Operasi tangkap tangan KPK terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, awal Januari 2020, merupakan kabar baik di tengah keraguan publik. Namun, operasi itu penuh rintangan.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, awal Januari 2020, merupakan kabar baik di tengah keraguan publik akan pimpinan dan dasar hukum yang baru bagi lembaga antirasuah. Namun, di sisi lain, operasi berjalan terseok-seok. Selain ada dugaan gagal menggeledah dan menangkap sasaran, kerja KPK pun menjadi lambat.
Hal itu tampak dari proses kerja pasca-penangkapan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, terkait kasus korupsi penggantian antarwaktu (PAW) anggota DPR, di Jakarta, Rabu (8/1/2020), kemudian menetapkan Wahyu sebagai tersangka pada Kamis (9/1/2020). Pada pengalaman sebelumnya, penangkapan dan penetapan tersangka akan segera disusul dengan penggeledahan sejumlah lokasi terkait kasus.
Namun, penggeledahan tak bisa dilaksanakan segera atau pada hari yang sama. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penggeledahan, penyadapan, dan penyitaan harus seizin Dewan Pengawas. Izin tersebut diajukan pada Jumat (10/1/2020) sehingga penggeledahan baru bisa dilakukan pekan berikutnya (Kompas, 12/1/2020).
Kerja yang lambat itu juga diwarnai kegagalan. Pada Jumat (10/1/2020), penyidik KPK tak bisa menggeledah Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Penyidik dilarang masuk kantor tersebut dengan alasan administrasi.
Padahal, penggeledahan diperlukan karena suap terhadap Wahyu Setiawan dilakukan oleh politisi PDI-P Harun Masiku untuk menggantikan anggota DPR dari Fraksi PDI-P Riezky Aprilia melalui mekanisme PAW. Suap juga melibatkan Saeful, staf Sekretariat DPP PDI-P. Adapun Saeful disebut sebagai staf Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto.
Selain gagal menggeledah, KPK juga dikabarkan gagal menangkap Hasto yang diduga bersembunyi di Kantor Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta. Penyidik dilarang memasuki areal kampus tersebut, bahkan diinterogasi petugas.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, dihubungi dari Jakarta, Rabu (15/1/2020), mengatakan, kedua kasus tersebut perlu dilihat secara utuh. Keduanya tidak dimulai oleh pimpinan baru KPK, tetapi sudah dilaksanakan sejak KPK periode 2015-2019. ”Eksekusi kasus ini dilandasi prosedur dari produk UU KPK sebelum revisi,” kata Feri.
Eksekusi kasus ini dilandasi prosedur dari produk UU KPK sebelum revisi. Akan tetapi, dalam operasinya, KPK tampak sudah tidak memiliki sifat lembaga yang memiliki kewenangan luar biasa.
Akan tetapi, dalam operasinya, KPK tampak sudah tidak memiliki sifat lembaga yang memiliki kewenangan luar biasa alias extraordinary body. Hal itu merupakan dampak dari penerapan UU No 19/2019 yang memosisikan KPK dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Akibatnya, KPK bisa dibuat mundur oleh penegak hukum lain saat akan menjalankan tugasnya. Sasaran KPK pun bisa berlindung pada lembaga lain.
Feri menambahkan, lambatnya penggeledahan karena menunggu izin Dewan Pengawas (Dewas), jelas merupakan dampak dari UU No 19/2019. Dalam Pasal 47 Ayat 1 UU No 19/2019 disebutkan, dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewas.
”Hal itu akan merusak kekuatan KPK, apalagi (waktu penggeledahan) diumumkan. Ini merupakan proses hukum, jika penjahat diberi waktu persiapan tentu akan kabur atau alat bukti lenyap,” ujarnya.
Menurut Feri, sejumlah peristiwa itu merupakan fakta tentang mekanisme perlambatan gerak KPK oleh UU No 19/2019. Oleh karena itu, kebutuhan untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) semakin mendesak. ”Sebelum kerusakan kian parah, sebaiknya Presiden segera mengeluarkan perppu,” kata Feri.
Masalah personal
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, saat ditemui di rumah dinasnya di Jakarta, Selasa (14/1/2020), mengapresiasi kerja KPK di bawah pimpinan dan dasar hukum yang baru.
Mahfud menambahkan, sekalipun OTT dilakukan berdasarkan surat perintah penyidikan (sprindik) dari pimpinan KPK periode sebelumnya, pekerjaan itu tetap bisa dieksekusi. Ia percaya, di bawah kepemimpinan Firli Bahuri dan dilandasi UU No 19/2019, KPK akan tetap kuat. Sebab, sejak KPK berdiri, keraguan masyarakat terhadap pimpinan tidak pernah berhenti dan itu semua terbantah ketika mereka sudah bekerja.
