Libya menghadapi ketidakpastian setelah Khalifa Haftar belum bersedia menandatangani perjanjian damai. Hal itu menjadi kemunduran walau komunitas internasional mendorong kuat.
Oleh
BENNY D KOESTANTO/KRIS MADA
·3 menit baca
MOSKWA, SELASA— Tentara Nasional Libya pimpinan Khalifa Haftar meninggalkan Rusia, Selasa (14/1/2020), beberapa saat setelah menolak menandatangani naskah perdamaian yang diusulkan Turki dan Rusia. Sebaliknya, Pemerintahan Nasional Libya (GNA) yang dipimpin Fayez al-Serraj telah menandatangani dokumen itu.
Penolakan Haftar adalah sebuah kemunduran bagi proses diplomatik internasional dalam beberapa hari terakhir. Meskipun Moskwa bersikeras akan melanjutkan upaya mediasi, langkah Haftar menyebabkan masa depan gencatan senjata di Libya ada dalam situasi rentan dan rapuh.
”Kami akan berupaya keras melanjutkan proses sesuai dengan yang kami inginkan. Untuk saat ini, hasil yang pasti belum tercapai,” kata Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dalam sebuah konferensi pers di Sri Lanka.
Lavrov menekankan bahwa Rusia, negara-negara Eropa dan tetangga Libya bekerja dalam nada yang sama dan memotivasi semua pihak agar Libya sepakat dengan dorongan yang dilakukan. Hal itu dinilai jauh lebih baik dibandingkan terus berupaya menyelesaikan masalah dengan jalur pemaksaan.
Kantor berita Pemerintah Rusia, RIA Novosti, mengutip sebuah sumber di kubu Haftar di Benghazi, mengatakan, Haftar tidak menandatangani surat perjanjian karena perjanjian itu tidak menyebutkan jadwal atau tenggat pembubaran kelompok-kelompok yang bersekutu dengan GNA.
Secara faktual, kini Libya dikendalikan Tentara Nasional Libya (LNA) yang berkedudukan di Benghazi. Sementara GNA menguasai ibu kota Libya, Tripoli, dan diakui internasional. LNA disokong Rusia, sejumlah negara Barat dan Timur Tengah.
Kami akan terus berjuang mengusir semua teroris.
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyerukan gencatan senjata bersama, yang dimulai pada Minggu tengah malam dan disambut baik oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. GNA dan LNA pun menyepakati gencatan senjata yang berlaku sejak Senin pukul 00.00. Walakin, LNA menolak menarik pasukan dari sekitar Tripoli. Sejak April 2019, LNA berusaha merebut Tripoli dari GNA.
Dalam pernyataan di media sosial pada Selasa pagi, LNA mengumumkan siap meneruskan perjuangan sampai menang. Tidak ada penjelasan lebih lanjut dari maksud pernyataan yang disampaikan kala Haftar belum menandatangani rancangan naskah kesepakatan damai itu. ”Kami akan terus berjuang mengusir semua teroris,” demikian pernyataan resmi LNA.
Sejak awal, LNA menuding GNA disokong milisi teroris. GNA mengabaikan tuduhan itu. GNA dan LNA sama-sama menggunakan milisi dan sokongan militer asing dalam perang saudara di Libya. Desember 2019, GNA mengumumkan kerja sama militer dengan Turki. Pengumuman itu diikuti dengan persetujuan Ankara mengirim tentara dan peralatan perang ke Libya untuk membantu GNA.
Kritik
Menlu Turki, Mevlut Cavusoglu menyatakan, keputusan Haftar untuk tidak menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan Pemerintah Libya yang diakui secara internasional menunjukkan siapa yang menginginkan perang dan yang menginginkan perdamaian di negara itu.
Cavusoglu mengatakan, Turki telah melakukan apa yang bisa untuk memastikan gencatan senjata. Jika Haftar terus bertindak seperti ini, Konferensi Tingkat Tinggi Libya yang direncanakan akan diadakan di Berlin pada Minggu (19/1) tidak akan ada artinya.
Putin pada Senin malam membahas perundingan di
Moskwa dengan Kanselir Jerman Angela Merkel. Turki dan Perancis menyerukan gencatan senjata yang lebih permanen. Hal itu dinilai bakal membuka jalan lebih lebar bagi proses politik di Libya.