Penipuan Berkedok Kerajaan Baru
Klaim sepihak tentang keberadaan Keraton Agung Sejagat yang menarik perhatian publik ternyata hanyalah kedok untuk menipu warga yang mau menjadi pengikut dan dijanjikan gaji.
PURWOREJO, KOMPAS - Polisi memastikan aktivitas Keraton Agung Sejagat atau KAS di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, sebagai modus penipuan. Pimpinan KAS meminta dana hingga puluhan jutaan rupiah kepada setiap pengikutnya dengan iming-iming jabatan dan imbalan harta melimpah. Modus sama pernah dilakukan di Yogyakarta.
Polda Jateng menetapkan Toto Santoso (42) dan Fanni Aminadia (41) sebagai tersangka dugaan penipuan berkedok KAS di Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Purworejo, yang belakangan menghebohkan publik.
Kepala Polda Jateng Inspektur Jenderal Rycko Amelza Dahniel, di Kota Semarang, Rabu (15/1/2020), menjelaskan, Toto mengaku menerima wangsit dari leluhur untuk melanjutkan Kerajaan Mataram serta berusaha membuat masyarakat percaya. Toto dan Fanni lalu melengkapi diri dengan properti seperti seragam pakaian dan sejumlah kartu identitas demi meyakinkan masyarakat.
”Pengikut diwajibkan membayar iuran Rp 3 juta hingga Rp 30 juta dan dijanjikan terbebas dan malapetaka. Sebaliknya, jika tak mengakui, mendapat bencana,” kata Rycko. Kepala Bidang Humas Polda Jateng Komisaris Besar Iskandar Fitriana Sutisna menambahkan, KAS memiliki struktur yang dijabat sejenis menteri, gubernur, dan lurah. Jabatan-jabatan itu ditawarkan kepada para pengikut KAS dengan imbalan uang.
Lewat pengungkapan itu, polisi berharap publik menjadi jelas bahwa hal ini bukan sebuah fenomena budaya, melainkan kriminal murni. Dengan modus penyebaran berita bohong yang dapat membuat keonaran di masyarakat atau tindak pidana penipuan, para tersangka dijerat Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Pasal 378 KUHP. Ancaman hukumannya maksimal 10 tahun dan atau 4 tahun penjara.
Tergiur gaji
Eko Pratolo (58), anggota KAS yang juga perangkat Desa Pogung Jurutengah, mengaku, awalnya mengikuti kelompok bernama Purworejo Development Committee (Purworejo Dec), bentukan salah satu tokoh desa berinisial Ch pada 2017. Mereka terpikat janji, setiap orang yang membayar uang keanggotaan Rp 10.000-Rp 15.000, bisa mendapatkan pengembalian dana berlipat dalam bentuk mata uang asing.
Belum menerima pengembalian dana, Eko bertutur Purworejo Dec berubah menjadi Sunda Empire lalu World Empire. Tahun 2018, oleh pengurus Purworejo Dec, Eko diajak dalam kegiatan deklarasi kelompok lintas agama dan budaya di Candi Borobudur, Magelang.
Oleh karena menilai dasar aktivitas organisasi berlandaskan sejarah dan budaya, Eko menganggap KAS kegiatan yang positif. Semangatnya bertambah ketika sejumlah pengurus, termasuk Ch dan Toto Santoso, menjanjikan setiap anggota akan mendapat gaji dalam jumlah besar. ”Gaji dijanjikan akan dibayarkan setiap sidang kerajaan,” ucapnya
Untuk menjalankan kegiatan dan memenuhi kebutuhan KAS, setiap anggota diminta menyumbang sejumlah dana yang disebut sebagai dana sukarela. Eko mengaku sudah menyerahkan sejumlah uang meski enggan menyebut nominalnya. Khusus untuk seragam, Eko mengatakan, setiap anggota diminta membeli pakaian yang telah dipesan dari seorang penjahit di Yogyakarta.
Harganya bervariasi, tergantung pangkat dan jabatan. Eko yang diberi pangkat bintang tiga dibebani biaya seragam Rp 2,3 juta. Eko mulai ragu karena jadwal sidang tak menentu hingga baru terlaksana Minggu (12/1). Selain itu, gaji yang dijanjikan juga tak diterima. Setelah kasus ini diungkap polisi, ia pun yakin KAS adalah kedok penipuan.
Warga yang bergabung itu sangat tertutup kalau kami tanyai soal ini.