”Sistem di KPK sudah cukup bagus, mampu mendorong orang untuk tidak menghindar dari keharusan berprestasi dalam memerangi korupsi. Orang-orangnya juga baru, biasanya lembaga yang diisi orang baru itu bagus karena tidak mewarisi kebiasaan lama,” kata Mahfud.
Mahfud tidak setuju pada anggapan perlambatan kerja KPK merupakan wujud pelemahan akibat substansi UU No 19/2019. UU itu masih memberikan kewenangan menyadap, menggeledah, dan menyita walaupun harus melalui izin Dewas. ”Saya percaya, Dewas yang sekarang ini tidak akan menghalangi sehingga terlalu prematur untuk mengatakan seperti itu (UU No 19/2019 melemahkan kerja KPK). Kita lihat saja nanti,” ujar Mahfud.
Adapun kegagalan menggeledah dan menangkap, kata Mahfud, disebabkan masalah personal pimpinan dan penyidik di lapangan. Sebenarnya, pimpinan KPK dapat memerintahkan penyidiknya untuk terus melaksanakan operasi. Namun, pimpinan KPK juga terbelit persoalan transisi penerapan dasar hukum dan struktur organisasi yang baru.
Hingga saat ini, peraturan presiden mengenai prosedur operasi standar (SOP) Dewas masih dirumuskan. Aturan itu, kata Mahfud, paling lambat akan selesai satu bulan lagi.
Selain itu, dalam SOP yang saat ini masih berlaku, dimungkinkan pula OTT dilakukan tanpa sepengetahuan pimpinan KPK. Dampaknya, pimpinan gagap saat harus menjelaskan kasus yang tidak dimengerti sepenuhnya kepada publik. Salah satunya dengan memberitahukan jadwal penggeledahan.
”Ini merupakan gabungan kegagapan (pimpinan) dan masa transisi KPK,” katanya.
Kegagalan menggeledah dan menangkap, kata Mahfud, disebabkan masalah personal pimpinan dan penyidik di lapangan. Sebenarnya, pimpinan KPK dapat memerintahkan penyidiknya untuk terus melaksanakan operasi. Namun, pimpinan KPK juga terbelit persoalan transisi penerapan dasar hukum dan struktur organisasi yang baru.
Mengenai kegagalan menggeledah Kantor DPP PDI-P, Mahfud membenarkan bisa saja itu terjadi karena melibatkan partai berkuasa. ”Bisa juga bercampur ke situ, siapa tahu itu memang terjadi. Akan tetapi, kalau itu memang terjadi, kami sedih,” ujarnya.
Ia juga prihatin atas kabar penghalangan penyidik KPK untuk menangkap sasarannya di PTIK. Sekalipun secara formal penyidik bersalah karena tidak menunjukkan dan membacakan surat tugas, tindakan itu tetap keliru. ”Semestinya, kalau ada petugas penegak hukum melaksanakan wewenangnya, itu perlu dibantu,” kata Mahfud.
Mahfud mengatakan, masyarakat tidak perlu khawatir akan masa depan pemberantasan korupsi. Sebab, Presiden Joko Widodo berkomitmen untuk melaksanakannya. ”Di tingkat KPK dikatakan Presiden bahwa KPK harus tetap kuat, lalu di tingkat pemerintah Presiden sudah memerintahkan Kejaksaan Agung, Polri, dan saya sendiri agar tidak main-main dalam pemberantasan korupsi,” katanya.
Ia juga menekankan, peluang untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk UU KPK masih terbuka. ”Opsi mengeluarkan perppu itu memang belum tertutup. Kan, bisa saja Presiden mengeluarkan perppu, terutama kalau melihat perkembangan ke depan,” kata Mahfud.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa berpendapat sama dengan Mahfud. Menurut dia, perlambatan kerja KPK bukan disebabkan oleh UU, melainkan aturan operasional yang belum ada.
Ia mendorong Presiden agar segera menerbitkan aturan tentang petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis kerja terkait kerja dan komunikasi antara komisioner KPK dan Dewas.
Desmond menilai, tidak ada bagian dalam UU No 19/2019 yang perlu dikoreksi. Ini justru menjadi tantangan bagi pimpinan KPK untuk bekerja di bawah konfigurasi dasar hukum yang baru. ”Ini tantangan untuk komisioner baru untuk bisa membuktikan kerja mereka. Apakah UU KPK yang ada ini memang tidak bagus atau istilahnya melemahkan KPK. (Kerja mereka) akan membuktikan itu,” katanya.