Tiga bulan dalam setahun, angin utara menghempaskan hidup nelayan ke titik paling rendah. Pompong mereka yang ringkih untuk sementara harus menepi agar tak remuk dihantam ombak tinggi.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
Tiga bulan dalam setahun, angin utara mengempaskan hidup nelayan ke titik paling rendah. Pompong mereka yang ringkih untuk sementara harus menepi agar tak remuk dihantam ombak tinggi. Namun, bukan orang Natuna namanya jika menyerah begitu saja. Mereka punya banyak cara menghadapi derita.
Mata hari tegak lurus dengan langit. Lukman (58) berjalan pelan membawa ember menuju kali kecil. Ia menciduk air keruh di kali itu banyak-banyak. Kemudian, dengan susah payah dan terbungkuk, ia menyirami tanaman nanas dan mangga yang baru seminggu ditanam di tanah berpasir dekat pantai. Tanamannya kecil dan kurus.
”Sudah sebulan lebih enggak ke laut. Sementara mengurus ladang ini saja,” katanya, Selasa (14/1/2020).
Lukman lahir dan besar di Desa Pengadah, Kecamatan Bunguran Timur Laut, Natuna. Pekerjaan utama sebagai nelayan sudah ia jalani sejak usia 16 tahun. Selama itu pula ia selalu memutar otak untuk menghidupi keluarganya ketika musim angin utara datang pada bulan November hingga Januari.
Saat musim angin utara, sebagian nelayan berhenti melaut karena ombak tingginya bisa lebih dari 6 meter. Kapal kayu (pompong) nelayan lokal yang biasanya berukuran kurang dari 5 grosston (GT) bisa terbalik diempas ombak jika mereka tetap nekat menantang laut.
Saat tidak melaut, Lukman bekerja jadi apa saja. Jadi buruh bangunan, pemanen cengkeh, dan penjual kopra merupakan sebagian pekerjaan yang pernah ia lakoni untuk mengais rupiah selama musim angin utara berlangsung. Pompong bisa berhenti berlayar, tetapi perut tak bisa dibiarkan merintih kosong.
”Harus pintar-pintar ngirit kalau lagi enggak bisa ke laut. Jangan ngerokok atau ngopi, nanti uang cepat habis,” ujarnya.
Harus pintar-pintar ngirit kalau lagi enggak bisa ke laut.
Usia yang terus bertambah membuat Lukman tak selincah dulu. Ia kini cepat lelah jika bekerja memanen cengkeh atau kelapa. Juga tak ada lagi yang meminta ia untuk jadi buruh bangunan karena fisiknya sudah menua. Harapannya kini hanya pada tanah tandus seluas 4 hektar yang ditanami nanas dan mangga.
Sebulan terakhir ia datang ke lahan itu untuk membersihkan semak-semak. Kadang istri dan seorang anaknya juga ikut membantu. Ia ingin menjual tanah itu kepada pengusaha yang berminat membangun resor agar mendapat uang cepat. Uangnya akan digunakan membeli pompong agar hasil melautnya bisa dinikmati secara penuh.
”Kalau ikut kapalnya orang seperti sekarang cuma dapat uang bagi hasil jual ikan saja. Sebulan paling banyak dapat Rp 3 juta,” ucapnya.
Rindu laut
Lain lagi dengan yang dilakoni Sukardi (39) saat musim angin utara. Ia mengumpulkan batok kelapa untuk dijadikan arang. Meskipun penghasilan dari pekerjaan itu termasuk lumayan, ia tetap rindu kembali melaut. Bagi nelayan di Natuna, daratan tetap hanya sekadar tempat singgah.
Kala tak melaut, Sukardi berkeliling dengan truk hijau miliknya untuk mengambil batok kelapa di rumah-rumah sepanjang pantai timur Natuna. Dalam seminggu ia bisa mengumpulkan 4 ton batok kelapa untuk dijadikan arang.
Ia membeli batok kelapa seharga Rp 1.000 lalu dijual lagi setelah selesai diolah jadi arang dengan harga tiga kali lipat. Peluang itu ia lihat sekitar 5 tahun lalu saat menyadari sangat banyak batok kelapa terbuang percuma setelah dagingnya diambil.
Batok kelapa akan melimpah di sepanjang garis pantai karena banyak nelayan beralih profesi menjadi penjual kopra. Penjualan hasil kebun jadi penyelamat ketika mereka tak bisa melaut selama musim angin utara melanda.
”Sebenarnya lebih enak jadi nelayan. Sekali melaut langsung dapat hasil yang lumayan,” katanya.
Sukardi nelayan kecil dengan kapal berukuran kurang dari 3 GT. Sehari-hari ia melaut di perairan yang jaraknya kurang dari 30 mil dari bibir pantai. Dua kali dalam seminggu ia bisa mendapat sekitar 50 kilogram cumi-cumi dan 20 ember berisi penuh dengan ikan teri.
”Dipotong modal untuk beli solar dan es, (pendapatan) bersih bisa sampai Rp 1,8 juta per minggu. Kalau laut lagi tenang saya lebih suka jadi nelayan,” ujarnya.
Musim angin utara kali ini, kata Sukardi, jauh lebih berat daripada tahun-tahun sebelumnya. Selain ombak yang tinggi, populasi ikan dirasakan juga menurun. Ia menduga itu dampak dari penangkapan ikan ilegal secara besar-besaran oleh kapal asing.
”Memang terasa betul. Nelayan kecil di pinggiran sekarang jadi lebih sulit dapat ikan,” ucapnya.
Seperti Lukman dan Sukardi, nelayan di Natuna sebenarnya selalu punya cara untuk bergulat dengan kesulitan hidup saat musim angin utara. Namun, khusus untuk masalah penangkapan ikan ilegal tak ada yang bisa mereka lakukan selain melarikan diri jika bertemu kapal asing.
”Mau bagaimana lagi? Sudah kapalnya besar-besar dan banyak, masih dikawal penjaga pantai pula,” kata Lukman.
Kapal-kapal asing itu mengeruk kekayaan laut tanpa ampun, anakan ikan dan terumbu karang juga ikut mati terseret pukat harimau. Bahkan, bubu yang biasa dipasang nelayan lokal untuk menangkap ikan karang dan gurita juga sering gepeng digilas serakahnya alat tangkap itu.
Bergulat dengan derita ketika musim angin utara datang memang sudah diterima nelayan di Natuna sebagai bagian dari hidup. Namun, sampai kapan pun, mereka tak akan pernah berhenti marah apalagi menerima nasib terusir dari laut sendiri oleh kapal-kapal asing yang serakah.