Membaca Konfigurasi Politik Pencalonan Kepala Daerah
Pemilihan kepala daerah serentak 2020 diprediksi tetap didominasi oleh koalisi partai politik. Dari 270 daerah yang akan melaksanakan pilkada, hanya partai-partai politik besar yang berpeluang bisa mencalonkan.
Oleh
Yohan Wahyu/Litbang Kompas
·6 menit baca
Pemilihan kepala daerah serentak 2020 diprediksi tetap didominasi oleh koalisi partai politik. Dari 270 daerah yang akan melaksanakan pilkada, hanya partai-partai politik besar yang berpeluang mengajukan pasangan calon kepala daerah tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lain.
Koalisi partai politik masih akan menjadi tumpuan bagi pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah untuk bisa berkontestasi dalam pilkada serentak yang akan digelar pada September 2020. Jika merujuk perolehan kursi yang tersebar di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, porsi partai politik untuk mengajukan pasangan calon tanpa harus berkoalisi lebih sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan porsi bagi partai yang perlu berkoalisi dengan partai lain.
Bagaimanapun peluang partai politik mengajukan pasangan calon di pilkada harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pasal 40 UU tersebut menyebutkan, partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota legislatif di daerah yang bersangkutan.
"Hal ini tidak terlepas dari penguasaan kursi di DPRD yang juga didominasi oleh lima besar partai ini di daerah. Mereka adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)"
Dari syarat pengajuan calon di pilkada ini, lima besar partai politik peraih kursi di DPR hasil Pemilihan Umum 2019 lebih banyak berpeluang mengajukan pasangan calon di pilkada. Hal ini tidak terlepas dari penguasaan kursi di DPRD yang juga didominasi oleh lima besar partai ini di daerah. Mereka adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Dari 270 daerah yang akan menggelar pilkada pada tahun ini, ada 9.374 kursi DPRD, baik kabupaten/kota maupun provinsi, tersebar di daerah itu. Dari jumlah tersebut, PDI-P menguasai 1.625 kursi atau sekitar 17,4 persen dari semua kursi DPRD. Sementara, Partai Golkar menempati peringkat kedua dengan penguasaan 1.381 kursi atau 14,7 persen kursi DPRD. Selanjutnya berturut-turut Gerindra di posisi ketiga dengan penguasaan 1.052 kursi (11,2 persen), Nasdem dengan 885 kursi (9,4 persen), dan PKB dengan 833 kursi (8,9 persen).
Tanpa koalisi
Dari komposisi penguasaan kursi DPRD tersebut, jika mengacu syarat penguasaan minimal 20 persen kursi DPRD, hanya ada dua partai politik yang memiliki peluang paling besar dalam mengajukan pasangan calon di pilkada tanpa harus membangun koalisi dengan partai politik lain. Keduanya adalah PDI-P dan Golkar.
Dari 270 pilkada pada tahun ini, dengan mengacu ke syarat minimal kursi, PDI-P berpeluang mengajukan pasangan calon tanpa harus berkoalisi di 80 daerah atau 29,6 persen dari daerah yang menggelar pilkada di 2020. Artinya, di 80 daerah tersebut perolehan kursi partai ini di DPRD memenuhi ketentuan minimal 20 persen dari semua kursi. Hal yang sama dialami Golkar. Partai ini berpeluang mengajukan sendiri pasangan calon di 56 daerah atau 20,7 persen dari semua daerah yang menggelar pilkada.
"Namun, jika merujuk pengalaman pilkada lima tahun lalu (2015), hanya PDI-P yang benar-benar memanfaatkan peluangnya mengajukan pasangan calon tanpa harus berkoalisi dibandingkan dengan Golkar"
Dibandingkan kedua partai ini, partai lainnya juga memiliki peluang tanpa harus berkoalisi, tetapi peluangnya jauh di bawah 10 persen, bahkan sebagian besar kurang dari 5 persen dari semua daerah yang menggelar pilkada. Artinya, peluang mencalonkan pasangan calon (berdasarkan syarat kursi) tanpa harus membangun koalisi dengan partai lain, lebih banyak didominasi PDI-P dan Partai Golkar. Namun, jika merujuk pengalaman pilkada lima tahun lalu (2015), hanya PDI-P yang benar-benar memanfaatkan peluangnya mengajukan pasangan calon tanpa harus berkoalisi dibandingkan dengan Golkar.
