Buruh Kritik Substansi RUU yang Dinilai Tidak Berpihak pada Kesejahteraan
Sejumlah kelompok buruh menilai substansi Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja tidak berpihak pada kesejahteraan.
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok buruh terus menyerukan agar dilibatkan dalam perumusan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Ketiadaan dialog dikhawatirkan menimbulkan konflik baru di ranah hubungan industrial ketika undang-undang ditetapkan.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (16/1/2020), menyatakan, ada lima alasan yang mendorong KSBSI melakukan demonstrasi, termasuk yang digelar di Istana Negara, Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Pertama, serikat buruh tidak dilibatkan dalam pembahasan draf RUU Cipta Lapangan Kerja. Kedua, ada kekhawatiran timbul bentuk hubungan kerja baru di luar perjanjian kerja waktu tetap (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tetap (PKWTT).
Ketiga, ada penolakan terhadap usulan sistem upah per jam dan menggantikan upah minimum yang dinilai jadi jaring pengaman. Keempat, ada usulan agar RUU Cipta Lapangan Kerja mempertimbangkan seluruh program jaminan sosial. Kelima, RUU Cipta Lapangan Kerja mengakomodasi kerja dan upah layak bagi pekerja.
Menurut Elly, ada dua isu yang sekarang jadi fokus KSBSI, yakni pelibatan unsur tripartit dalam penyederhanaan substansi undang-undang yang akan dimasukkan dalam RUU Cipta Lapangan Kerja. Poin ini menjadi krusial jika pemerintah tetap bersikeras agar RUU Cipta Lapangan Kerja terus dibahas.
Isu kedua, dorongan agar pemerintah mengeluarkan kluster ketenagakerjaan dari RUU Cipta Lapangan Kerja. Alasannya, 10 dari 11 kluster substansi yang dibahas semuanya berkaitan dengan perizinan dan investasi yang jadi perhatian pengusaha. Sementara kluster ke-11, yakni ketenagakerjaan, mempersoalkan perlindungan tenaga kerja.
”Keinginan kami adalah omnisbus law khusus ketenagakerjaan dibahas secara tripartit,” uarnya saat ditanya apakah KSBSI ingin kluster ketenagakerjaan jadi aturan sendiri.
Mirah Sumirah, aktivis Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, berpendapat, keberadaan hukum omnibus RUU Cipta Lapangan Kerja mengandung substansi yang mereduksi kesejahteraan buruh Indonesia. Oleh karena itu, pihaknya menolak. Ada enam poin krusial yang dianggap bertentangan dengan perlindungan pekerja, antara lain, penghilangan upah minimum, pesangon, dan fleksibilitas pasar kerja.
Terkait upah minimum, muncul keinginan pemerintah menerapkan sistem upah per jam. Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, upahnya otomatis di bawah upah minimum. Hal ini tentu mengkhawatirkan.
”Upah minimum adalah upah minimum yang berlaku bagi semua warga negara yang bekerja sebagai jaring pengaman. Tidak ada dua istilah upah minimum bulanan dan upah minimum per jam,” ujarnya.
Mengenai pesangon, lanjut Mirah, pemerintah sempat mewacanakan mengganti istilah pesangon dengan tunjangan pemutusan hubungan kerja yang besarnya mencapai enam bulan upah. Hal ini dinilai bertentangan dengan kesejahteraan pekerja.
Padahal, UU Nomor 13 Tahun 2003 sudah mengatur pemberian pesangon bagi buruh korban pemutusan hubungan kerja. Besarnya pesangon maksimal 9 bulan upah dan bisa dikalikan 2 untuk jenis pemutusan hubungan kerja tertentu sehingga bisa mendapatkan 18 bulan upah. Selain itu, korban juga mendapatkan penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah dan penggantian hak minimal 15 persen dari total pesangon dan/atau penghargaan masa kerja.
Terkait fleksibilitas pasar kerja, istilah itu dianggap bermakna tidak adanya kepastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap. Dengan kata lain, ada kemungkinan alih daya dibebaskan di semua lini produksi.
