Standardisasi Sistem Peringatan Dini Bencana Ditetapkan
Sistem peringatan dini menjadi faktor penting dalam penanganan bencana. Karenanya perlu ada standar sebagai pedoman dalam penerapan sistem peringatan dini di kawasan rawan bencana di Indonesia.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Badan Standardisasi Nasional telah menetapkan Standar Nasional Indonesia untuk sistem peringatan dini bencana. Standar ini diharapkan dapat menjadi pedoman dalam penerapan sistem peringatan dini bencana di kawasan rawan bencana di Indonesia.
Direktur Pengembangan Standar Infrastruktur, Penilaian Kesesuaian, Personal, dan Ekonomi Kreatif Badan Standardisasi Nasional (BSN) Hendro Kusumo menyampaikan, penetapan standardisasi peringatan dini bencana merupakan salah satu upaya pemerintah menanggulangi dan mengurangi dampak dari bencana. BSN telah menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 8840-1:2019 untuk sistem peringatan dini bencana.
“Sistem peringatan dini bencana ditujukan untuk memberdayakan individu-individu dan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana agar bisa melakukan antisipasi bencana. Peningkatan kesiapsiagaan tersebut penting dilakukan untuk mengurangi dampak dan risiko korban jiwa akibat terjadinya bencana,” kata Hendro dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Berdasarkan data Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR /United Nations Office for Disaster Risk Reduction/UNISDR), Indonesia merupakan negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia. Tingginya posisi Indonesia ini dapat terlihat dari banyaknya korban jiwa yang terdampak akibat bencana alam.
Hendro mengatakan, SNI yang telah ditetapkan oleh BSN dapat menjadi acuan bagi perangkat daerah, tim siaga bencana, serta masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana untuk bisa memberi dan menangkap adanya peringatan dini bencana. Selain itu, mereka juga lebih siap menentukan langkah-langkah antisipasi.
“Yang dimaksud tim siaga bencana dalam standar ini adalah tim atau kelompok yang berisikan anggota yang memiliki kemampuan dalam pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, penanganan darurat, dan penanganan pascabencana,” ujarnya.
Tim siaga bencana tersebut juga harus memiliki pengetahuan tentang daerah rawan bencana, pengelolaan data dan informasi, peringatan dini dan sistem evakuasi, serta kesehatan. Tidak hanya itu, mereka juga mengerti masalah logistik dan keamanan dalam kebencanaan.
Terdapat lima sub-sistem utama dalam sistem peringatan dini bencana yang harus dipahami tim siaga bencana, yaitu pengetahuan tentang risiko, diseminasi dan komunikasi, pemantauan dan penyampaian peringatan, kemampuan merespon, serta membangun komitmen dalam pengoperasian dan pemeliharaan. Tim siaga bencana harus melakukan semua tahapan dari lima sub-sistem utama tersebut.
Terkait pengetahuan tentang risiko tersebut, Hendro mengutarakan, tim siaga bencana perlu memiliki pengetahuan yang mencakup aspek fisik, kelembagaan, aspek sosiobudaya, ekonomi, dan lingkungan. Dengan begitu, tim ini dapat memberikan pemahaman dan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk melakukan respon yang tepat dala, menghindari dan melindungi diri sendiri dari bencana.
“Tim siaga bencana akan bertugas untuk melakukan seluruh kegiatan dalam kebencanaan antara lain, menentukan daerah risiko bencana, tempat evakuasi dan jalur evakuasi, dan melatih masyarakat. Tim ini juga bertanggung jawan mengatur desain, pemasangan, operasional, dan memelihara sistem peringatan dini di wilayahnya,” katanya.
Selanjutnya, dalam standardisasi yang telah diatur, tim siaga bencana akan melakukan pemasangan alat peringatan dini yang diprioritaskan pada daerah dengan sumber ancaman berisiko paling tinggi dan dampak korban jiwa paling besar. Alat peringatan dini akan disesuaikan dengan jenis ataupun tipe bencana yang mengancam suatu wilayah.
Pengamatan data dari alat peringatan dini harus dilakukan secara regular. Hasil pemantauan tersebut akan menjadi bahan dianalisis dari instansi yang berwenang sehingga dapat dilaporkan sebagai peringatan maupun evaluasi bagi masyarakat.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat BSN, Denny Wahyudhi menambahkan, SNI 8840-1:2019 bertujuan untuk memberikan kesamaan pengertian bagi otoritas lokal, tim siaga, dan masyarakat terkait sistem peringatan dini bencana. Standar ini juga menjadi panduan baku dalam menangkap peringatan dini bencana. Dengan begitu, semua pihak bisa bergerak bersama untuk mengantisipasi dampak bencana.
“Tak kalah pentingnya, otoritas lokal, tim siaga, dan masyarakat juga harus memahami dan melakukan mitigasi bencana, yang menurut SNI ini, dapat dilakukan dengan pendekatan struktural dan non-struktural,” ujarnya.
Pendekatan struktural yang dimaksud mencakup pembangunan konstruksi yang mencegah dan melindungi masyarakat serta infrastruktur dan sumber penghidupan dari bencana. Sementara, pendekatan nonstruktural dilakukan dengan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat melalui penerapan sistem peringatan dini. “SNI ini selanjutnya masih akan dirumuskan lagi standar yang lebih spesifik menurut jenis bencananya, yaitu tanah longsor, banjir, gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi,” kata Denny.