Revitalisasi Trotoar Beri Ruang bagi Pedagang dan Pejalan Kaki
Program revitalisasi trotoar di Jakarta terus dilanjutkan tahun ini. Program ini dikerjakan dengan memberi ruang bagi pedagang sekaligus juga menjamin hak pejalan kaki menggunakan jalur itu.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/AGUIDO ADRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan merevitalisasi trotoar sepanjang 97,36 kilometer dengan anggaran mencapai Rp 1 triliun pada tahun 2020. Bersamaan dengan itu, pemerintah menyiapkan ruang pedagang kaki lima tanpa mengorbankan hak pejalan kaki.
Berdasarkan catatan Dinas Bina Marga (DBM) DKI Jakarta, yang diterima harian Kompas, Jumat (17/1/2020), pada 2020 ini, pengerjaan revitalisasi trotoar sepanjang 97,36 kilometer tersebar di tujuh unit kerja.
Rinciannya adalah Suku DBM Jakarta Pusat (3.984 meter), Suku DBM Jakarta Timur (5.687 m), Suku DBM Jakarta Barat (7.414 m), Suku DBM Jakarta Utara (4.432 m), Suku DBM Jakarta Selatan (3.755 m), Bidang Kelengkapan Prasarana Jalan dan Jaringan Utilitas Reguler (49.675 m), serta Pejabat Pembuat Komitmen Khusus Kegiatan Strategis Daerah (22.413 m).
Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho mengatakan, trotoar yang direvitalisasi oleh PPKK KSD akan menjadi pertimbangan Pemprov DKI untuk kelak ditempati oleh pedagang kaki lima (PKL). Trotoar akan diperlebar hingga 5 meter. ”Tentunya yang bisa kami akomodasi (untuk PKL) itu trotoar yang lebih dari 5 meter,” ujar Hari.
Kriteria PKL
Hari menjelaskan, saat ini pihaknya masih menyusun dasar hukum guna mengakomodasi kehadiran PKL di trotoar. Dasar hukum tersebut akan tetap merujuk pada Pasal 13 Ayat (2) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki.
Dalam pasal tersebut ditegaskan, perbandingan antara lebar jalur pejalan kaki dan lebar area berdagang adalah 1:1,5. Area berdagang tidak boleh mengganggu fungsi utama trotoar untuk pejalan kaki.
Hari menambahkan, PKL yang ada di trotoar tidak boleh bersifat permanen. Jam operasional PKL juga akan diatur. Tak hanya itu, jenis barang dagangan juga harus ramah lingkungan, yang tidak merusak trotoar. ”Jadi, PKL yang ramah lingkungan tak boleh ada bakar-membakar, barangkali kompornya kompor listrik. Tak ada cuci-mencuci. Dan kehadiran PKL itu juga harus bisa melengkapi pejalan kaki,” tutur Hari.
Sebagai contoh, di Jalan MH Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman kemungkinan akan ada PKL yang menjual makanan yang bisa dibawa pulang (take away). Dengan begitu, trotoar tidak terkesan kumuh.
Hak pejalan kaki
Dalam implementasi kebijakan ini, setiap wali kota juga akan mengeluarkan peraturan wali kota yang menegaskan soal titik lokasi trotoar yang diperbolehkan ada PKL. Penetapan titik-titik itu juga harus atas persetujuan Dinas Bina Marga. Dengan begitu, proses pengawasan akan lebih mudah.
Apabila kelak ditemukan PKL berjualan di luar trotoar yang telah ditetapkan wali kota setempat, PKL tersebut akan ditertibkan. ”Yang penting, intinya tidak mengganggu pejalan kaki. Hak pejalan kaki tetap nomor satu. PKL yang mengganggu aksesibilitas pejalan kaki akan kami tertibkan. Jadi, semua sudah ada aturan mainnya,” ucap Hari.
Secara terpisah, Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus mempertanyakan rencana Pemprov DKI untuk mengakomodasi PKL di trotoar. Menurut dia, konsep itu telah menyalahi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyebutkan trotoar hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki. ”Jika ada PKL, kami mempertanyakan, apa fungsi utama trotoar? Padahal, di UU No 22/ 2009 jelas, peruntukannya (trotoar) untuk pejalan kaki,” ujar Alfred.
Terkait kebijakan pemanfaatan trotoar untuk PKL ini, Alfred mengatakan, koalisinya tidak pernah dilibatkan. ”Pemprov DKI kerap meminta kolaborasi, tetapi tidak pernah melibatkan kami, publik. Kami tidak dilibatkan terkait kebijakan ini. Entah publik siapa yang dilibatkan,” katanya.