Rumah Lanting, Panggung Peradaban yang Kian Hilang
Rumah yang mengapung di atas rakit di sungai itu pada masanya menjadi etalase sosial dan ekonomi. Kini, rumah lanting perlahan mulai ditinggalkan, seiring surutnya budaya sungai.
Rumah lanting merupakan salah satu warisan kebudayaan sungai yang masih ada di Kalimantan. Rumah yang mengapung di atas rakit di sungai itu pada masanya menjadi etalase sosial dan ekonomi. Kini, rumah lanting perlahan mulai ditinggalkan, seiring surutnya budaya sungai.
Perahu cepat yang membawa empat penumpang, Kamis (14/11/2019), perlahan merapat di Nanga Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Doni (30), sang nakhoda, mulai mengurangi kecepatan. ”Sebentar, ya, saya mau mengantarkan barang titipan. Setelah itu, saya antar ke lokasi tujuan,” ujar Doni.
Perahu menuju beberapa rumah lanting dan barang-barang titipan diturunkan di sana. Setelah itu, ia mengantar penumpang ke rumah lanting lain yang menjadi tempat pemberhentian bagi penumpang. Di Nanga Embaloh masih dijumpai rumah lanting yang dihuni penduduk, salah satunya Akiau (58). Ia memiliki rumah lanting berukuran 7 meter x 17 meter. Di bawah rumah lanting miliknya terdapat kayu-kayu sepanjang 20 meter dengan diameter 1-1,5 meter sebagai pelampung sehingga lanting mengapung.
Di bagian depan terdapat teras, lengkap dengan tempat duduk. Teras itu juga menjadi tempat berdagang bahan kebutuhan pokok dan alat-alat rumah tangga. Di dalam lanting terdapat dua kamar tidur, dapur, dan WC di bagian belakang. Dinding rumah lanting terbuat dari papan, sedangkan atapnya dari seng. Di beberapa sudut rumah lanting terikat tali tambang yang ditambatkan pada tiang di daratan sehingga lanting tidak hanyut.
Di Nanga Embaloh masih ada sekitar 14 rumah lanting. Sebagian besar pemiliknya warga Tionghoa yang berdagang. Ada juga beberapa warga Melayu. Akiau merupakan generasi kedua yang tinggal di rumah lanting. Warga Tionghoa di situ pada umumnya pendatang. Mereka awalnya tidak memiliki tanah sehingga orangtuanya membuat rumah lanting di Sungai Kapuas. ”Ayah saya mengembara dari China sejak usia 17 tahun. Sampailah dia ke sini dan membuat rumah lanting dan berdagang hingga ke generasi saya,” ujar Akiau.
Pada era 1970 hingga 1980-an, transportasi darat belum memadai, sungai satu-satunya jantung transportasi.
Pada era 1970 hingga 1980-an, transportasi darat belum memadai, sungai satu-satunya jantung transportasi. Penduduk di sepanjang sungai, misalnya di Sungai Utik, Tebelian, Palin, hingga ke Benua Martinus, berbelanja ke Nanga Embaloh. Sungai banyak bermuara ke Nanga Embaloh. Penduduk membawa hasil bumi dijual ke pedagang di rumah lanting. Kemudian, pulang membawa barang kebutuhan sehari-hari. Masa itu, di belakang rumah lanting ada penginapan untuk warga yang datang menjual hasil bumi. Ada juga sistem barter.
”Interaksi masa itu masih sangat intensif. Sampai-sampai, saya bisa berbahasa Dayak Iban, Dayak Kantuk, dan Embaloh. Interaksi dagang dengan penduduk dari banyak wilayah sangat intensif,” ungkapnya. Oktavianus Apin (47) juga generasi kedua yang tinggal di lanting, sudah sekitar 30 tahun. Orangtuanya dahulu tinggal di lanting. Lantingnya berukuran 8 meter x 15 meter. Apin juga berdagang di lantingnya.
Ia masih berdagang di rumah lanting karena masih ada wilayah yang transportasinya menggunakan sungai. Jalur ke Nanga Embaloh masih sulit dilintasi dengan jalur darat. Meskipun demikian, yang berbelanja tinggal penduduk yang wilayahnya dekat, misalnya dari Lawik dan Nanga Lauk.
Selain untuk tempat tinggal dan berdagang, rumah lanting juga ada yang difungsikan penduduk sebagai bengkal perahu cepat. Perahu cepat yang rusak tinggal dibawa menuju bengkel di rumah lanting.
Risiko
Tinggal di rumah lanting bukannya tanpa risiko. Setiap hari penghuni rumah lanting mesti mengecek tali penahan untuk disesuaikan dengan ketinggian muka air sungai. Jika air surut, lanting harus agak didorong ke tengah sungai sehingga tetap bisa mengapung. ”Kalau malam hari tiba-tiba hujan dan angin kencang, saya bangun untuk mengontrol tali. Saya khawatir kalau angin kencang, lanting bisa menabrak keramba tetangga,” ujar Akiau.
