Enam Daerah Tak Mampu Penuhi Kebutuhan Pengawas Pemilu
Keenam pemerintah daerah beralasan, anggaran daerah tak cukup untuk memenuhi kebutuhan Bawaslu. Jika tak dipenuhi, kerja Bawaslu mengawasi pilkada dikhawatirkan tak akan optimal. Kemendagri sudah menawarkan solusi.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Klaim Kementerian Dalam Negeri bahwa semua pemerintah daerah telah menyiapkan anggaran untuk penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah 2020 terbantahkan. Badan Pengawas Pemilu menyebutkan, ada enam pemerintah daerah yang mengajukan pengurangan anggaran ketika nominal anggaran sebenarnya sudah disepakati.
Keenam pemerintah daerah (pemda) itu adalah Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir dan Ogan Komering Ulu Timur di Sumatera Selatan serta Pemerintah Kabupaten Kotabaru di Kalimantan Selatan. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Mukomuko dan Rejang Lebong di Bengkulu serta Pemerintah Kabupaten Purworejo di Jawa Tengah.
”Enam daerah itu mengajukan pengurangan karena keterbatasan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah),” kata Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan seusai bertemu Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, di Jakarta, Jumat (17/1/2020).
Padahal, sebelumnya, nominal anggaran yang dibutuhkan Bawaslu di keenam daerah itu sudah disepakati oleh pemda masing-masing. Nominal anggaran itu pun sudah dituangkan di naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) yang ditandatangani pemda dan Bawaslu.
Abhan pun mendorong Kemendagri untuk mencari jalan keluar. Harapannya, anggaran yang disiapkan pemda tetap sama dengan yang disepakati di NPHD. Nominal anggaran yang disepakati di NPHD itu diklaimnya sudah didasarkan pada rasionalitas kebutuhan Bawaslu.
”Jika ada pengurangan, tentu akan memengaruhi pembiayaan pengawasan yang kami lakukan,” ujarnya.
Pernyataan Abhan ini mematahkan klaim Mendagri sebelumnya yang menyatakan 270 pemda yang di daerahnya akan digelar pilkada tahun ini sudah menyiapkan anggaran untuk penyelenggaraan pilkada, khususnya bagi KPU dan Bawaslu di daerah masing-masing.
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri yang juga Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar mengakui persoalan di keenam daerah itu. Kemendagri pun sudah mencari solusinya.
Terkait persoalan di dua pemda di Sumatera Selatan, misalnya, Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru telah bertemu Sekretaris Jenderal Kemendagri Hadi Prabowo.
”Setelah berkonsultasi, Gubernur Sumatera Selatan akan memberi bantuan keuangan kepada Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir dan Ogan Komering Ulu Timur. Model di Sumatera Selatan ini bisa jadi alternatif untuk diterapkan di daerah lain,” lanjutnya.
Langkah itu sejalan dengan Pasal 5 dan 6 Peraturan Mendagri Nomor 54 Tahun 2019 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang Bersumber dari APBD. Pada Pasal 5 disebutkan, dalam hal pemerintah kabupaten/kota mengalami keterbatasan kemampuan keuangan daerah untuk penyelenggaraan kegiatan pilkada, pemerintah provinsi dapat membantu pendanaan kegiatan pemilihan.
Kemudian, Pasal 6, dalam hal pemerintah provinsi mengalami keterbatasan kemampuan keuangan daerah, pemerintah kabupaten/kota dapat membantu pendanaan kegiatan pemilihan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, kata Bahtiar, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota semestinya bisa saling membantu. Sebab, mereka bekerja untuk masyarakat di wilayah yang sama.
Di luar persoalan di keenam daerah itu, menurut Bahtiar, belum ada lagi laporan dari daerah yang tak mampu membiayai pilkada sesuai dengan kesepakatan di NPHD. Meski demikian, Kemendagri akan mengecek kembali kesiapan anggaran di setiap daerah yang akan menggelar pilkada.
Netralitas ASN
Selain masalah anggaran, ujar Abhan, masalah netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam penyelenggaraan pilkada juga perlu diantisipasi sejak awal.
Dari 270 daerah, ada 222 kepala/wakil kepala daerah petahana yang berpotensi berkontestasi kembali di Pilkada 2020. Berkaca pada penyelenggaraan sebelumnya, petahana merupakan pihak yang paling berpotensi mencederai netralitas ASN.
Salah satu modusnya adalah dengan memutasi pejabat untuk memuluskan kepentingan petahana. ”Untuk itu, kami sudah mengirim surat ke seluruh kepala daerah untuk tidak memutasi pejabat setelah 8 Januari 2020 karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, mutasi pejabat sudah dilarang sejak enam bulan sebelum penetapan calon,” kata Abhan.
Hal itu tertuang dalam Pasal 71 Ayat (2) UU No 10/2016, yaitu gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota dilarang melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapatkan persetujuan tertulis dari menteri.
Adapun tanggal penetapan calon pada Pilkada 2020 telah ditetapkan oleh KPU, yakni 8 Juli 2020. Hari pemungutan suara Pilkada 2020 akan berlangsung pada 23 September 2020.
Menurut Bahtiar, sudah ada kepala/wakil kepala daerah yang meminta izin kepada Mendagri untuk memutasi pejabat. Untuk ini, penerbitan izin menteri akan dilakukan secara selektif dan memperhatikan masukan dari Bawaslu.
”Kami memastikan, jika ada mutasi yang dilakukan, itu tidak dalam rangka mobilisasi atau mendukung pasangan calon tertentu,” ujarnya.