Dari 270 daerah yang pada tahun ini menggelar pilkada, lima tahun silam PDI-P memenangi 127 pilkada atau 47 persen dari total daerah yang menggelar pilkada, yakni 269 daerah. Dari kemenangan itu, 13 pilkada dimenangi partai ini tanpa berkoalisi dengan partai politik lain. Kabupaten Tabanan, Bali, menjadi salah satu wilayah di mana PDI-P menguasai 70 persen kursi DPRD. Tentu, menjadi tantangan bagi PDI-P untuk mempertahankan kursi kepala daerah di Tabanan yang setidaknya dikuasainya sejak pilkada langsung digelar pada 2005.
Sementara itu, Golkar tercatat memenangi 58 pilkada, tetapi tidak ada satu pun yang dimenangi dengan mengajukan pasangan calon dengan modal kursi partai sendiri. Pengalaman di 2015 tentu akan menjadi ujian bagi Golkar di pilkada tahun ini, apakah melewatkan peluangnya mengajukan pasangan calon dengan modal kursi sendiri atau tetap seperti pilkada lima tahun lalu, yakni memilih berkoalisi dengan partai lain.
PKB dan Demokrat, meskipun peluang mengajukan pasangan calon sendiri tanpa koalisi lebih kecil daripada Golkar, rekam jejaknya di Pilkada 2015 lebih baik dibandingkan Golkar. PKB, misalnya, memenangi pilkada di 79 daerah. Dari jumlah tersebut, tiga daerah dimenangi tanpa harus berkoalisi dengan partai lain, yakni di Pilkada Pekalongan, Jawa Tengah, dan dua daerah di Jawa Timur, yakni Sidoarjo dan Situbondo. Di tiga daerah ini, pada Pilkada 2020 PKB juga berpotensi mencalonkan kepala daerah tanpa harus menjalin koalisi karena partai ini tercatat menguasai kursi DPRD di tiga daerah ini.
Sementara itu, Demokrat, dari 15 pilkada pada tahun ini, di mana partai itu berpotensi mencalonkan pasangan calon sendiri, ada lima daerah yang di Pilkada 2015 dimenangi Demokrat tanpa berkoalisi dengan partai lain. Dua dari lima daerah itu adalah Raja Ampat (Papua Barat) dan Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Kedua daerah ini akan menjadi pertaruhan Demokrat di Pilkada 2020. Apalagi, Pacitan selama ini dikenal sebagai basis suara Partai Demokrat.
Tentu yang menarik adalah fenomena Partai Gerindra. Sebagai partai yang masuk tiga besar peraih suara dan kursi terbanyak secara nasional di Pemilu 2019, ternyata di daerah pengaruh partai ini tak sesignifikan di pusat.
Dari 270 pilkada, Gerindra hanya berpeluang mengajukan pasangan calon tanpa koalisi di sembilan daerah. Dari sembilan itu, lima daerah pernah dimenangi partai ini di Pilkada 2015 dengan berkoalisi bersama partai politik lain.
Tidak imbang
Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Moch Nurhasim, menilai, Pilkada 2020 akan diwarnai koalisi tanpa ideologi seperti halnya terjadi pada pilkada serentak sebelumnya. ”Koalisi nano-nano minus ideologi ini sebagai dampak ketidakseimbangan kursi di parlemen lokal,” ujar Nurhasim. Ketidakseimbangan ini karena kursi di DPRD, baik provinsi maupun kabupaten/kota, masih didominasi partai-partai besar.
”Koalisi nano-nano minus ideologi ini sebagai dampak ketidakseimbangan kursi di parlemen lokal”
Tidak mengherankan Pilkada 2020 akan hampir sama dengan pilkada serentak sebelumnya, dominasi partai politik atau oligarki partai politik masih akan terasa.
Menurut Nurhasim, dominasi partai ini akan lebih mengental ke pusat, dan pengurus-pengurus partai politik di daerah hanya sekadar pemberi pertimbangan. Pada akhirnya partai politik terkooptasi kepengurusan di tingkat pusat dan tidak memberikan peluang lahirnya desentralisasi dalam proses kandidasi calon kepala daerah pada Pilkada 2020.
Persoalan lainnya adalah adanya gejala meningkatnya upaya oleh calon kepala daerah yang kuat dan dinasti politik untuk memborong partai agar tercipta calon tunggal. ”Fenomena banyaknya calon tunggal dalam pilkada serentak merupakan bukti pilkada telah ditikung oleh kepentingan elite dan kelompok-kelompok kuat agar berkuasa di daerah,” ujar Nurhasim.
Fakta ini semakin menguatkan, oligarki partai masih berperan pada pencalonan di pilkada nanti. Partai politik dan koalisinya tetap akan memainkan peran yang cukup menentukan siapa dan berapa pasangan calon yang berkontestasi di pilkada.