tingkat kemiskinan di Kabupaten Balangan pada 2018 sebesar 5,59 persen.
Setidaknya masih terdapat 7.214 orang penduduk Balangan dalam kategori miskin. Angka tersebut masih di atas rata-rata kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan yang sebesar 4,64 persen. Demikian juga dengan angka ketimpangan. Pada 2017, koefisien gini di Kabupaten Balangan adalah 0,41 lebih tinggi dari gini nasional, yakni 0,39.
Fenomena serupa terjadi di Kabupaten Kutai Timur. Kabupaten Kutai Timur memiliki PDRB terbesar kedua di Kalimantan Timur pada 2018, yakni Rp 125,21 triliun. Dari PDRB tersebut, sebanyak 81,29 persen dihasilkan dari sektor pertambangan dan penggalian.
Namun, angka kemiskinan dan pengangguran di Kutai Timur tercatat masih tinggi. Pada 2018, penduduk miskin 9,22 persen dan pengangguran terbuka 5,93 persen. Tingkat kemiskinan di Kutai Timur ini merupakan yang tertinggi kedua di Provinsi Kalimantan Timur.
Data ini menunjukkan bahwa ada ketimpangan ekonomi di wilayah yang kaya akan sumber daya alam tambang. Keuntungan dari bisnis pertambangan tidak dirasakan secara merata. Hanya sebagian kalangan yang menikmati kue hasil pertambangan.
Biaya eksternalitas
Kegiatan pertambangan bukanlah suatu usaha ekonomi berkelanjutan. Pertambangan berhadapan dengan sesuatu yang serba terbatas, baik lokasi, jenis, jumlah, maupun mutu materialnya. Keterbatasan tersebut masih ditambah dengan upaya menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Karena itu, diperlukan penerapan sistem penambangan yang sesuai dan tepat, baik ditinjau dari segi teknik maupun ekonomis, agar perolehannya dapat optimal tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi mendatang.
Namun, fakta di lapangan sering kali menemukan kegiatan ekonomi yang melupakan dampak bahaya lingkungan, kesehatan, dan ekonomi bagi generasi mendatang. Banyak biaya eksternalitas atau kerugian ditanggung oleh mereka yang tidak memperoleh manfaat dari kegiatan ekonomi yang mengekstraksi sumber daya alam, khususnya kegiatan pertambangan.
Biaya eksternalitas negatif tidak diperhitungkan ke dalam biaya perhitungan produksi barang tambang sehingga harga produk tambang tergolong murah. Biaya eksternalitas negatif, seperti ongkos lingkungan, sosial ekonomi, keselamatan umum, dan kesehatan masyarakat, dibebankan kepada mereka yang terdampak.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, sekitar 80 persen dari seluruh wilayah tambang di Indonesia berisiko terhadap ketahanan pangan dan berujung pada kemiskinan. Tambang dianggap merusak potensi lahan untuk bercocok tanam karena mengontaminasi air dalam tanah dan merusak kondisi lahan. Hadirnya pertambangan menurunkan 50 persen produktivitas nelayan dan menurunkan 80 persen produktivitas petani.
Koordinator Jatam Merah Johansyah menunjukkan pendapatan yang diperoleh Opung Rainim Boru Purba, seorang petani di daerah tambang di Desa Pandiangan, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Opung Rainim meraih untung Rp 12 juta per tahun dari hasil tiga kali panen ladang jagung seluas 5.000 meter persegi. Opung juga mendapat untung Rp 14,5 juta per tahun dari ladang kopi sidikalang seluas 5.000 meter persegi dan untung Rp 40 juta per tahun dari 50 pohon durian parongil.
Dari pendapatan panen jagung, kopi, dan duriannya, Opung bisa meraup penghasilan Rp 5,5 juta per bulan. Sementara jika opung bekerja di pertambangan, Opung hanya bisa memiliki pendapatan senilai upah minimum Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp 2,5 juta per bulan.
Baca juga: Mereka Tak Ikut Nikmati Kue Kemakmuran
Besaran tersebut diterima Opung Rainim karena keterbatasan keterampilannya di bidang pertambangan. Keadaan yang sama mungkin akan terjadi pada 480 keluarga petani di Desa Pandiangan, Kabupaten Dairi.
Kehadiran tambang di wilayah pertanian akan menghanguskan harapan warisan kemakmuran pangan kepada generasi di masa mendatang. Akibatnya, generasi mendatang dibebani oleh tuntutan kemampuan di bidang pertambangan. Apabila generasi mendatang tidak bisa bersaing pada industri yang padat modal dan teknologi ini, ancaman pengangguran dan kemiskinan yang akan mereka terima.
Terbatas
Kemampuan sumber daya alam yang terbatas membuat pertambangan tak selamanya mampu mendorong pertumbuhan perekonomian. Sisi lain keberadaan pertambangan berkebalikan dengan paradigma pembangunan keberlanjutan, terutama pada aspek kelestarian lingkungan dan menurunkan kesejahteraan bagi generasi berikutnya.
Pencemaran limbah tambang membuat petani tak bisa leluasa menanam dan nelayan semakin terbatas jangkauannya melaut mencari ikan. Belum lagi kerusakan ekosistem, polusi, dan bencana banjir di sekitar wilayah tambang.
Apabila dihitung, jumlah beban biaya eksternalitas dari pertambangan (ongkos perbaikan lingkungan, kesehatan, dan risiko lain yang tidak pernah dihitung) mungkin melebihi jumlah pendapatan yang dihasilkan dari produksi pertambangan.
Dampak negatif dari sisi ekonomi baru terasa dalam jangka panjang. Keterbatasan keberadaan tambang dan kerusakan alamnya perlahan akan mengancam ketahanan pangan dan membuat efek domino pada kemiskinan dan pengangguran.
Upaya mencegah bencana semakin meluas sedari dini perlu diterapkan. Reklamasi dengan menutup lubang bekas tambang dan merekondisi lahan seperti kondisi awal sebelum tambang dibuka menjadi solusinya.
Mitigasi risiko tambang perlu dilakukan untuk menekan biaya ekonomi sebagai dampak kegiatan tambang di masa yang akan datang. Melakukan perbaikan regulasi dan tata kelola tersebut merupakan sebuah langkah maju pembangunan ekonomi yang berkelanjutan bagi generasi berikutnya. (Litbang Kompas)