Informasi Kesehatan di Media Sosial
Saya mengikuti bermacam-macam grup media sosial dan berbagai informasi dan opini ditayangkan di sana.
Meski umur saya sudah 62 tahun, saya rajin membuka media sosial. Cukup banyak yang diperbincangkan di media sosial dan saya terutama tertarik pada masalah kesehatan.
Saya mengikuti bermacam-macam grup media sosial dan berbagai informasi dan opini ditayangkan di sana. Banyak sekali cara pencegahan penyakit, diagnosis, pertolongan pertama, dan terapi dibicarakan.
Saya tidak apriori terhadap pengobatan tradisional dan penggunaan obat herbal, tetapi, menurut saya, banyak informasi yang harus ditelusuri lagi kebenarannya. Misalnya, pengobatan tradisional terhadap penyakit kanker, termasuk tumbuh-tumbuhan yang dapat menyembuhkan kanker.
Biasanya jika tertarik pada informasi di perbincangan grup, saya mencoba untuk mencari lebih lanjut di pusat informasi yang mempunyai kewenangan, seperti informasi dari profesi kesehatan dan WHO. Namun, tak mudah bagi saya untuk mendapat kesimpulan. Di samping topik yang saya cari tak dibahas di sumber-sumber tersebut, kebanyakan informasinya berupa informasi penelitian ilmiah kedokteran yang tak mudah bagi saya untuk mencernanya.
Saya dua bulan sekali berkonsultasi ke dokter untuk pengendalian kencing manis. Jika saya bertanya kepada dokter saya, biasanya jawabnya adalah jangan dipercaya informasi dari orang awam. Namun, pada era informasi terbuka dewasa ini tak mudah menghindari informasi dari orang awam. Apakah kalangan kedokteran menyadari kebingungan masyarakat atas beredarnya berbagai informasi di media?
Untuk media cetak dan elektronik saya percaya ada dewan redaksi yang akan menyaring berita yang akan diterbitkan.
Untuk media cetak dan elektronik saya percaya ada dewan redaksi yang akan menyaring berita yang akan diterbitkan. Namun, di media sosial amat bebas, pendapat apa pun dapat ditayangkan. Saya khawatir pendapat publik akan semakin terpengaruh oleh media sosial yang belum tentu kebenarannya. Jika informasi itu tak benar dan oleh masyarakat diikuti, tentu berbahaya bagi kesehatan mereka.
Saya merasa, respons pemerintah (Kementerian Kesehatan, universitas) ataupun profesi kesehatan masih lambat dalam meluruskan informasi di media sosial. Tampaknya fungsi hubungan masyarakat tidak dapat lagi satu arah, yaitu memberikan informasi kepada masyarakat, tetapi juga harus memperhatikan informasi yang beredar di masyarakat dan meluruskannya.
Sebagai contoh, masyarakat menanti pendapat pemerintah atau profesi kesehatan mengenai diet keto untuk menurunkan berat badan. Saya berharap agar lembaga resmi yang berwenang dapat jadi penyeimbang dan pelurus informasi yang beredar di masyarakat. Ini berarti lembaga tersebut harus peka terhadap opini yang beredar di masyarakat serta cepat memberikan klarifikasi. Apakah hal itu dapat dijalankan di Indonesia?
M di J
Anda benar. Media sosial telah banyak mengubah cara hidup kita serta memengaruhi pikiran kita. Semua orang berhak mengemukakan pendapat dan masyarakat biasanya kurang jeli memilah pendapat yang patut diterima ataupun tidak. Sekarang kewenangan ilmu tampaknya kurang diperhatikan masyarakat. Jika informasi tersebut terasa masuk akal dan mudah dilaksanakan, mungkin sebagian masyarakat akan mempraktikkannya.
Saya juga sering memperhatikan banyak anggota masyarakat yang bertanya tentang penyakitnya dan berharap tenaga kesehatan akan menjawab dengan menganjurkan obat yang tepat untuk penyakitnya. Sebenarnya harus kita bedakan antara informasi dan proses terapi. Informasi bersifat umum. Namun, jika ada orang bertanya tentang penyakitnya serta berharap dokter menyuruh obat apa yang harus diminum beserta cara makan dan dosisnya, hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan konsultasi klinik pasien.
