Sebut Tragedi Semanggi Bukan Pelanggaran HAM Berat, Jaksa Agung Tidak Mandiri
Jaksa Agung dinilai tidak punya independensi, tidak memiliki kemandirian dan tidak percaya diri melaksanakan wewenangnya sebagai penyidik dalam menyampaikan perkembangan Tragedi Semanggi I-II.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa Agung ST Burhanuddin dinilai tidak memiliki kemandirian kehakiman ketika menyatakan tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat. Semestinya Jaksa Agung harus melaporkan hasil perkembangan kasus itu berdasarkan kajian dari lembaganya sendiri.
Pada Kamis (16/1/2020), Burhanuddin di hadapan anggota Komisi III DPR memaparkan tindak lanjut penanganan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Saat menjelaskan perkembangan kasus Semanggi I dan II, Burhanuddin mengatakan bahwa peristiwa itu bukan pelanggaran HAM berat.
Ia mengacu pada hasil Rapat Paripurna pada 9 Juli 2001 yang melaporkan hasil rekomendasi Panitia Khusus (Pansus) DPR terkait kasus Trisakti dan Semanggi I-II. "Terkait Semanggi I-II, telah ada hasil Rapat Paripurna DPR yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan pelanggaran HAM berat," katanya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Hari Setiyono yang ditemui Jumat (17/1/2020) di kompleks Kejagung menjelaskan, pandangan Jaksa Agung itu untuk menjawab pertanyaan DPR terkait perkembangan kasus pelanggaran HAM berat. Kejagung ingin mengingatkan kembali bahwa DPR pernah membuat keputusan yang menyatakan peristiwa itu bukan pelanggaran HAM berat.
"Jaksa Agung tentu kemarin menyampaikan punya cantolan, punya pendapat. DPR sudah membuat pansus dan hasilnya itu (tak terjadi pelanggaran HAM berat). Sementara dari hasil penyelidikan Komnas HAM juga sudah diteliti penyidik. Sudut pandang berbeda sah-sah saja," katanya.
Jaksa Agung tidak punya independensi, tidak memiliki kemandirian kehakiman, tidak percaya diri melaksanakan wewenangnya sebagai penyidik dalam kasus itu.
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid berpendapat, Kejagung semestinya tidak melandaskan pendapatnya terkait peristiwa itu berdasarkan keputusan politik DPR. Referensi Jaksa Agung harus berdasarkan pada bukti permulaan yang cukup tentang ada atau tidaknya pelanggaran HAM berat dalam kasus itu.
"Kalau begini, Jaksa Agung tidak punya independensi, tidak memiliki kemandirian, tidak percaya diri melaksanakan wewenangnya sebagai penyidik dalam kasus itu," ujarnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Jaksa Agung bertugas sebagai penyidik dan penuntut, sedangkan Komisi Nasional HAM bertugas sebagai penyelidik.
Sementara DPR berperan untuk mengusulkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Pengadilan HAM ad hoc bertujuan mengadili dugaan pelanggaran HAM berat sebelum ada UU No 26/2000.
Usman melanjutkan, hasil Rapat Paripurna DPR 2001 tentang Trisakti dan Semanggi I-II itu bermasalah. Sebab, kewenangan politik DPR adalah terkait perlu atau tidaknya dibentuk pengadilan ad hoc. Sementara untuk menentukan sebuah kasus merupakan pelanggaran HAM berat atau tidak merupakan wilayah hukum yang menjadi domain Komnas HAM dan Kejagung.
Catatan Kompas, hasil rekomendasi DPR 9 Juli 2001 memicu protes dari berbagai kalangan waktu itu. Presiden Abdurrahman Wahid mengecam keputusan itu dan menyebut DPR tidak berhak mengambil keputusan serta mencampuri penegakan hukum ketiga kasus itu.
Kompas yang terbit 10 Juli 2001 melaporkan, keputusan ini langsung disambut aksi unjuk rasa ratusan mahasiswa. Mereka marah karena DPR tidak memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc. Aksi pada awalnya berlangsung di depan Gedung MPR/DPR, kemudian dilanjutkan dengan aksi jalan kaki (long march) serta pembakaran ban-ban.
Keputusan ini juga disambut aksi pelemparan telur dari balkon Ruang Nusantara V Gedung MPR/DPR oleh Ny Sumarsih, ibu salah seorang korban Semanggi I, sesaat setelah Panda Nababan (Ketua Pansus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II) membacakan laporannya.