Harun Masiku Masih Belum Masuk DPO, KPK Yakin Bisa Menangkapnya
Keberadaan Harun Masiku, tersangka kasus dugaan suap terkait penetapan anggota DPR-RI terpilih 2019-2024, masih belum diketahui. Meskipun demikian, KPK yakin bisa menangkap Harun yang sampai kini belum masuk DPO.
Oleh
sharon patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan Harun Masiku, tersangka dalam kasus dugaan suap terkait penetapan anggota DPR-RI terpilih 2019-2024, masih belum diketahui. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi yakin bisa menangkap Harun yang sudah menjadi tersangka sejak seminggu lalu dan belum dimasukkan ke dalam daftar pencarian orang.
Harun ditetapkan tersangka pada 9 Januari 2020. Calon anggota legislatif (caleg) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I ini diduga menyuap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, agar dapat menggantikan posisi Nazarudin Kiemas, caleg terpilih yang meninggal pada Maret 2019.
Hingga Jumat (17/1/2020) siang, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Arvin Gumilang menyatakan, catatan imigrasi masih sama. Harun terbang ke Singapura pada 6 Januari 2020 pukul 11.00.
Harun berangkat dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, menuju Bandara Changi, Singapura, dengan maskapai Garuda Indonesia GA 832. ”Belum ada informasi kepulangan Harun ke Indonesia,” kata Arvin.
Ketua KPK Firli Bahuri menegaskan, KPK akan terus mencari Harun hingga berhasil ditangkap. Tim penyidik KPK masih terus bekerja untuk mengungkap kasus ini.
”Saya memiliki keyakinan, kami (KPK) bisa menangkap yang bersangkutan (Harun). Tidak ada pelaku korupsi yang tidak tertangkap. Kami masih berupaya untuk menangkap tersangka (Harun),” ujar Firli.
Saya memiliki keyakinan, kami (KPK) bisa menangkap yang bersangkutan (Harun). Tidak ada pelaku korupsi yang tidak tertangkap. Kami masih berupaya untuk menangkap tersangka. (Harun)
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian RI Komisaris Besar Argo Yuwono menyampaikan, terkait pencarian dan penangkapan Harun, KPK sudah berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Kepolisian. ”Sudah dikomunikasikan dan dikoordinasikan,” ucapnya singkat.
Perbedaan pola kerja
Baik Firli maupun Argo tidak memberikan keterangan secara jelas apakah Harun sudah dimasukkan ke dalam daftar pencarian orang (DPO) atau belum. Ketika ditanya Kompas tekait hal itu, Firli menjawab KPK akan mencari dan menangkap Harun. Adapun Argo menyatakan hal itu sudah dikomunikasikan dan dikoordinasikan dengan KPK.
Sejumlah kalangan menilai, langkah ini menunjukkan adanya perbedaan pola kerja pimpinan KPK saat ini dengan yang sebelum-sebelumnya.
Peneliti dari Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran, Leo Agustino, mengemukakan, selama ini KPK bekerja dalam sunyi, tidak gaduh, dan terukur. Namun, pada episode kemarin, ada sesuatu yang berbeda dari pola kerja KPK.
Selama ini KPK bekerja dalam sunyi, tidak gaduh, dan terukur. Namun, pada episode kemarin, ada sesuatu yang berbeda dari pola kerja KPK.
Salah satunya, belum dimasukkannya Harun dalam DPO. Ini menunjukkan hal berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya ketika orang-orang yang diindikasikan melakukan tindak pidana korupsi langsung dihalau untuk bepergian ke luar negeri.
”Apalagi, dalam kasus ini yang jelas-jelas sudah pergi sebelum penangkapan dan tidak dilakukan pen-DPO-an terhadapnya (Harun). Mereka (KPK) tidak lagi bekerja dalam sunyi, khususnya untuk kasus ini, malah cenderung eksibisionis atau eksposur,” kata Leo.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menyatakan, KPK harus jeli melihat persoalan dugaan korupsi ini, termasuk keberadaan Harun. Pertanyaan besarnya, apakah benar Harun berada di luar negeri atau jangan-jangan yang bersangkutan sudah kembali ke Indonesia.
”Hingga saat ini publik tidak melihat adanya kemauan dari pimpinan KPK untuk benar-benar serius menangani perkara tersebut,” ujarnya.
Leo pun menyoroti, Undang-Undang (UU) KPK Nomor 19 Tahun 2019 hasil revisi UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 seharusnya membuat kinerja KPK lebih baik. Sebab, secara teoretis, UU dibuat untuk memperbaiki UU lama yang dianggap kurang mampu menjawab perkembangan zaman.
”Tapi kenyataannya, saat ini pola kerja KPK menjadi birokratis sehingga membuat pola kerjanya tersendat dan ‘terbaca’ beberapa pihak, termasuk juga wartawan. Akibatnya, tentu menghambat pemberantasan korupsi,” ucapnya.
KPK, menurut Leo, harus dipastikan dapat kembali bekerja dalam senyap, hindari eksibisionis yang memang kadang mendongkrak citra KPK. Namun, hal tersebut bisa menjadi bumerang manakala semua gerak KPK diekspos oleh media.
Peneliti ICW Adnan Topan Husodo pun menyatakan, UU KPK baru memang membuat rute birokrasi penegakan hukum menjadi lebih panjang. Salah satunya karena adanya konsep Dewan Pengawas.
Untuk itu, UU KPKP Nomor 19 Tahun 2019 harus dibatalkan demi menguatkan kembali lembaga antirasuah. ”Kita berharap di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), itu yang diputuskan (pembatalan UU KPK Nomor 19 Tahun 2019) oleh MK,” ucap Adnan.