Bahkan, kalau penghuninya sedang ke luar kota, apalagi dalam waktu lama, lanting harus dititipkan kepada salah satu warga untuk dicek. ”Kami tidak berani keluar kota dalam waktu lama khawatir kondisi lanting,” ujarnya. Risiko lainnya, saat bagian kayu yang berfungsi sebagai pelampung sudah rapuh dan tidak bisa menopang rumah secara kuat. Jika air sudah banyak masuk ke serat-serat kayu, artinya harus sudah diganti. Padahal, kayu gelondongan sulit dicari.
Kalaupun ada harganya Rp 10 juta per batang. Alternatif lain diganti menggunakan drum plastik. Bisa juga, menggunakan bambu dipotong lalu dipasang di sela-sela antarkayu pelampung. Dengan kondisi itu, mereka yang berdagang di rumah lanting harus menyesuaikan barang dagangannya dengan daya apung lantingnya. Barang tidak bisa terlalu banyak yang dipajang di toko karena bisa karam jika kelebihan beban.
Perlahan ditinggalkan
Seiring waktu, lanting kini mulai ditinggalkan. Masyarakat dari daerah-daerah yang dahulu berbelanja ke lanting di Nanga Embaloh pun sudah jarang. Sebab, sudah ada jalan darat menuju ke Putussibau. Hanya beberapa jam sudah bisa berbelanja ke Putussibau. Selain itu, semakin banyak akses darat yang dibuka.
”Dengan warga yang angkatan tua yang dahulu berbelanja ke kami, saya masih kenal. Namun, dengan generasi mudanya tidak kenal karena interaksi di masa mereka dengan pedagang di lanting sudah tidak pernah,” ujar Akiau. Kalaupun ada yang berbelanja, tinggal warga Nanga Embaloh dan kampung terdekat saja. Keberadaan lanting pun perlahan ditinggalkan. Jika pada 1970 hingga 1980-an di Nanga Embaloh ada sekitar 30 rumah lanting, kini tersisa 14 rumah lanting.
Penduduk yang tinggal di lanting saat ini, termasuk Akiau dan Apin, kemungkinan generasi terakhir yang di lanting.
Penduduk yang tinggal di lanting saat ini, termasuk Akiau dan Apin, kemungkinan generasi terakhir yang di lanting. Anak-anak mereka sudah di kota untuk bekerja atau sekolah. Tidak ada lagi yang mau tinggal di rumah lanting. ”Dulu di pinggir Sungai Kapuas ini dipadati rumah lanting. Sekarang coba lihat saja sudah sangat berkurang,” ujar Akiau.
Pengajar Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Pontianak, yang pernah meneliti rumah lanting, Donatianus, mengatakan, rumah lanting terdapat pula di daerah lain, misalnya di Kabupaten Sintang. Berdasarkan penuturan beberapa warga Tionghoa yang ia temui, rumah lanting dahulu awalnya dibangun warga China pasca-bubarnya kongsi pertambangan. Awalnya mereka tidak memiliki hak tinggal di daratan, maka berusaha membangun tempat tinggal atas di sungai.
Pada awalnya, sekitar 1776-1884, kongsi-kongsi pertambangan yang ada di Kalbar cukup besar. Pasca-kongsi bubar para pengikut kongsi awalnya mencari hidup masing-masing. Mereka menyebar ke beberapa wilayah, termasuk ke sungai-sungai yang menjadi akses utama pada masa itu. Mereka memilih tempat strategis untuk berdagang.
Dalam perkembangannya lanting juga dihuni masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang, misalnya Dayak, Malayu, dan bahkan Jawa. Keberadaan rumah lanting di tepi sungai ternyata sekaligus bisa mencegah abrasi. Di rumah lanting itu juga berkembang nilai gotong royong. Saat musim kemarau, biasanya posisi rumah lanting miring sehingga perlu ditarik ke posisi semula secara gotong royong. Begitupun ketika permukaan air kembali normal.
Saat sungai menjadi jalur utama transportasi, rumah lanting masih banyak. Orang singgah di lanting. Ketika jalur utama transportasi berpindah ke darat, perlahan lanting ditinggalkan. Rumah orang yang semula menghadap ke sungai, kini ke darat. Ditambah lagi, kayu semakin sulit didapat sehingga mahal. Kayu untuk pelampung rumah lanting, harganya bisa Rp 7 juta-Rp 10 juta per batang.
Rumah lanting saat ini hendaknya dipandang sebagai aset budaya yang perlu dilestarikan. Rumah lanting yang ada bisa ditata dalam bentuk perkampungan khusus dan dikemas sebagai aset pariwisata. (ESA)