”Tamu” yang Rajin Menyapa Saat Musim Hujan
Lantaran sering terjadi saat musim hujan, banjir bagaikan tamu tak diundang bagi warga Kota Bekasi, Jawa Barat. Warga bahkan tidak menjadikan banjir sebagai masalah besar karena tuntutan akan kebutuhan rumah tinggal.
Banjir tak lagi dianggap sebagai persoalan bagi sebagian warga di Pondok Gede Permai, Kota Bekasi, dan warga Vila Nusa Indah, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Banjir seakan seperti ritual menyambut tamu tak diundang saat musim hujan. Tiga tahun tamu itu tidak datang, tetapi ia kembali ”menyapa” warga di hari pertama 2020.
Dion (52) sedang memberikan pakan kepada beberapa ekor ayam di beranda rumahnya, di Pondok Gede Permai, pada Selasa (14/1/2020) siang. Tumpukan lumpur yang mulai mengering tampak ditata rapi di sudut lain rumahnya yang berlantai dua.
”Begini sudah kondisi kami. Ini lumpur dari dalam rumah. Tunggu kering dulu baru cari cara untuk buang,” kata lelaki asal Tapanuli, Sumatera Utara, itu.
Dion adalah salah satu dari ribuan warga di Pondok Gede Permai yang rumahnya dilanda banjir pada hari pertama 2020. Ketinggian air saat itu mencapai lima meter atau naik hingga lantai dua rumah warga.
Sejak hujan mengguyur Bekasi pada 31 Desember 2019, dan terus berlanjut hingga pergantian tahun, ia memperkirakan banjir yang pernah hilang sejak 2016 kemungkinan akan kembali terjadi. Dia meminta anak-anaknya mengungsi. Mobil dan motor juga dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi.
Baca juga : Bertahun-tahun Dilanda Banjir, Warga Bekasi Minta Solusi Permanen
Dugaan itu benar, 1 Januari 2020 pukul 13.00, banjir luapan Sungai Cileungsi dan Cikeas melanda permukiman warga. Banjir itu merendam hingga lantai dua dan menyebabkan seluruh plafon rumahnya roboh.
Dion memilih tidak mengungsi, tetapi dia terjebak di lantai atas bersama istrinya hingga keesokan hari. Mereka membekali diri dengan makanan yang masih tersedia dan tidur dalam kondisi gelap.
Menghadapi banjir memang bukan lagi persoalan bagi mereka. Sejak tinggal di sana tahun 1991, rumah mereka rutin kebanjiran setiap kali musim hujan tiba. Namun, banjir yang merendam waktu itu paling tinggi satu atau dua meter.
”Dulu tiap kali banjir pasti mengungsi. Lama-lama capek juga memikul barang. Tahun 2010 ada rezeki, saya renovasi rumah ini jadi dua lantai. Ternyata tahun ini kena juga,” katanya.
Pekerja swasta itu sebenarnya sudah tak betah tinggal di sana. Di awal November 2019, dia pernah berniat menjual rumahnya dengan harga Rp 650 juta. Namun, pihak yang ingin membeli hanya mampu membayar Rp 450 juta.
Alasan rumah itu dijual lantaran dia ingin menghabiskan masa tuanya dengan hidup di kawasan yang bebas banjir. ”Sekarang saya menyesal karena harga rumah pasti jatuh lagi. Ini seperti kado pahit di tahun baru,” ujarnya.
Baca juga : Sampah Banjir Bekasi Tinggal 30 Persen
Tak jauh dari rumah Dion, warga lain, Irwan (32), sedang membersihkan dan memperbaiki mesin cucinya yang rusak terendam air dan lumpur. Sebagian barang elektroniknya, termasuk satu televisi, juga rusak. Padahal, barang-barang itu sudah disimpan di tempat yang dinilai aman di lantai dua.
Dua sepeda motornya juga rusak terendam air. Kedua sepeda motor itu masih dibiarkan berlumpur dan belum juga diperbaiki.
”Setiap kali habis banjir, kerjaan saya seperti ini, memperbaiki barang yang rusak. Motor belum saya ganggu karena saya masih memperbaiki mesin cuci dan televisi,” katanya.
Irwan mengakui, warga di kawasan itu sudah tiga tahun bebas dari banjir. Setelah tiga tahun, mereka lengah sehingga tidak sempat menyelamatkan barang-barang mereka ketika banjir menerjang.
Di tempat lain, di kawasan Perumahan Vila Nusa Indah, Kabupaten Bogor, situasi serupa dialami warga setempat. Genangan air dan lumpur masih ada di gang-gang perumahan warga. Sebagian perumahan warga juga masih kosong ditinggal pemiliknya.
Menurut Supriyadi (60), warga Vila Nusa Indah, ketinggian air di kawasan itu mencapai dua meter. Selepas banjir, upaya pembersihan belum begitu masif dilakukan Pemerintah Kabupaten Bogor.
