Sebanyak 12.901 jiwa atau 4.521 keluarga terdampak banjir yang kembali merendam Kota Samarinda. Hingga Rabu, (15/1/2020) ketinggian air di delapan kelurahan yang berada di empat kecamatan mencapai satu meter.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS – Sebanyak 12.901 jiwa dari 4.521 keluarga di empat kecamatan di Kota Samarinda kebanjiran. Hingga Rabu, (15/1) ketinggian air di delapan kelurahan yang berada di empat kecamatan terdampak mencapai satu meter. Tata kawasan yang buruk membuat Samarinda kembali tergenang.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Samarinda Hendra AH mengatakan kecamatan yang terendam banjir adalah Kecamatan Samarinda Utara, Kecamatan Sungai Pinang, Kecamatan Sambutan, dan Kecamatan Palaran. Tak hanya pemukiman penduduk yang terendam banjir, sedikitnya 20 jalan protokol terendam dengan ketinggian air mencapai 20 sentimeter sampai 100 sentimeter. Situasi ini menyebabkan mobilitas warga terganggu.
“Warga ada yang mengungsi ke tempat ibadah dan rumah kerabat terdekat. Satu posko sudah kami dirikan di Perumahan Bengkuring, Kelurahan Sempaja Timur, karena di sana paling parah,” kata Hendra saat dihubungi.
Pihaknya akan berkoordinasi dengan Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang untuk menentukan status bencana banjir ini. Sebab, wilayah terdampak semakin meluas, yang semula hanya merendam tiga kecamatan, kini merendam empat kecamatan. Posko BPBD juga akan dibangun di beberapa lokasi yang terdampak parah, seperti di Perumahan Griya Mukti di Kelurahan Sempaja Selatan.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika memperkirakan hujan dengan intensitas ringan hingga lebat di Kalimantan Timur masih akan terus terjadi hingga Maret 2020 dengan curah hujan antara 201-300 milimeter.
Meningkat
Jumlah korban dan wilayah terdampak banjir di Samarinda terus menunjukkan peningkatan setiap dekade. Catatan Kompas, pada tahun 1970 Samarinda sudah mengalami bencana banjir dan itu bukan yang pertama.
Hujan dengan intensitas ringan hingga lebat di Kalimantan Timur masih akan terus terjadi hingga Maret 2020 dengan curah hujan antara 201-300 milimeter.
Pada April 1970, air setinggi 0,5 meter merendam jalan penghubung Samarinda Seberang-Tenggarong selama satu minggu sehingga jalan tak bisa dilalui kendaraan bermotor (Kompas, 14/4/1970). Saat itu, banjir disinyalir akibat hujan lebat di bagian hulu Sungai Mahakam, sehingga daerah di hilir, seperti Samarinda dan Kutai Kartanegara, terkena imbasnya.
Pada 1994, Samarinda diterjang banjir akibat Waduk Benanga meluap. Banjir merendam 600 rumah yang dihuni 3.500 jiwa (Kompas, 22/3/1994).
Banjir besar juga pernah menewaskan 3 jiwa pada Agustus 1998. Sedikitnya 10.000 rumah yang dihuni 42.000 keluarga terendam lebih dari seminggu. Itu membuat 21.000 siswa diliburkan karena tak ada tempat untuk belajar yang laik di sekolah.
Sepuluh tahun kemudian, banjir besar terjadi di Samarinda pada 2008. Banjir menggenangi sedikitnya 7.100 rumah (Kompas, 30/12/2008). Setelah itu, ketika terjadi hujan lebih dari satu jam, mudah ditemui genangan air setinggi 30 sentimeter di jalan-jalan protokol atau pemukiman warga.
Jumlah korban dan wilayah terdampak terus bertambah dalam siklus 10 tahun. Pada Juni 2019, banjir kembali terjadi. Warga disibukkan dengan mengemas barang-barang dan mengungsi karena air masuk ke rumah warga hingga 1,5 meter. Kesibukan itu terjadi pascaperayaan Idul Fitri 2019.
Banjir yang merendam Samarinda hingga dua minggu itu membuat aliran listrik padam dan air bersih sulit didapat. Sebanyak 56.123 jiwa atau 17.485 keluarga di tiga kecamatan terdampak, jumlah tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Untuk mengatasi banjir, pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menganggarkan Rp 25,7 miliar untuk membangun embung serbaguna, normalisasi Sungai Karang Mumus, dan peningkatan fungsi Bendungan Benanga. Belum sepenuhnya dana itu digunakan, banjir kembali menerjang Samarinda pada Januari 2020 ini.
Terjadi penyempitan sungai karena terdapat pemukiman liar di sempadan sungai. (Syaharie Jaang)
Syaharie Jaang kepada wartawan mengatakan, pihaknya menunggu kondisi air sungai turun untuk melanjutkan program penurapan di sekitar Sungai Karang Mumus yang membelah Samarinda. Adapun di Pasar Segiri, terjadi penyempitan sungai karena terdapat pemukiman liar di sempadan sungai.
“Kita berupaya mengurangi dan mengendalikan (banjir). Uangnya sudah ada untuk penurapan Sungai Karang Mumus. Masalahnya di Pasar Segiri, pemerintah kota tidak boleh membayar (ganti rugi pemukiman). Ini nanti akan kami koordinasikan lagi,” kata Jaang.
Tangkapan air
Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Bernaulus Saragih menilai, banjir di Samarinda yang sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu itu perlu disikapi dengan melihat ketersediaan daerah tangkapan air. Menurutnya, alih fungsi lahan di daerah hulu Sungai Karang Mumus yang membelah Samarinda turut melanggengkan banjir di Samarinda.
“Itu baru satu faktor. Perlu dilihat juga sistem drainase di kota dan penyediaan kawasan hijau di sekitar sungai,” kata Bernaulus. Saat ini, pemukiman penduduk baik semi permanen maupun permanen berhimpitan di tepi Sungai Karang Mumus. Ketika hujan turun, pemukiman di sana otomatis terendam karena berada di daerah aliran sungai.
Di dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) Samarinda 2014-2034, pengendalian banjir dilakukan dengan pembangunan kolam retensi dan kolam detensi di Samarinda Utara, Samarinda Ulu, dan Sungai Pinang. Namun, hal itu tak mudah dilakukan karena banyak lahan sudah beralih fungsi.
Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan III yang menangani pembangunan kolam retensi mendapati pemukiman penduduk, tambang batubara, dan perkebunan sawit di lokasi yang akan dibangun kolam retensi. “Tahun 2019 BWS Kalimantan III hanya bisa mulai pembangunan embung serbaguna di Sempaja seluas 0,7 hektar dengan nilai kontrak Rp 7,8 miliar. Lokasi lain sudah banyak yang beralih fungsi,” kata Kepala BWS Kalimantan III Anang Muchlis.
Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Kalimantan Timur Mislan mengatakan, perubahan tutupan lahan di sekitar Sungai Karang Mumus turut memperparah banjir, sebab rumah tapak banyak dibangun di DAS. Berdasarkan Peta DAS Karang Mumus tahun 1941 yang diterbitkan Samarinda Netherlands Borneo Map, 80 persen kondisi DAS Karang Mumus pada mulanya adalah dataran rendah dan daerah rawa.
“Sekarang daerah itu, sekitar 298 hektar, berubah jadi pemukiman, lahan terbuka, dan belukar. Secara alami, ketika hujan pasti air meluap ke sana. Untuk itu penataan pemukiman di DAS diperlukan,” kata Mislan.