Di masa mudanya, sejumlah pesepakbola seperti Hakan Sukur dan Paul Gascoigne sangat populer dan kebanjiran uang. Puluhan tahun berlalu, jalan kehidupan berubah, ada yang menjadi sopir taksi, bahkan divonis bangkrut.
Oleh
YUlvianus Harjono
·5 menit baca
Teriakan “Hakan, Hakan!” bergema di sejumlah stadion di Jepang dan Korea Selatan pada Piala Dunia 2002. Di bawah kepemimpinannya sebagai kapten tim saat itu, Turki menggapai hal yang nyaris mustahil saat itu. Mereka menjelma "tim kuda hitam" yang menakutkan dan finis ketiga, melewati capaian para raksasa seperti Argentina, Spanyol, Italia, dan Inggris.
Finis ketiga, setelah dikalahkan Brasil di semifinal, tercatat sebagai pencapaian tertinggi Turki dalam sejarah Piala Dunia. Sayangnya, itu sekaligus menjadi penampilan terakhir tim berjuluk “Ay-Yildizlilar” alias Bulan Sabit-Bintang itu di ajang sepak bola terpoopuler sejagat tersebut. Sejak itu, Turki tidak pernah lagi mampu menembus Piala Dunia, termasuk edisi terakhir, Rusia 2018.
Lama tidak terdengar, Sukur kembali mengguncangkan dunia, awal pekan ini. Sejumlah media ternama dunia, termasuk BBC dan The Times, menyampaikan kabar mengejutkan. Sukur, pencetak gol tersubur dalam sejarah tim nasional Turki dengan torehan 51 gol, dikabarkan jatuh miskin. Ia kini harus menghidupi dirinya dengan berjualan buku dan menjadi sopir taksi daring.
“Saya pindah ke Amerika Serikat. Awalnya, saya menjalankan bisnis kafe di California. Namun, orang-orang aneh terus berdatangan ke bar saya. Sekarang, saya pun menjadi supir Uber dan berjualan buku,” ujar Sukur, yang kini berusia 48 tahun, seperti dikutip koran Jerman, Welt am Sontaag.
Pada masa jayanya, ia dijuluki “Kral” alias “Raja” oleh warga Turki. Mantan striker Blackburn Rovers dan Inter Milan itu, bahkan memiliki pendapatan hingga Rp 40 miliar per tahunnya. Ia pun bisa membeli berbagai hal yang diinginkannya, termasuk rumah dan mobil mewah di Turki. Namun, kemewahan itu kini musnah menyusul perseteruannya dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Semua asetnya kini disita Pemerintah Turki. Padahal, ia tidak melakukan korupsi. “Saya tidak punya apa-apa lagi saat ini. Erdogan mengambil segalanya, bahkan hak kebebasan, hak berpendapat, dan bekerja. Padahal, saya tidak pernah melakukan hal ilegal. Saya bukan pengkhianat, apalagi teroris,” tutur Sukur kemudian.
Nasib buruk yang dialaminya itu tidak terlepas dari “perjudiannya” terjun ke politik pada 2011 lalu, yaitu tiga tahun seusai pensiun. Dia bergabung dengan partai Erdogan, Justice and Development Party (AKP), dan terpilih sebagai anggota DPR setempat. Namun, ia mundur dua tahun kemudian karena kerap berseberangan pemikiran dengan partai pendukung Pemerintah Turki itu.
Pencetak gol tersubur asal Turki di Liga Champions itu, vokal menentang kebijakan Erdogan menutup sekolah-sekolah yang dikelola kelompok pergerakan Islam, Gulen. Oleh Pemerintah Turki, kelompok ini lantas dicap sebagai teroris Fetullah atau FETO. Sukur diasosiasikan dengan pergerakan itu. “Buronan anggota FETO (Hakan Sukur) kini tinggal di Amerika Serikat,” tulis Anadolu Agency, Kantor Berita milik Pemerintah Turki.
