Penyelesaian Kasus oleh Pemerintah Terus Ditagih
Kemauan pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu ditagih Komnas HAM dan pegiat HAM. Pernyataan Jaksa Agung Burhanuddin bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran berat menuai kritik.
JAKARTA, KOMPAS — Kemauan pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu ditagih oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan pegiat HAM. Pernyataan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang menyatakan Tragedi Semanggi I dan II bukan merupakan pelanggaran HAM berat menuai kritikan, sekaligus menunjukkan keraguan pemerintah menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat yang bertahun-tahun tak diselesaikan.
Anggota Komnas HAM Choirul Anam di Jakarta, Jumat (17/1/2020), mengatakan, dalam kajian HAM ada dua perspektif untuk melihat upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM, yakni apakah pemerintah tidak mau menyelesaikan (unwilling) atau tidak mampu menyelesaikan (unable). Pernyataan Jaksa Agung sebelumnya yang menyatakan, Tragedi Semanggi I dan II bukan merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu mengindikasikan bahwa pemerintah tidak memiliki kemauan atau unwilling untuk menyelesaikan persoalan HAM berat masa lalu.
Sebagaimana diketahui, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia melayangkan protes keras atas pernyataan Jaksa Agung Burhanuddin yang menilai Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu. Komnas akan meminta klarifikasi atas pernyataan yang disampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Kamis (16/1/2020), itu.
”Jaksa Agung telah berulang kali menyatakan sikap impunitas dalam kasus pelanggaran HAM berat. Dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, ini bisa masuk kategori unwilling atau tidak memiliki kehendak untuk menyelesaikan. Dalam konteks HAM, pilihan penyelesaian kasus tinggal melalui mekanisme internasional,” ungkap komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, saat dihubungi semalam.
”Jaksa Agung telah berulang kali menyatakan sikap impunitas dalam kasus pelanggaran HAM berat. Dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, ini bisa masuk kategori unwilling atau tidak memiliki kehendak untuk menyelesaikan.”
Di hadapan anggota Komisi III DPR, Burhanuddin sebelumnya memaparkan tindak lanjut penanganan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Saat menjelaskan perkembangan kasus Tragedi Semanggi I dan II, ia mengatakan, peristiwa itu bukan merupakan pelanggaran HAM berat. Ia mengacu pada hasil Rapat Paripurna DPR pada 9 Juli 2001 yang melaporkan hasil rekomendasi Panitia Khusus DPR terkait Kasus Trisakti dan Semanggi I-II. ”Ada hasil Rapat Paripurna DPR yang menyatakan bahwa peristiwa itu bukan pelanggaran HAM berat,” kata Burhanuddin.
Baca Juga: Sebut Tragedi Semanggi I dan II Bukan Pelanggaran HAM Berat, Jaksa Agung Diprotes
Dalam catatan yang diserahkan pada rapat kerja, Kejagung juga menyinggung bahwa hasil penyelidikan Komnas HAM dinilai sekadar asumsi, opini, dan testimoni sehingga tak memenuhi syarat ke penyidikan.
”Kalau Jaksa Agung menyatakan demikian, berarti dia harus kembali membuka dokumen dan surat-menyurat yang dilakukan antara Komnas HAM dan Jaksa Agung selama bertahun-tahun. Selama ini, surat itu disampaikan dalam konteks pelanggaran HAM berat. Jika Jakgung menyangkal hal itu, berarti dia harus membaca kembali dokumen-dokumen surat-menyurat sebelumnya antara Komnas HAM dan Kejagung,” kata Anam saat dihubungi Jumat pagi tadi.
Sikap jakgung itu seolah menguatkan ”ketidakmauan” atau unwillingness pemerintah menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Sebab, selama bertahun-tahun, kasus itu tidak segera diselesaikan, dan berlarut-larut penyelesaiannya. Padahal, Komnas HAM telah berkali-kali meminta penyelesaian kasus itu dipercepat. Tetapi, sejak lama kejaksaan, bukan hanya di era Burhanuddin, tetap sebelumnya, yang seolah-olah menunda penyelesaian kasus ini dengan mengatakan hasil penyelidikan Komnas HAM tidak memenuhi syarat untuk dinaikkan statusnya ke dalam penyidikan.
”Unwilling itu bisa ditandai apakah ada atau tidak langkah-langkah strategis dan terus meningkat yang dilakukan negara. Semakin lama, semakin mundur kasus ini. Sekarang Kejagung menyatakan kasus susah diselesaikan karena sudah terjadi di masa lampau. Logikanya pasti seperti itu karena dari dulu diminta untuk dipercepat, tetapi tidak segera diselesaikan. Ini seperti membangun jebakan Batman. Inilah yang dalam kajian HAM disebut sebagai unwillingness untuk menyelesaikan kasus HAM,” kata Anam.
Dalam menghadapi keengganan menuntaskan kasus HAM berat masa lalu, mekanisme lain bisa ditempuh, yakni dengan mengajukan persoalan HAM ini ke dunia internasional. Pengajuan persoalan HAM berat ke pengadilan HAM internasional di Denhaag, Belanda, antara lain yang saat ini sedang dipertimbangkan oleh Komnas HAM.
