Proses setelah penangkapan oleh KPK menghadapi tantangan. Ada yang memaknai hal ini sebagai tanda melemahnya KPK. Namun, Mahfud MD menyebutnya sebagai kegagapan KPK di masa transisi.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
Penangkapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Bupati Sidoarjo, Jawa Timur, Saiful Ilah dan anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, pada awal Januari 2020, merupakan kabar baik di tengah keraguan publik terhadap pimpinan dan dasar hukum yang baru bagi KPK. Namun, di sisi lain, penangkapan tersebut berjalan dengan penuh tantangan.
Hal itu tampak dari proses kerja setelah penangkapan Wahyu terkait kasus dugaan korupsi pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR di Jakarta, Rabu (8/1/2020), kemudian penetapan Wahyu sebagai tersangka pada Kamis (9/1). Pada pengalaman sebelumnya, penangkapan dan penetapan tersangka segera disusul penggeledahan sejumlah lokasi terkait kasus. Namun, penggeledahan tak bisa dilaksanakan segera atau pada hari yang sama.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, penggeledahan, penyadapan, dan penyitaan harus seizin Dewan Pengawas KPK. Izin tersebut baru diajukan pada Jumat (10/1) sehingga penggeledahan dilakukan pada pekan berikutnya (Kompas, 12/1).
Pada Kamis (9/1), penyidik KPK tak bisa ”menyentuh” kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Penyidik dilarang masuk karena alasan administrasi. Penyegelan di kantor DPP PDI-P diperlukan karena Wahyu diduga disuap politikus PDI-P, Harun Masiku, terkait upaya menggantikan anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Riezky Aprilia, melalui mekanisme PAW.
Suap melibatkan Saeful, anggota staf Sekretariat Jenderal DPP PDI-P yang disebut sebagai anggota staf Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, serta melibatkan Agustiani Tio Fridelina, mantan anggota Badan Pengawas Pemilu yang juga pernah menjadi calon anggota legislatif dari PDI-P.
Lantas, apakah ini imbas pelemahan KPK sebagai dampak dari UU No 19/2019?
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menolak anggapan itu. ”Itu bukan persoalan UU, melainkan masalah personal,” kata Mahfud dalam Bincang Satu Meja The Forum bertajuk ”Wawancara dengan Mahfud MD” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (15/1) malam.
Dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu, Mahfud mengapresiasi kerja KPK yang mampu mengeksekusi kasus warisan pimpinan periode sebelumnya. Menurut dia, KPK tidak lemah karena masih memiliki kewenangan menyadap, menggeledah, dan menyita walaupun harus melalui izin Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Ia juga percaya, Dewas KPK yang diisi lima orang dengan rekam jejak berintegritas tidak akan menghalangi kerja KPK. ”Terlalu prematur untuk mengatakan seperti itu. Kita lihat saja nanti,” kata Mahfud.
Kegagapan
Menurut Mahfud, baik pimpinan maupun penyidik KPK masih gagap bekerja dalam konfigurasi baru KPK. Sebenarnya, pimpinan dapat memerintahkan penyidiknya untuk terus beroperasi di lapangan. Namun, mereka terbelit persoalan transisi penerapan dasar hukum dan struktur organisasi baru.
Hingga saat ini, peraturan presiden (perpres) mengenai prosedur operasi standar (SOP) hubungan kerja antara komisioner dan Dewas KPK masih dirumuskan. Aturan itu, kata Mahfud, paling lambat akan selesai satu bulan lagi.
Sementara itu, dalam SOP yang masih berlaku dimungkinkan operasi tangkap tangan (OTT) tanpa sepengetahuan komisioner. Dampaknya, pimpinan gagap saat harus menjelaskan kasus yang tidak dimengerti sepenuhnya kepada publik. Kekeliruan sangat mungkin dilakukan, salah satunya dengan memberitahukan jadwal penggeledahan.
”Ini merupakan gabungan kegagapan dan masa transisi KPK,” ujar Mahfud.
Mengenai kegagalan menggeledah, Mahfud membenarkan bisa saja itu terjadi karena petugas gentar saat berhadapan dengan partai berkuasa. Namun, ia berharap hal itu tidak benar-benar terjadi. ”Kalau itu memang terjadi, kami sedih,” ujarnya.
Ia juga prihatin atas kabar penghalangan penyidik KPK untuk menangkap sasarannya di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) di Jakarta. Sekalipun secara formal mereka bersalah karena tidak membacakan surat tugas dan berkilah hanya ingin beribadah di areal PTIK, tetapi petugas kepolisian tetap keliru.
”Semestinya, kalau ada petugas penegak hukum melaksanakan wewenangnya, itu perlu dibantu,” kata Mahfud.
Mahfud mengomentari informasi soal penyidik KPK yang tak bisa menangkap Harun dan elite PDI-P yang diduga bersembunyi di PTIK.
Operasional
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa berpendapat serupa dengan Mahfud. Pelambatan kerja KPK bukan disebabkan UU KPK hasil revisi, melainkan aturan operasional yang belum ada. Dia mendorong Presiden Joko Widodo segera menerbitkan perpres terkait petunjuk pelaksanaan serta komunikasi antara pimpinan dan Dewas KPK.
Secara terpisah, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari mengatakan, kedua kasus penangkapan itu perlu dilihat utuh. Keduanya dimulai pimpinan KPK periode 2015-2019, eksekusinya pun dilandasi prosedur UU KPK sebelum direvisi. Namun, terjadi perubahan dalam operasi yang dilakukan di masa UU No 19/2019. ”Dalam operasinya, KPK tampak sudah tidak memiliki kewenangan luar biasa atau sifat sebagai extraordinary body,” kata Feri.
Hal itu merupakan dampak penerapan UU No 19/2019 yang memosisikan KPK dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Akibatnya, KPK bisa dibuat mundur penegak hukum lain saat akan menjalankan tugasnya.
Feri menambahkan, lambatnya penggeledahan karena menunggu izin Dewas KPK, tidak bisa dinafikan merupakan dampak dari UU No 19/2019. Dalam Pasal 37B Ayat (1) Huruf b disebutkan, Dewas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan. Selanjutnya pada Pasal 47 Ayat (1) UU No 19/2019, dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewas.
Menurut Feri, sejumlah peristiwa itu adalah fakta mekanisme pelambatan gerak KPK oleh UU No 19/2019. Oleh karena itu, kebutuhan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) makin mendesak.
Mahfud mengakui, penerapan UU No 19/2019 dalam kerja KPK memang perlu dilihat lebih jauh. ”Opsi mengeluarkan perppu itu memang belum tertutup. Kan, bisa saja Presiden mengeluarkan perppu terutama kalau melihat perkembangan ke depan,” katanya.