”Jika di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 alih daya hanya dibatasi pada lima jenis pekerjaan, tampaknya ke depan semua jenis pekerjaan bisa dialihdayakan. Jika ini terjadi, masa depan buruh tidak jelas. Hubungan kerja yang fleksibel berarti mereka semakin rentan mengalami pemutusan hubungan kerja, tidak ada lagi upah minimum, dan pesangon,” ujarnya.
Libatkan seluruh pihak
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, secara terpisah berpendapat, pembahasan rancangan undang-undang idealnya melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Hal ini semestinya dilakukan ketika pembahasan hukum omnibus RUU Cipta Lapangan Kerja.
”Tujuan omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja sebagai salah satu aspek pendorong iklim investasi dan daya saing seharusnya mengakomodasi aspirasi seluruh pemangku kepentingan. Pembahasan substansi harus transparan sehingga tidak menimbulkan kesalahan yang berakhir konflik,” ujar Ahmad.
Lebih jauh, ketenagakerjaan hanyalah salah satu aspek dalam iklim investasi yang sehat. Oleh karena itu, pemerintah semestinya mengkaji secara komprehensif aspek-aspek lain yang juga berpengaruh terhadap penciptaan iklim investasi. Misalnya, faktor izin pembukaan lahan, kondisi logistik, dan insentif fiskal.
Baca juga: RUU Cipta Lapangan Kerja Masih Dibahas Internal Pemerintah
Dalam rapat terbatas kabinet mengeni perkembangan penyusunan hukum omnibus RUU Cipta Lapangan Kerja dan Perpajakan, di Kantor Presiden, Rabu (15/1/2020), Presiden Joko Widodo meminta agar naskah RUU selesai dalam pekan ini. Dia berharap bisa diproses untuk dibahas bersama DPR dalam kurun waktu 100 hari.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia M Faisal berpendapat, menciptakan hubungan industrial yang sehat bukan hal mudah. Pemerintah memiliki peran besar dan tidak sekadar lobi.
”Dialog hubungan industrial membutuhkan proses. Jangan melupakan proses. Ketika merumuskan dan membahas omnibus law ketenagakerjaan semestinya tidak mengabaikan proses dialog,” ujarnya.
Menurut Faisal, ketiadaan dialog memperbesar ketidakpercayaan kelompok pekerja/buruh terhadap pelaku industri sehingga menghasilkan konflik.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah, yang ditemui seusai menghadiri sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2019, Selasa (14/1/2020), di Jakarta, mengatakan, pihaknya telah menggelar audiensi yang mengundang presidium serikat pekerja/serikat buruh yang terdiri atas perwakilan beberapa konfederasi.
Dalam pertemuan, Kementerian Ketenagakerjaan menyampaikan bahwa pemerintah ingin kepentingan buruh dan pengusaha berjalan seimbang dalam perumusan RUU Cipta Lapangan Kerja. ”Proses audiensi dengan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh akan terus berlangsung,” ujarnya.
Salah satu substansi kluster ketenagakerjaan di RUU Cipta Lapangan Kerja adalah pengaturan hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau kontrak. Ida memastikan pengaturan substansi ini akan tetap memperhatikan hak-hak pekerja, antara lain, upah, jaminan sosial, dan pengakhiran atau putusnya hubungan kerja. Setelah kontrak usai, pekerja/buruh dipastikan tetap mendapat kompensasi.
Contoh substansi lain adalah upah minimum. Besaran nilai upah di atas upah minimum dilakukan sesuai kesepakatan pekerja dan pengusaha. Ida mengatakan, upah minimum akan tetap ada sebagai jaring pengaman dan tidak dapat ditangguhkan.
Dia mengakui, dalam RUU Cipta Lapangan kerja juga dicantumkan substansi fleksibilitas jam kerja untuk jenis pekerjaan tertentu. Artinya, pengusaha dan pekerja/buruh diberikan keleluasaan dalam menyepakati waktu kerja di bawah 8 jam per hari atau 40 jam per minggu.
Baca juga: Presiden: Jangan Ada Pasal Titipan di RUU Cipta Lapangan Kerja