Sukur merupakan hanya salah satu dari sekian banyak mantan pesepak bola yang jatuh miskin seusai gantung sepatu. Menurut laporan majalah Four Four Two, 40 persen dari pesepak bola di dunia mengalami masalah finansial setelah pensiun. Tidak kalah menyedihkannya, sebagian dari mereka telah divonis bangkrut oleh pengadilan.
Tidak tanggung-tanggung, kebangkrutan itu dialami sejumlah mantan pesohor sepak bola dunia seperti John Arne Riise, mantan pemain Liverpool; David James, mantan kiper timnas Inggris, dan legenda Newcastle United Paul Gascoigne. Kebangkrutan Gascoigne, misalnya, tidak terlepas dari gaya hidup hedonisnya. Salah satu gelandang terbaik sepanjang masa timnas Inggris itu kerap berhura-hura dan kecanduan narkoba. Ia pun berkali-kali keluar masuk penjara, termasuk kasus pelecehan seksual, dua tahun lalu.
Mantan pemain Persib
Masalah keuangan juga dialami Carlton Cole, mantan striker Chelsea dan West Ham United. Ia divonis bangkrut oleh Pengadilan Tinggi Inggris, tidak lama setelah berkarier di Liga Indonesia bersama klub Persib Bandung, 2017 silam. Dikutip Talksport, Cole mengaku menyesal tidak mampu mengelola penghasilannya dengan baik di masa mudanya dulu.
Saya berharap, pengalaman saya dapat membantu para pemain muda untuk bertanggung jawab akan masa depannya
Ia pun kini tidak lagi memiliki rumah pribadi karena disita pengadilan untuk melunasi hutang-hutangnya. Padahal, ia sempat menjadi pemain muda terkaya di Inggris saat dikontrak Chelsea pada 2001. Saat itu, ia dengan mudahnya menghasilkan uang 30.000 poundsterling atau setara Rp 550 juta hanya dalam sepekan bekerja sebagai pesepakbola.
Untuk menebus kesalahannya, ia kini bekerja sebagai pendamping atau penyuluh anak-anak muda, khususnya pesepakbola belia, di Inggris. Ia tidak ingin ada lagi pesepakbola yang jatuh miskin sepertinya semata karena tidak mampu mengelola uang di masa produktif. “Saya berharap, pengalaman saya dapat membantu para pemain muda untuk bertanggung jawab akan masa depannya. Saya sempat tidak menyadarinya sebelum akhirnya benar-benar terlambat,” ujar Cole.
Hidup boros, misalnya dengan membeli mobil mewah saat masih berjaya, hanya akan menjeremuskan kita
Giovane Elber (47)—mantan striker Bayern Muenchen—mengungkapkan, manajemen keuangan dan investasi merupakan hal penting bagi pesepak bola dewasa ini. Tanpa pengetahuan itu, kekayaan bernilai miliaran rupiah bisa musnah dalam sekejap ketika kemampuan dan stamina pesepak-bola berkurang drastis seiring usia.
Ketika masih produktif dan tenar, Elber menyisihkan sebagian gajinya untuk berinvestasi di bisnis peternakan. Ia membeli ribuan sapi dan pekarangan tanah di negara kelahirannya, Brasil. Total ternaknya kini telah mencapai setidaknya 4.000 ekor. Menurutnya, faktor pendidikan dan keluarga sangatlah penting bagi pesepak bola dalam mengatur keuangannya.
“Saya kenal beberapa kolega yang bangkrut setelah tidak lagi bermain (sepak bola). Tanpa dukungan besar keluarga, maka karier habis, begitu pula harta yang kita punya. Hidup boros, misalnya dengan membeli mobil mewah saat masih berjaya, hanya akan menjeremuskan kita,” ujar Elber, yang kini mengasuh banyak anak terlantar di Brasil, dalam wawancara dengan Kompas, beberapa waktu lalu.
Menjadi pesepak-bola, yang kariernya singkat bak lesatan meteor di angkasa, memang tidaklah seindah dibayangkan. Tantangannya sangatlah besar, terutama jika mereka gagal berkompromi dengan gaya hidup dan manajemen keuangan, di masa purnakarya