Tidak lazim bagi dokter mengobati pasien hanya berdasarkan keluhan pasien karena proses tersebut tidak sesuai dengan kaidah ilmu kedokteran.
Untuk itu, dokter tidak hanya memerlukan riwayat penyakit, tetapi juga perlu melakukan pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, radiologi, dan lain-lain. Tidak lazim bagi dokter mengobati pasien hanya berdasarkan keluhan pasien karena proses tersebut tidak sesuai dengan kaidah ilmu kedokteran.
Jadi, jika masyarakat mendapat informasi kesehatan dan akan menerapkan informasi tersebut, sebaiknya dia membicarakannya dengan dokter keluarganya. Informasi itu mungkin dapat diterapkan, tetapi juga dapat merugikan kesehatannya karena dia mempunyai penyakit tertentu yang tidak sesuai dengan informasi yang dianjurkan.
Media sosial dapat merupakan sahabat dokter dalam membina opini masyarakat, tetapi juga dapat merupakan perintang program pemerintah. Salah satu contoh adalah berita tentang efek samping imunisasi HPV (vaksin untuk mencegah kanker serviks) di Jepang.
Media massa dan media sosial memberitakan kejadian salah seorang siswa yang diimunisasi HPV, tangannya menjadi lumpuh. Berita ini mengejutkan orangtua murid sehingga mereka meminta Menteri Kesehatan Jepang segera menghentikan imunisasi HPV. Untunglah ada dokter yang mencari siswa yang diberitakan dan ternyata siswi tersebut hanya kesakitan di lengan yang disuntik sehingga sakit jika menggerakkan tangan. Setelah beberapa hari sakitnya hilang dan tangannya dapat digunakan seperti biasa.
Keadaan tersebut direkam oleh dokter yang bersangkutan dan disiarkan melalui media sosial. Barulah masyarakat menjadi tenang serta program imunisasi HPV di sekolah di Jepang dapat diteruskan. Jadi, berita di media termasuk media sosial sekarang cepat sekali dapat memengaruhi pendapat umum.
Saya pernah mendengar sekarang ini perhimpunan profesi (Ikatan Dokter Anak) di luar negeri melengkapi diri dengan peralatan rekaman video. Organisasi profesi juga memantau berita kesehatan yang beredar di media massa dan media sosial. Jika dirasakan ada berita yang tidak benar dan kemungkinan berdampak luas, perhimpunan profesi segera membuat rekaman video memuat klarifikasi pakar atas berita tersebut. Respons diberikan cepat agar berita yang tak benar tersebut tak sempat beredar luas. Jika ada klarifikasi, biasanya orang tak mau menyebarkan berita yang dianggap tidak benar.
Sebenarnya pemerintah kita mendorong pengobatan herbal dan pengobatan tradisional. Pemerintah hanya membina dan mengawasi agar pengobatan itu digunakan sesuai dengan khasiatnya dan tak melebar ke indikasi yang belum dibuktikan, seperti pengobatan kanker dan AIDS. Seperti kita ketahui, hasil terapi kanker pada umumnya akan bagus jika kanker dalam stadium dini.
Terapi kanker pada stadium lanjut akan sulit, sering memerlukan kombinasi terapi bedah, kemoterapi, dan radioterapi yang harga pengobatannya mahal dengan keberhasilan terapi yang rendah.
Banyak penderita kanker takut pada pengobatan kedokteran sehingga memilih pengobatan tradisional dan pengobatan itu dilakukan dalam waktu lama sehingga kanker sudah sempat berkembang ke stadium lanjut. Terapi kanker pada stadium lanjut akan sulit, sering memerlukan kombinasi terapi bedah, kemoterapi, dan radioterapi yang harga pengobatannya mahal dengan keberhasilan terapi yang rendah.
Saya berharap lembaga terkait merespons usulan Anda agar memantau informasi kesehatan di masyarakat dan segera merespons jika ada informasi yang perlu diluruskan. Di lain pihak, masyarakat hendaknya tak mudah mempraktikkan informasi yang belum jelas kebenarannya agar terhindar dari pengaruh buruk terapi tersebut.
Semoga kepedulian Anda terhadap informasi kesehatan dapat terus ditingkatkan. Teman-teman yang akan mengunggah informasi kesehatan diimbau agar dapat mempertimbangkan dengan baik apakah informasi yang akan ditayangkan itu punya pengaruh baik atau buruk bagi masyarakat kita.