Pemerintah Berencana Memulangkan WNI Bekas Simpatisan NIIS
WNI tersebut akan dipulangkan lalu kemudian diadili di Indonesia. Setelah diadili, mereka akan menjalankan program deradikalisasi.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana memulangkan sekitar 600 warga negara Indonesia yang terpapar radikalisme dan diduga pernah bergabung dengan kelompok teroris, Negara Islam Irak dan Suriah atau NIIS. Setelah kembali ke Tanah Air, mereka akan menjalani program deradikalisasi dan memulai hidup baru di Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pemerintah berencana untuk menjamin hak-hak konstitusional WNI yang terpapar radikalisme. Setiap WNI berhak untuk mempertahankan kewarganegaraan yang dijamin dalam UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
”Kewajiban negara itu menjaga konstitusi, salah satunya menjaga agar hak setiap orang untuk tidak kehilangan status kewarganegaraannya,” ujar Mahfud di rumah dinasnya, Kuningan, Jakarta, Selasa (14/1/2020) malam.
Oleh sebab itu, Mahfud menjelaskan, pemerintah berencana untuk memulangkan WNI yang berada di luar negeri dan terpapar radikalisme. Ia menyebutkan, berdasarkan laporan Badan Intelijen Negara (BIN), ada sekitar 600 WNI yang saat ini masih berada di luar negeri dan terpapar radikalisme.
”Berdasarkan data, yang berada di Suriah ada sekitar 184 orang. Sisanya tersebar di negara-negara Timur Tengah, seperti Irak dan Afghanistan. Mereka diduga bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS),” katanya.
Mahfud mengatakan, WNI tersebut akan dipulangkan lalu kemudian diadili di Indonesia. Setelah diadili, mereka akan menjalankan program deradikalisasi.
”Kalau sudah terpapar, mereka harus mengikuti program deradikalisasi. Oleh sebab itu, ada Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 menteri yang memiliki tugasnya masing-masing, seperti melakukan tindakan hukum, deradikalisasi, ataupun kontraradikalisasi,” katanya.
Mahfud menjelaskan, sejumlah tugas pokok dan fungsi penegakan hukum berada di ranah Kejaksaan Agung dan Polri. Adapun penyelesaian masalah terkait soal agama berada di ranah Kementerian Agama.
Pedang bermata dua
Sementara itu, pakar terorisme, Noor Huda Ismail, mengatakan, pemulangan alumni NIIS ini ibarat pedang bermata dua. Hal ini disebabkan para alumni NIIS memiliki rekam jejak yang mengerikan ketika sedang beraksi di luar negeri.
”Peran alumni sangatlah unik, karena selain dianggap mereka telah lunas melaksanakan syariat jihad membela umat Islam yang tertindas di luar negeri, mereka juga dipandang jago berjejaring hingga tingkat global dan berpengetahuan agama yang dalam,” ucapnya.
Noor menuturkan, para alumni NIIS ini memiliki status sosial yang tinggi di luar negeri dan hal ini belum bisa terbaca oleh masyarakat umum maupun aparat. Sebagian besar dari mereka merupakan orang-orang terdidik dan lahir dari kalangan mereka sendiri yang kemudian mampu melakukan counter hegemony terhadap sistem politik NKRI.
”Mereka hidup dalam sebuah negara bayangan karena belum ada penguasaan teritori. Oleh karena itu, meskipun mereka terlahir sebagai orang Indonesia, imajinasi politik mereka melampaui negara bangsa. Dalam bahasa lain, mereka merasa menjadi bagian dari sebuah pranata politik ’global ummah’ yang terikat dalam solidaritas keislaman mondial,” ujarnya.
Meski demikian, Noor berpendapat, para alumni NIIS ini bisa menyebarkan virus kebaikan jika pemerintah berhasil memulangkan mereka dan mengelola para alumni ini dengan baik. Para alumni NIIS ini bisa menjadi pencegah bagi kaum-kaum yang menolak kebinekaan.
”Kekalahan NIIS dan kegagalan mereka di Suriah bisa menjadi titik balik bagi mereka untuk menakar ulang dan cara hidup mereka yang lama dan menjadi individu yang baru di Indonesia. Mereka juga bisa melakukan pendampingan kepada para mantan narapidana terorisme di hampir seluruh penjara di Indonesia untuk melawan narasi intoleransi,” katanya.
Noor menjelaskan, ada tantangan yang perlu dihadapi oleh para WNI bekas NIIS yang kembali ke Indonesia, seperti masalah stigma dari masyarakat dan tidak ada jaminan bahwa mereka bisa jadi akan kembali ke pemikiran ekstrem lama mereka. Ia menyarankan agar pemerintah benar-benar mendata kepulangan WNI tersebut dan terus mengawasi serta melakukan pendampingan terhadap mereka.