Tokoh Agama Dunia Sepakat Interpretasikan Ulang Agama demi Perdamaian Dunia
Para tokoh agama dari sejumlah negara sepakat untuk melakukan upaya rekontekstualisasi agama demi mewujudkan perdamaian dunia. Norma-norma agama harus disesuaikan dengan realitas termutakhir.
Oleh
Fajar Ramadhan
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para tokoh agama dari sejumlah negara sepakat untuk melakukan upaya rekontekstualisasi agama demi mewujudkan perdamaian dunia. Norma-norma agama harus disesuaikan dengan realitas termutakhir.
Ajakan tersebut awalnya diutarakan oleh Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf dalam Forum Abrahamic Faiths Initiative atau Forum Inisiatif Agama-agama Ibrahimiyah di Vatikan yang berlangsung pada 14-17 Januari 2020. Menurut dia, para pemimpin agama harus melakukan refleksi sejujurnya tentang posisi teologis agama masing-masing dalam upaya perdamaian.
”Harus diakui, ada norma-norma ortodoksi yang masih mendorong segregasi, diskriminasi, dan konflik,” kata Gus Yahya, sapaan akrab KH Yahya Cholil Staquf, di Roma, Jumat (17/1/2020), dalam keterangan tertulis.
Menurut Gus Yahya, norma-norma itu harus dihadapkan pada konteks realitas globalisasi abad ini. Ia beranggapan bahwa konflik antaragama tidak mungkin lagi dilokalisasi sehingga dengan mudah memicu benturan universal yang kaotis. Pada akhirnya, hal itu dapat meruntuhkan peradaban dunia.
Ia juga memberikan gambaran tentang upaya-upaya rekontekstualisasi fikih yang pernah dilakukan di lingkungan Nahdlatul Ulama sejak 1984. Hal itu ditandai dengan peletakan kerangka teologis bagi ”Ukhuwwah Basyariyyah” oleh Rais Aam KH Achmad Shiddiq.
”Pada Februari 2019, Musyawarah Nasional Alim Ulama NU menetapkan bahwa istilah kafir tidak lagi relevan untuk ruang publik dalam konteks negara dan bangsa modern. Dimensi sosial-politik dari istilah kafir sebenarnya terkait konteks keberadaan satu teokrasi tunggal yang universal, yang sekarang sudah tidak ada lagi,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Uskup Katolik asal Jordania Monsinyur Khaled Akasheh merasa amat terharu. Menurut dia, hal tersebut sesuai dengan yang dicita-citakannya selama ini. ”Ini adalah perwujudan mimpi saya selama 25 tahun,” katanya.
Musyawarah Nasional Alim Ulama NU menetapkan, istilah kafir tidak lagi relevan untuk ruang publik dalam konteks negara dan bangsa modern. Dimensi sosial-politik dari istilah kafir sebenarnya terkait konteks keberadaan satu teokrasi tunggal yang universal, yang sekarang sudah tidak ada lagi.
Ia juga menegaskan, bukan hanya Islam yang perlu melakukan interpretasi ulang semacam itu. Semua agama dari keluarga Ibrahimiyah dinilai harus melakukannya. Khaled mengungkapkan, Gereja Katolik telah memulai upaya tersebut sejak didirikannya Dewan Ekumenikal Vatikan Kedua pada masa Paus Yohanes XXIII pada 1962.
”Agama-agama Ibrahimiyah harus merenungkan kembali hakikat kehadiran dan perannya dalam konteks realitas abad ke-21 ini,” ujarnya.
Wakil dari kalangan Yahudi ultra-ortodoks Israel menyambut antusias ajakan itu melalui Rabinat Adina Bar-Shalom. Ia merupakan putri dari mendiang Rabi Kepala Sephardi, Ovadia Yosef, yang paling berpengaruh di kalangan Yahudi ultra-ortodoks di Israel.
Rabinat mengajak seluruh tokoh untuk menciptakan momentum kebersamaan. Salah satunya dengan menggalang pertemuan pemimpin-pemimpin agama Ibrahimiyah berdialog mengenai topik tersebut. Ia bertekad memobilisasi seluruh komunitas Yahudi ortodoks di Israel untuk terlibat dalam upaya rekontekstualisasi tersebut.
”Segala kekerasan dan pembunuhan ini harus dihentikan. Seluruh hamparan tanah di muka bumi ini tak sebanding nilainya dengan satu nyawa manusia,” tegasnya.