Penciptaan Lapangan Kerja dan Peningkatan Ekonomi Desa Diperlukan
Angka kemiskinan Indonesia per September 2019 turun menjadi 9,22 persen. Kendati begitu, disparitas kemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah. Pemerintah perlu menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan ekonomi desa.
Oleh
m paschalia judith j/karina isna irawan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angka kemiskinan Indonesia per September 2019 turun menjadi 9,22 persen dari September 2018 yang sebesar 9,66 persen. Kendati begitu, kesenjangan atau disparitas kemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah besar. Untuk mengatasinya, perlu penciptaan lapangan kerja dan peningkatan ekonomi desa.
Badan Pusat Statistik (BPS), Rabu (15/1/2020), merilis, jumlah penduduk miskin pada September 2019 sebanyak 24,79 juta jiwa atau turun 880.000 orang dibandingkan dengan September 2018. Proporsi penduduk miskin di desa 12,6 persen, sedangkan di kota 6,56 persen. Angka ini menurun dibandingkan dengan September 2018 yang sebesar 13,1 persen di desa dan 6,89 persen di kota.
Kendati turun, disparitas penduduk miskin di kota dan desa masih tinggi. Hal itu ditunjukkan dengan angka rasio gini atau tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk.
Secara nasional, angka rasio gini per September 2019 sebesar 0,380 atau hanya turun 0,002 dari September 2018 yang sebesar 0,384. Pada September 2019, rasio gini di desa sebesar 0,315, sedangkan di kota 0,391.
Nilai rasio gini berada di antara 0 dan 1. Semakin tinggi nilai rasio gini, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran penduduk.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, rasio gini di kota dan desa memang turun. Namun, distribusi pengeluaran penduduk per kapita, terutama penduduk kelompok 40 persen terbawah naik. Distribusi pengeluaran penduduk per kapita kelompok tersebut pada September 2019 sebesar 17,71, naik dari September 2018 sebesar 17,47.
Hal itu perlu mendapatkan perhatian karena penduduk kelompok 40 persen terbawah merupakan penduduk dengan tingkat pendapatan terendah. Selain itu, perlu dilihat pula angka kemiskinan yang turun di bawah 10 persen.
”Jika persentasenya (penduduk miskin) di bawah 10 persen, bantuan yang dibutuhkan tidak hanya jaring pengaman sosial, tetapi juga aset, pendidikan, dan bantuan modal usaha,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.
Jika persentasenya (penduduk miskin) di bawah 10 persen, bantuan yang dibutuhkan tidak hanya jaring pengaman sosial, tetapi juga aset, pendidikan, dan bantuan modal usaha.
Dari 34 provinsi di Indonesia, hanya delapan provinsi yang rasio gininya di atas rata-rata nasional. Rasio gini tertinggi tercatat di DI Yogyakarta, yaitu 0,428, sedangkan terendah di Bangka Belitung 0,262.
BPS juga mencatat, masih ada 16 provinsi yang angka kemiskinan lebih tinggi dibandingkan rata-rata persentase nasional. Ke-16 provinsi itu adalah Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Gorontalo, Aceh, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, Lampung, Yogyakarta, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Angka kemiskinan di Papua menempati posisi tertinggi, yakni 26,55 persen. Adapun angka kemiskinan terendah berada di DKI Jakarta, yakni 3,42 persen.
Suhariyanto juga berpendapat, proporsi penduduk miskin di desa dan kota juga masih terpaut tinggi. Persentase penduduk miskin di desa lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan.
”Untuk itu, perlu upaya dan strategi menurunkan kemiskinan di desa yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian,” katanya.
Peningkatan ekonomi desa
Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, menilai, sebagian besar provinsi yang persentase penduduk miskinnya masih tinggi berada di Indonesia timur. Hal itu terjadi terutama karena pengolahan sumber daya alam lokal dan penciptaan lapangan kerja di wilayah tersebut masih minim.