”Kami sedang mengkaji mekanismenya seperti apa untuk mengajukan ke pengadilan HAM internasional. Pengalaman lain, seperti di Kamboja, yakni dengan melakukan pengadilan campuran (hybrid), bisa juga diambil oleh Indonesia. Di Kamboja, dalam mengadili kejahatan Polpot dan pengikutnya, mereka disidangkan di Kamboja, tetapi menggunakan mekanisme internasional. Nah, apakah itu juga bisa dilakukan di Indonesia, masih perlu dikaji,” katanya.
Pernyataan Burhanuddin, menurut Anam, menyiratkan keengganan pemerintah menuntaskan persoalan HAM berat masa lalu, dan ini sama saja dengan mengundang campur tangan internasional. Perlu diingat pula, salah satu pesan penting dalam Reformasi dan Demokratisasi di Indonesia ialah perlindungan HAM dan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, serta pemberantasan korupsi.
Dua hal itulah, menurut Anam, yang semestinya menjadi perhatian pemerintah di era Reformasi. Demokratisasi dan kebebasan di pasca-Reformasi tidak dapat dinikmati tanpa pengorbanan mahasiswa dalam Tragedi Semanggi I dan II, serta Trisakti, dan sejumlah kejadian lain di seputar peristiwa itu.
Baca Juga: Merunut Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
Anam mengatakan, Komnas HAM juga pernah melaporkan kondisi belum tuntasnya pelanggaran HAM berat ini kepada Presiden Joko Widodo tahun 2018. Akan tetapi, persoalan ini belum tuntas juga hingga sekarang.
Catatan sepanjang tahun 2019 yang dirilis oleh beberapa lembaga pemerhati HAM dan demokrasi juga menunjukkan menguatnya skeptisme atas penyelesaian kasus HAM berat masa lalu. Sikap skeptis tersebut antara lain terlihat dari hasil survei Litbang Kompas pada 4-5 Desember 2019 terhadap 512 responden yang dipilih secara acak di kota-kota besar di Tanah Air.
”Catatan sepanjang tahun 2019 yang dirilis oleh beberapa lembaga pemerhati HAM dan demokrasi juga menunjukkan menguatnya skeptisme atas penyelesaian kasus HAM berat masa lalu.”
Sebanyak 61,1 persen responden menyatakan tidak yakin pelanggaran HAM berat di masa lalu, seperti peristiwa 1965, tragedi Trisakti, peristiwa Semanggi I dan II, akan mampu diungkap secara tuntas.
Hasil itu tidak berbeda jauh dengan survei yang dilakukan Litbang Kompas yang bekerja sama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 23 September-4 Oktober 2019 di 34 provinsi. Kesimpulan dari survei itu menunjukkan, responden ragu-ragu dalam melihat kemampuan pemerintah menuntaskan sejumlah pelanggaran HAM berat. Sebanyak 82,2 persen responden menginginkan kasus pelanggaran HAM itu dituntaskan, dan 17,8 persen di antaranya merasa tidak perlu dituntaskan karena ada hambatan politik dalam prosesnya. Selain itu, 99,3 persen responden menginginkan pelanggaran HAM itu dituntaskan melalui pengadilan, dan sisanya menginginkan solusi lain.
Komisi kebenaran dan rekonsiliasi
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan dalam peringatan hari HAM Sedunia di Kota Bandung, Jawa Barat, mewacanakan untuk membuat Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). UU sejenis sebelumnya pernah dibentuk, yakni UU No 27 Tahun 2004, tetapi dibatalkan keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 006/PUU-IV/2006. UU itu dinilai bertentangan dengan konstitusi karena salah satu pasal yang menjadi jiwa pelaksanaan KKR, yakni Pasal 27, dinyatakan inkonstitusional.
Menkopolhukam Mahfud MD saat itu mengatakan, penegakan HAM sebaiknya tidak hanya dilihat semata-mata soal penegakan hukum. Sejak Reformasi, sudah banyak kemajuan dalam pembangunan HAM yang berhasil dicapai oleh Indonesia.
”Hak-hak politik seperti penguatan demokrasi, kebebasan pers, kemandirian partai politik, menguatnya DPR, dan meluasnya kekuatan civil society bisa ditunjukkan sebagai bukti. Sebelum Reformasi, pengekangan terhadap HAM sangat hegemonik, tetapi sekarang sudah bebas,” katanya, Selasa (10/12/2019) di Bandung.
Mahfud mengakui masih ada persoalan dalam penegakan HAM, dan pelanggaran HAM juga masih terjadi, sebagaimana juga yang ditemui di negara-negara lain. Tetapi, pemerintah berusaha menyelesaikannya melalui instrumen hukum yang tersedia. Masalah-masalah yang terkait dengan pelanggaran HAM masa lalu dipandang harus segera diputuskan dengan baik dan dituangkan melalui hukum.