Modus yang sama juga dilakukan Toto di sekitar rumah kontrakannya di Desa Sidoluhur, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut Kepala Seksi Pemerintahan Desa Sidoluhur Adi Arya Pradana, pada 2018, Toto masuk desa itu dan ingin mendirikan koperasi di bidang pertanian. Namun, pemerintah desa menolak karena tidak ada surat legalitas.
Sekitar Maret 2019, Toto berusaha masuk kembali ke desa itu dengan kedok organisasi masyarakat. Lagi-lagi mereka ditolak karena hal sama. ”Lalu mereka beralih membuka angkringan. Kami sudah mencoba memanggil karena ada warga yang menolak,” kata Adi.
Pada Oktober lalu, ada laporan masyarakat bahwa berlangsung semacam upacara di angkringan tersebut. Pesertanya mengenakan pakaian adat Jawa. Ada sejumlah orang menggunakan kamera profesional lengkap dengan penerangannya. ”Alasannya untuk shooting film kolosal Jawa. Katanya, itu untuk konten Youtube-nya Bu Fanni,” kata Adi.
Ia menambahkan, sekitar 10 warganya diajak bergabung dan dimintai uang pendaftaran mulai dari Rp 2,5 juta hingga Rp 5 juta. Mereka juga dijanjikan jabatan dengan penghasilan satu bulan hingga Rp 30 juta. ”Tapi, warga yang bergabung itu sangat tertutup kalau kami tanyai soal ini,” kata Adi.
Tanpa legitimasi
Pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Bayu Dardias, menilai, kemunculan KAS di Purworejo tidak memiliki legitimasi sejarah. Klaim ihwal kerajaan dinilai hanya didasari keinginan beroleh keuntungan pribadi.
Bayu yang menyelesaikan disertasinya tentang raja-raja Nusantara di Australian National University, Canberra, memaparkan, fenomena klaim kerajaan baru juga menunjukkan sebagian masyarakat mudah terpukau hal-hal yang berkait kejayaan kerajaan masa lalu. ”Kemunculan kerajaan di Purworejo itu hanya untuk keuntungan pribadi,” katanya.
Klaim kerajaan baru atau kebangkitan kerajaan lama yang sudah hilang pada masa lalu bukan hanya terjadi di Purworejo. Saat melakukan penelitian tentang raja-raja Nusantara, Bayu bertemu sejumlah orang yang mengklaim sebagai raja tanpa dasar memadai. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, klaim sebagai raja itu didasari tiga motif. Motif pertama adalah politik. Dalam motif ini, seseorang mengklaim sebagai raja dengan harapan bisa mempermudah dirinya mendapatkan jabatan politik.
Motif kedua adalah motif budaya, yakni untuk memperkuat budaya daerah tertentu. Dalam konteks ini, klaim kerajaan baru atau kebangkitan kerajaan lama biasanya mendapat dukungan dari pemerintah daerah. Sementara motif ketiga adalah untuk memperoleh keuntungan pribadi, seperti di Purworejo. Bayu menyebut, di beberapa wilayah, upaya mendapat keuntungan pribadi itu dilakukan dengan menjual gelar kebangsawanan pada pihak-pihak yang sebenarnya tak memiliki darah ningrat.
Kemunculan kerajaan di Purworejo itu hanya untuk keuntungan pribadi.
Secara terpisah, Ketua Umum Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN) Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat, di Cirebon, mengatakan, mencuatnya kasus KAS menunjukkan minimnya pemahaman masyarakat terkait keraton. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengumumkan keraton yang resmi dan diatur dalam payung hukum.”Sejak Indonesia merdeka, ada sekitar 200 keraton, kesultanan dan puri yang turut membantu persiapan kemerdekaan,” ujar Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon tersebut.
Menurut dia, KAS tidak termasuk dalam 200 keraton tersebut. KAS juga tidak terdaftar dalam FSKN. Untuk mencegah kejadian berulang, Sultan Arief mendesak Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengumumkan keraton yang resmi saat ini. Selain itu, diperlukan payung hukum perlindungan keraton sekaligus membina keraton.
Keraton saat ini, katanya, masih memiliki permasalahan seperti sengketa tanah hingga bangunan yang rata dengan tanah. ”Lama-kelamaan keraton punah. Ini sangat disayangkan lalau keraton punah karena ini benteng terakhir pelestarian budaya,” katanya. (EGI/DIT/HRS/NCA/DRA/IKI)