”Pengetahuan dalam pengolahan sumber daya alam setempat oleh masyarakat lokal yang mampu menciptakan lapangan kerja menjadi kunci dalam mengatasi kemiskinan di Indonesia timur,” ujarnya.
Menurut Lana, penanggulangan kemiskinan tidak bisa hanya ditekankan pada satu kementerian. Tiap kementerian/lembaga pemerintah perlu saling berkoordinasi melihat potensi sumber daya alam di tiap wilayah yang mampu dikelola oleh masyarakat setempat sekaligus menjadi lapangan pekerjaan bagi masyarakat itu sendiri.
”Untuk mengatasi kemiskinan di desa, pelaksanaan program dana desa harus tepat sasaran. Kriteria tepat sasaran itu ialah mampu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat desa sesuai dengan potensi yang ada,” katanya.
Untuk mengatasi kemiskinan di desa, pelaksanaan program dana desa harus tepat sasaran. Kriteria tepat sasaran itu ialah mampu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat desa sesuai dengan potensi yang ada.
Lana menambahkan, agar program penggunaan dana desa itu tepat sasaran, warga desa membutuhkan pendampingan dari badan usaha milik daerah dan perguruan tinggi setempat. Pemerintah pusat pun mesti mengidentifikasi desa-desa yang belum bisa menentukan program penggunaan dana desa dan memutuskan program yang tepat untuk desa tersebut.
Penciptaan lapangan kerja dan perkuatan ekonomi perdesaan sangat diperlukan untuk meningkatkan penghasilan masyarakat. Sebab, rata-rata garis kemiskinan nasional dalam kurun waktu setahun, September 2018-September 2019, meningkat 7,27 persen.
BPS menyebutkan, garis kemiskinan pada September 2019 mencapai Rp 440.538 per kapita per bulan. Angka ini lebih tinggi dari garis kemiskinan pada September 2018 yang sebesar Rp 410.670 per kapita per bulan.
Guru Besar Ekonomi Universitas Brawijaya Ahmad Erani Yustika berpendapat, keberhasilan pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan dalam 5 tahun terakhir patut diapresiasi. Namun, inovasi strategi tetap dibutuhkan karena tantangan penurunan kemiskinan makin sulit.
Hal itu tecermin pada perlambatan penurunan kemiskinan. ”Cara-cara yang dibutuhkan untuk mengurangi kemiskinan semakin rumit, apalagi saat ini sudah di bawah 10 persen,” ujar Ahmad di sela-sela diskusi Kompas bertajuk ”Menuju Indonesia 2045” di Jakarta, Rabu.
Menurut Ahmad, pemerintah mesti mengevaluasi berbagai program pengurangan kemiskinan yang ada, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung Non Tunai (BPNT), dan berbagai subsidi. Sejauh mana program-program itu berkontribusi terhadap penurunan kemiskinan.
”Evaluasi dilakukan untuk mengetahi kontribusi program terhadap penurunan kemiskinan dan celah penyimpangannya. Dari evaluasi itu, bisa diketahui kemungkinan inovasi,” kata Ahmad.
Ahmad juga menegaskan, pemerintah juga diminta tidak terjebak dalam angka-angka penurunan kemiskinan. Realita di lapangan dan aspirasi masyarakat patut dipertimbangkan.
Pemerintah juga diminta tidak terjebak dalam angka-angka penurunan kemiskinan. Realita di lapangan dan aspirasi masyarakat patut dipertimbangkan.
”Jangan sampai secara kuantitatif turun, tetapi masyarakat masih kesulitan bahkan merasa kemiskinan makin sulit. Kemiskinan akan meningkatkan risiko ketimpangan,” ujarnya.
Untuk itu, lanjut Ahmad, perbaikan metodologi perhitungan angka kemiskinan jadi salah satu solusi. Tujuannya untuk benar-benar menganalisis angka kemiskinan dari berbagai aspek sosial dan ekonomi. Metodologi baru ini bisa diimplementasikan mulai tahun 2020 karena tidak ada risiko politik.