Gunung Taal masih memuntahkan lava panas. Warga di area radius 10 kilometer dari Taal diharuskan mengungsi. Sekitar 24.000 warga yang tinggal di sekitar Taal telah meninggalkan area berbahaya.
Oleh
Elok Dyah Messwati/B Josie Susilo Hardianto
·5 menit baca
Senin dini hari, sekitar pukul 01.00, Ferin (31) serta sejumlah rekan dan keluarganya memutuskan meninggalkan Tagaytay, Filipina, untuk mengungsi ke Manila, ibu kota negara itu. Muntahan abu dan batuan kecil dari Gunung Taal, yang berjarak sekitar 32 kilometer dari Tagaytay, tidak kunjung reda, bahkan semakin kuat. Apalagi, mahasiswa Adventist University of the Philippines (AUP) di Cavite itu memiliki bayi berusia 9 bulan.
”Di jalan abu menumpuk setebal antara 5 sentimeter dan 10 sentimeter,” kata Ferin yang bersama dengan dua keluarga lain bergegas menuju Manila dengan mengendarai mobil. Mereka menempuh jarak sejauh 80 kilometer dalam waktu lebih dari dua jam. ”Mungkin lebih, biasanya, dengan melewati tol, kami menempuhnya kurang dari satu jam. Namun, pagi itu, kami membutuhkan waktu lebih lama. Selain gelap, udara penuh dengan abu dan marka pembatas jalan pun tidak tampak karena tertutup abu. Untung jalan sepi,” kata Ferin.
Setiba di Manila, mereka menuju Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Di sana mereka bertemu dengan warga negara Indonesia lain yang telah lebih dulu tiba. Untuk para pria, mereka menempati ruang olahraga, sementara untuk perempuan di mushala, dan untuk keluarga yang memiliki anak ditempatkan di kamar yang tersedia di wisma KBRI.
Ferin melihat, sejak Senin dini hari, anggota perwakilan RI di Manila telah menyiapkan langkah-langkah kedaruratan. ”Mulai pukul 08.00 pagi tim telah keluar untuk menjemput WNI yang perlu evakuasi,” kata Ferin. Hingga Selasa sore, menurut Juru Bicara KBRI di Manila Agus Buana, terdapat 112 WNI ditampung di KBRI Manila. Mereka terdiri dari para mahasiswa dan keluarga serta WNI yang tertahan di Bandara Internasional Manila.
Kami optimistis bisa mengurus mereka.
Sejak Taal bergolak, pada hari Minggu, KBRI telah menghubungi koordinator lapangan di Kampus AUP dan Adventist International Institute of Advanced Studies (AIIAS) yang ada di Cavite. ”Di AUP, kita memiliki 70 mahasiswa dan di AIIAS ada 100 mahasiswa,” ujar Agus Buana.
Sebanyak 70 mahasiswa asal Indonesia telah dievakuasi dari kampus UAP karena listrik dan air sudah dipadamkan, sedangkan di AIIAS dievakuasi 11 orang. ”Tetapi, Selasa ini air dan listrik sudah dipadamkan. Jadi, kemungkinan Rabu ini akan ada 50 orang yang dievakuasi ke KBRI,” kata Agus Buana.
Lokasi tempat mereka berada diperkirakan berjarak tiga jam dari Manila. Di KBRI telah disediakan selimut dan alas tidur untuk mereka. ”Kami optimistis bisa mengurus mereka. Pasokan makanan sudah cukup. Diaspora Indonesia dan kelompok ibu-ibu juga mendukung, membangun kepedulian dan kebersamaan dengan memberikan barang dan makanan,” kata Agus Buana. Pengalaman menangani ratusan orang yang tertipu biro perjalanan pada 2016 membuat mereka dapat mengelola ratusan pengungsi yang saat ini ditampung di KBRI.
Aktivitas
Hingga Selasa malam, Gunung Taal masih terus memuntahkan lava panas. Semburannya disebutkan setinggi 800 meter. Warga di area radius 10 kilometer dari Taal diharuskan mengungsi. Sekitar 24.000 warga yang tinggal di sekitar Taal telah meninggalkan area berbahaya. Sekolah-sekolah dan perkantoran swasta di Manila ditutup sejak Senin lalu. Seismolog memperingatkan, letusan bisa terjadi kapan saja dan berpotensi memicu tsunami.
Institut Vulkanologi dan Seismologi Filipina (Phivolcs) menyatakan, Gunung Taal— merupakan gunung api terkecil dan terpendek di dunia dengan tinggi hanya 311 meter—dalam beberapa bulan terakhir sudah menunjukkan aktivitas aktif.
Sejak erupsi dimulai pada hari Minggu lalu, level kewaspadaan terkait gunung api Taal sempat mencapai Level 5, yang merupakan level tertinggi, berarti letusan sedang berlangsung. Namun, Selasa kemarin level kewaspadaan turun di Level 4, mengindikasikan erupsi berbahaya mungkin terjadi dalam hitungan jam hingga hari.
Menurut Phivolcs, sekitar 50 gempa vulkanik terdeteksi selama delapan jam pada Selasa kemarin. Ini mengindikasikan peningkatan magma. ”Kecepatan munculnya magma adalah penting dalam menentukan kapan gunung berapi akan meletus kuat. Sampai sekarang kami tidak melihat kegiatan melambat dan gempa vulkanik masih berlanjut,” kata Renato Solidum, Direktur Phivolcs.
Sementara Maria Antonia Bornas, Kepala Spesialis Penelitian Sains di Phivolcs mengatakan, kecepatan eskalasi dan aktivitas vulkanik Gunung Taal mengejutkan lembaga tersebut. ”Kami telah mendeteksi magma. Itu masih dalam, belum mencapai permukaan. Namun, letusan berbahaya bisa terjadi kapan saja,” kata Bornas.
Penerbangan
Setelah ditutup, penerbangan di Bandara Internasional Ninoy Aquino, Manila, dioperasikan sebagian. Sebelumnya, pada hari Minggu, lebih dari 500 penerbangan ditunda atau dibatalkan. Satu penerbangan yang mendarat membawa Presiden Filipina Rodrigo Duterte, yang kembali dari kota asalnya, Davao di Filipina selatan. Duterte tidak dapat terbang pada hari Minggu karena jarak pandang sangat pendek.
Gunung Taal telah meletus lebih dari 30 kali dalam lima abad terakhir. Terakhir gunung tersebut meletus tahun 1977. Letusan Gunung Taal pada 1911 menewaskan 1.500 orang dan satu letusan yang terjadi tahun 1754 bertahan selama beberapa bulan. Filipina yang terletak di wilayah ”Cincin Api”, di mana banyak gunung berapi yang mengelilingi Samudra Pasifik, juga rentan terhadap gempa bumi.
”Kami takut pada apa yang bisa terjadi kepada kami. Kami pikir gunung berapi sudah akan meletus,” kata Marilou Baldonado (53), yang mengungsi meninggalkan kota Laurel dengan hanya membawa dua set pakaian setelah dia melihat awan abu besar terbentuk di langit.
Namun, beberapa wisatawan asing justru mengabaikan bahaya tersebut dan tetap melakukan perjalanan ke kota-kota yang dekat dengan Gunung Taal untuk mendapatkan foto awan panas. ”Ini adalah pengalaman sekali seumur hidup bagi kami,” kata turis dari Israel, Benny Borenstein, ketika ia mengambil foto- foto Gunung Taal dari kota Tagaytay. (AP/AFP/REUTERS)