Perusahaan pengguna gas di Sumatera Utara mendukung langkah Presiden Joko Widodo yang kembali meminta penurunan harga gas industri yang hingga kini belum terealisasi sesuai Perpres Nomor 40 Tahun 2016.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS - Perusahaan pengguna gas di Sumatera Utara mendukung langkah Presiden Joko Widodo yang kembali meminta penurunan harga gas industri yang hingga kini belum terealisasi meskipun sudah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Beberapa tahun terakhir, mereka masih terpuruk karena harga gas di Sumut mencapai 9,95 dollar AS per MMBTU, tertinggi di Indonesia. Beberapa menghentikan ekspor, mengurangi produksi, bahkan menutup perusahaan.
“Tingginya harga gas ini sebenarnya persoalan yang sudah berlarut-larut lebih dari lima tahun. Namun, hingga kini belum ada solusi konkret,” kata Ketua Asosiasi Perusahaan Pengguna Gas (Apigas) Sumatera Utara Johan Brien, Rabu (15/1/2020).
Johan mengatakan, perusahaan pengguna gas di Sumut merupakan yang paling terdampak tingginya harga gas. Industri unggulan Sumut yang menyasar pasar ekspor seperti pabrik keramik, gelas, oleokimia, alkohol lemak, dan sarung tangan karet, terpuruk karena harga gas yang tidak kompetitif. Kini, industri andalan itu pun bahkan kesulitan untuk bersaing di pasar dalam negeri.
Johan mengatakan, terpuruknya perusahaan pengguna gas dapat dilihat dari konsumsinya yang terus menurun. Sebelum tahun 2000, konsumsi gas industri di Sumut mencapai 29 juta MMBTU (juta metrik british thermal unit). Konsumsi itu lalu anjlok hingga 6,35 juta MMBTU pada 2015 karena harga gas yang naik dari 8,7 dollar AS menjadi 14 dollar AS per MMBTU. “Saat ini konsumsi gas di Sumut masih sekitar 10 juta MMBTU setelah harga diturunkan menjadi 9,95 dollar,” kata Johan.
Sejumlah pabrik gelas dan keramik di Medan, kata Johan, kini beralih menggunakan bahan bakar lain terutama batu bara. Namun, kualitas dan kuantitas produksi pun akhirnya berkurang. Meskipun bisa memangkas biaya produksi, mereka tetap tidak bisa bersaing di pasar ekspor karena gelas yang dihasilkan kotor. Perusahaan-perusahaan itu pun harus mengurangi produksi.
Mereka tetap tidak bisa bersaing di pasar ekspor karena gelas yang dihasilkan kotor. (Johan Brien)
Selain itu, satu perusahaan penghasil alkohol lemak telah tutup di Medan karena harga gas sudah di atas nilai keekonomian. Padahal, perusahaan itu menghasilkan bahan baku pasta gigi, detergen, minyak wangi, dan bahan dasar obat yang menyasar pasar ekspor. “Mereka sangat tergantung pada gas karena mereka menggunakannya sebagai bahan baku,” kata Johan.
Manajer Pabrik PT Kedaung Industrial Medan Sugianto mengatakan, perusahaan penghasil gelas itu kini hanya mengoperasikan satu dari empat mesinnya. Mereka pun mengurangi karyawan akibat pengurangan produksi itu. “Dengan harga gas yang sangat tinggi, kami tidak bisa bersaing di pasar ekspor,” kata Sugianto.
Sugianto mengatakan, pasar barang pecah belah kini dikuasai perusahaan dari Malaysia dan Singapura karena harga gas di negara itu hanya 4-5 dollar AS per MMBTU. Perusahaan dari Indonesia pun akhirnya terpuruk dihempas perusahaan dari kedua negara itu. “Kalau harga gas turun sampai 6 dollar AS saja, kami yakin bisa bersaing di pasar ekspor,” katanya.
Pasar barang pecah belah kini dikuasai perusahaan dari Malaysia dan Singapura karena harga gas di negara itu hanya 4-5 dollar AS per MMBTU. (Sugiyanto)
Menurut Sugianto, di dalam negeri juga sebenarnya persoalan muncul karena perbedaan harga antardaerah. Industri gelas dari Sumut tidak bisa bersaing dengan Jawa Timur karena di sana harga gas 7,89 dollar AS. Ia berharap ada kebijakan harga gas satu harga di seluruh Indonesia.
Presiden sebelumnya meminta para menteri mengalkulasi penurunan harga gas yang dinilai masih tinggi. Presiden gram karena rencana penurunan harga gas sudah disusun sejak empat tahun lalu melalui Perpres Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Pemerintah pun kini menyiapkan tiga opsi yang akan diputuskan dalam tiga bulan ke depan. Opsi tersebut yakni penurunan atau penghapusan porsi pemerintah dari bagi hasil, kewajiban badan usaha pemegang kontrak kerja sama untuk menyerahkan sebagian gas kepada negara (domestic market obligation/DMO), dan pemberian keleluasaan impor untuk gas industri. (Kompas, 8/1/2020).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, mereka akan mengkaji dua opsi yang paling memungkinkan yakni penurunan porsi pemerintah dan DMO. Pemberian keleluasaan impor dinilai bisa memunculkan masalah lain yakni meningkatnya defisit transaksi berjalan (Kompas, 10/1/2020).