”Kita harus bersikap ksatria untuk menyelesaikannya berdasar kesepakatan yang harus dituangkan di dalam hukum. Adalah tidak bijaksana jika kita menggantung-gantung masalah hanya karena perbedaan pilihan cara penyelesaian. Apa pun perbedaannya harus kita putuskan secara sportif. Jangan kalau tidak setuju lalu saling lempar dan saling menghindar. Itulah sebabnya kita merencanakan membuat UU KKR atau nama lainnya yang nanti disepakati,” kata Mahfud.
Baca Juga: Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa lalu
Rencana pembentukan UU KKR oleh pemerintah itu ditanggapi dengan hati-hati oleh kalangan masyarakat sipil. Di tengah catatan penegakan dan perlindungan HAM yang kurang menggembirakan, usulan untuk membentuk UU KKR itu dipandang secara kritis.
Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani mengatakan, sepanjang 2019, isu HAM belum menjadi perhatian negara. Bahkan, negara melalui alatnya dinilai melakukan pendekatan represif kepada warga. Hal itu mengancam hak-hak sipil warga negara, seperti kebebasan berpendapat, berekspresi, dan menyampaikan kritik.
Penuhi prinsip dasar
Sementara itu, terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM melalui KKR, Kontras menilai hal itu bisa dilakukan, tetapi dengan pemenuhan prinsip-prinsip dasar. Keberadaan KKR juga bukan berarti meniadakan proses yudisial.
”Penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bukan berarti sekadar memaafkan tanpa melalui proses hukum di pengadilan.”
”Penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bukan berarti sekadar memaafkan tanpa melalui proses hukum di pengadilan. KKR itu memiliki tiga prinsip, yakni pengungkapan kebenaran dan pengakuan, memastikan keadilan bagi korban, dan pemulihan hak-hak korban,” kata Yati.
Tiga prinsip itu tidak dapat dipisahkan, atau saling meniadakan, karena sifatnya komplementer. Dengan alasan itulah, usulan untuk membentuk UU KKR atau ketentuan lain sejenis mesti diketahui dulu kerangka dan substansi isi yang mau diatur di dalamnya. Yati berharap UU KKR tidak menjadi celah bagi upaya rekonsiliasi yang tidak memberikan keadilan bagi korban, tetapi malah menjadi cara pelaku pelanggar HAM untuk cuci tangan. Bila itu yang terjadi, UU KKR hanya akan memperpanjang impunitas dalam penegakan HAM di Tanah Air.
Kontras melihat pembahasan UU KKR ini harus lebih dulu didalami sebelum menilai apakah substansinya telah memenuhi prinsip-prinsip dasar ataukah tidak. Sebelumnya, tahun 2006, Kontras menjadi salah satu pemohon uji materi UU 27 Tahun 2004 tentang KKR. Tiga pasal yang diujikan, yakni Pasal 1 Ayat (9), Pasal 27, dan Pasal 44. Namun, hanya Pasal 27 yang dikabulkan MK. Dibatalkannya pasal itu berdampak pada keseluruhan isi UU yang dinilai inkonstitusional.
Pasal 27 UU KKR itu berbunyi, ”Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.” Pemohon menilai, pemulihan terhadap hak-hak korban semestinya tidak bergantung pada amnesti yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran HAM. Ketentuan semacam itu meletakkan posisi korban tidak setara dengan pelaku karena korban baru mendapatkan hak-haknya bilamana pelaku diampuni presiden.
Kontras berada pada posisi untuk mengedepankan penyelesaian proses hukum dalam penuntasan kasus HAM berat masa lalu. Pembentukan KKR diharapkan tidak mengaburkan pemberian keadilan kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
Baca Juga: Pemda Menjadi Tumpuan Pemenuhan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat
Menurut catatan Kompas, rekomendasi DPR pada 9 Juli 2001 itu menuai kritik luas dari publik saat itu. Presiden Abdurrahman Wahid juga mengecam keputusan itu dan menyebut DPR tidak berhak mengambil keputusan dan mencampuri penegakan hukum dalam ketiga kasus tersebut.
Pemberitaan Kompas saat itu menulis, rekomendasi DPR saat itu mengarah pada kepentingan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan untuk kepentingan keluarga korban. Kesimpulan pansus itu melanggengkan impunitas dan meloloskam para petinggi militer yang seharusnya bertanggung jawab atas ketiga kasus itu.
Sementara itu, saat ditanya mengenai pernyataan Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly tak berkomentar banyak. Ia mengatakan tidak tahu-menahu dengan pernyataan Burhanuddin dan menampik itu sebagai sikap pemerintah dalam memandang kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
”Bukan begitu (sikap pemerintah atas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu). Kita lihat dulu nanti, saya harus koordinasi dulu dengan kementerian/lembaga lain.” (Yasonna)
”Bukan begitu (sikap pemerintah atas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu). Kita lihat dulu nanti, saya harus koordinasi dulu dengan kementerian/lembaga lain,” kata Yasonna.
Saat ditanyakan terkait adanya perbedaan definisi pelanggaran HAM berat yang melatarbelakangi keputusan DPR era Akbar Tandjung itu, Yasonna mengatakan masih mau mempelajari hasil rekomendasi pansus saat itu. ”Kita pelajari dulu, kita palajari lagi,” katanya.