”Kami harap pemerintah bisa lebih cepat membersihkan jalan-jalan ke perumahan. Ini rumah warga masih kosong karena mau masuk saja susah,” kata lelaki yang tinggal di sana sejak 1987 itu.
Baca juga : Sampah dan Lumpur Jadi Persoalan Baru di Bekasi Setelah Banjir
Digugat balik
Meski kerap kebanjiran, warga di Pondok Gede Permai punya pengalaman memilukan. Tahun 1994 mereka mengajukan gugatan ke pengadilan lantaran merasa tertipu oleh pihak penyedia rumah di lokasi itu yang menjanjikan bahwa kawasan yang mereka tinggali bebas banjir. Alih-alih mendapat solusi, mereka malah digugat balik dengan besaran ganti rugi yang harus dibayar warga Rp 37,5 miliar.
Berdasarkan catatan Kompas (18/5/1994), ada 134 penghuni perumahan Pondok Gede Permai yang saat itu menggugat Bank Tabungan Negara (BTN), Perum Otorita Jatiluhur, Pemda Bekasi, dan dua pengembang.
Gugatan itu diajukan karena rumah yang mereka huni ternyata selama tiga tahun terakhir selalu banjir. Padahal, alasan mereka membeli rumah di sana salah satunya karena terpikat promosi bahwa daerah itu bebas banjir. Penghuni perumahan itu mengajukan tuntutan kerugian Rp 16,7 miliar.
Gugatan itu ditolak tergugat, yakni BTN dan empat tergugat. Mereka pada pokoknya tak bisa menerima gugatan tersebut, bahkan ganti mengajukan gugatan balik (rekonpensi) dengan besaran tuntutan seluruhnya Rp 37,5 miliar kepada warga.
Saat persidangan digelar di Pengadilan Negeri Bekasi, kuasa hukum BTN, Subandi dan Sutarno, mengatakan musibah banjir yang dialami penghuni Perumahan Pondok Gede Permai selama tiga tahun terakhir bukan tanggung jawab BTN.
Sementara itu, PT Upaya Bumi Makmur dan PT Kentanix Supra International melalui kuasa hukumnya, Januar Tjahjadi, mengatakan, banjir yang melanda perumahan itu merupakan musibah yang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban kepada siapa pun. Sebab, pengembang sebagai penjual perumahan sudah memenuhi kewajibannya berupa rumah dan tanah.
Baca juga : Waspadai Bencana, Warga Menyetok Makanan dan Beli Peralatan Darurat
Setelah rumah dan tanah itu dimiliki warga, baik yang dibayar secara tunai maupun kredit, segala risikonya ditanggung penghuni perumahan. Adapun pembangunan perumahan di lokasi tersebut sudah dilaksanakan sesuai dengan perizinan dan ketentuan yang ditetapkan pemerintah.
Empat rekomendasi
Menurut Ketua Komunitas Peduli Sungai Cileungsi-Cikeas (KP2C) Puarman, banjir yang merendam perumahan warga di Pondok Gede Permai dan Vila Nusa Indah pada 1 Januari 2020 merupakan yang tertinggi sejak 30 tahun terakhir. Banjir itu merupakan banjir kiriman dari Sungai Cikeas dan Sungai Cileungsi.
Dari data KP2C, saat hujan deras mengguyur Jabodetabek, alat ukur tinggi muka air di hulu Cileungsi berada pada titik 560 sentimeter. Penyumbang banjir terbesar berasal dari Sungai Cileungsi, yang area tangkapan airnya mencapai 26.000 hektar.
Adapun area tangkapan air dari Sungai Cikeas hanya 11.000 hektar. ”Saat air kiriman tiba, Kali Bekasi juga dalam kondisi penuh,” ujar Puarman.
Ia menambahkan, untuk mengatasi masalah banjir berulang itu, ada empat rekomendasi yang bisa dilakukan pemerintah. Rekomendasi tersebut adalah normalisasi Sungai Cileungsi, pembangunan tanggul permanen, pembangunan pintu pengendali air, dan pembangunan waduk di hulu Sungai Cileungsi.
Baca juga : Petugas Bersiaga di Pintu Air Manggarai
”Hari ini KP2C sudah menyampaikan empat rekomendasi itu kepada Presiden melalui Staf Khusus Presiden dan Juru Bicara Presiden saat mereka berkunjung ke Vila Nusa Indah tadi,” ujarnya.
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, di tempat terpisah, mengatakan, dirinya sudah mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo untuk membangun polder atau tempat penampungan air di sekitar titik nol Kali Bekasi atau tempat bertemunya dua aliran sungai, yaitu Cileungsi dan Cikeas.
Untuk pembangunan polder air itu, warga yang bermukim di tepi Kali Bekasi, tepatnya di Perumahan Pondok Gede Permai, diusulkan untuk direlokasi. ”Kalau tidak direlokasi, alternatif kedua, di bibir sungai, minimal 20 meter dijadikan area tangkapan air. Jadi tidak semua warga direlokasi,” ujarnya.