Muhamad Fahmi, Seniman "Custom Painting" dari Bandung yang Mendunia
Muhamad Syamsul Fahmi menjadi salah satu rujukan custom painting di Indonesia. Ia memang telah lama menekuni bidang ini dan karyanya yang berciri Indonesia disenangi penggemar kustom kulture di beberapa negara.
Oleh
cornelius helmy
·6 menit baca
Goresan tangan Muhamad Syamsul Fahmi (41) telah mendunia. Karya custom painting-nya disukai banyak pemuja kustom kulture. Namun, semua itu tak membuat dia puas. Ia ingin mengantar seniman generasi baru dari Bandung untuk masuk ke dunia kustom kulture.
Setelah dicelupkan ke dalam cat enamel, kuas khusus nomor 3 itu yang dipegang Fahmi mulai menari di atas helm bercorak api hitam. Satu per satu kata dirangkai dengan teknik lukis pinstriping dan lettering, memunculkan kalimat pesanan pemilik helm. "God Forgive, Brotherhood Doesn\'t. Cadas, menggambarkan karakter pemilik helm ini," kata Fahmi, Rabu (8/1/2020), di Bandung.
Prinstriping dan lettering diyakini hidup sejak ratusan tahun lalu. Jejak jalinan garis dan tulisan indah itu ada di kereta perang Romawi hingga kereta kencana kerajaan di Indonesia. Setelah Perang Dunia II, teknik ini kembali populer seiring terjadinya gelombang kustom kulture di AS, yakni tren modifikasi kendaraan bermotor yang bersenyawa dengan seni dan mode (fashion).
Terjemahannya bisa dalam bentuk kendaraan bermotor yang beda, ornamen beda, mode pakaian dan rambut khas, hingga pilihan musik yang berbeda. Intinya semua itu adalah representasi kebebasan dan kepribadian pengusung kustom kulture.
Di Indonesia, Fahmi telah lama menjadi bagian dari kustom kulture. Ia kini dianggap sebagai custom painter rujukan Indonesia. Karyanya digunakan pengusung kustom kulture di dalam dan luar negeri. "Seiring kemajuan teknologi, perkembangan custom painting Indonesia sangat pesat. (Seni) ini tidak hanya tumbuh lewat modifikasi sepeda motor atau mobil, tetapi juga lewat desain mural rumah hingga rumah makan," katanya.
Saat Fahmi mulai memopulerkan karyanya pada awal 2000-an, custom painting belum seramai sekarang. Karyanya yang warna-warni berani dan berkilauan belum disukai. Beberapa kali ia mempromosikan karya ke bengkel modifikasi, tapi sering ditolak.
"Dulu promosinya lewat motor sendiri yang tangkinya sudah saya gambar. Meski sudah ada hasilnya, tetap saja ditolak," kata Fahmi yang pernah empat tahun bekerja sebagai pembuat helm untuk balap mobil.
Jalan cerah ia temui pada ajang motor bergengsi Nusantara pada 2003. Saat itu, ia datang melihat kontes modifikasi sepeda motor. "Setelah saya perhatikan kualitas cat dan gambar di motor juara pertama biasa saja. Saya yakin bisa buat lebih baik," katanya.
Ia lantas menemui pemilik motor yang jadi juara. Ia menawarkan konsep desainnya. Kali ini, pemilik motor tertarik. Syaratnya, Fahmi harus membuat pinstriping, sama seperti motor di majalah modifikasi luar negeri yang tengah dipegang calon kliennya itu.
Fahmi menyanggupi, padahal saat itu dia tidak punya kuas dan cat khusus. Dia mengerjakan proyek itu di rumah, di kamar berukuran 2 x 3 meter. Hasilnya, ia mampu membuat karya yang langsung jadi buah bibir tidak hanya di Bandung, tetapi juga daerah lain. Dari situ, orang mulai berminat menggunakan karyanya.
Yokohama
Pada 2003, Fahmi mendirikan Freeflow, studio sekaligus bengkel custom painting, di Bandung. Bengkel itu terus berkembang hingga sekarang. Tahun lalu, Freeflow mengerjakan puluhan pesanan dari Malaysia dan Singapura. "Rata-rata pengerjaan 2-3 bulan. Biayanya berkisar Rp 500.000-Rp 30 juta per karya," kata Fahmi yang dibantu lima rekannya.
Karya-karya Fahmi akhirnya membawa dia ke ajang Yokohama Hot Rod Custom Show 2015. Ini adalah salah satu ajang otomotif bergengsi di dunia. Ia memamerkan papan skateboard dengan goresan custom painting yang memadukan tiga motif berbeda, barong bali Indonesia, topeng kabuki Jepang, dan ikon naga. Karya itu membuat ia dinobatkan sebagai yang terbaik oleh Steve Caballero, skater sekaligus pemodifikasi tenar dari AS.
Empat tahun kemudian, di ajang serupa, ia kembali membuat gebrakan. Bersama Queen Lekha Choppers, Fahmi membuat 10 desain Nusantara, antara lain motif batik, di bodi motor besar. Untuk menggambar motif batik, ia benar-benar menggunakan canting.
Hasilnya, motor yang diberi nama Garuda itu mendapat apresiasi pemodifikasi dan pembuat motor custom dunia. Karya itu disebut sebagai custom painting khas Indonesia. "Jelas bangga disebut Indonesian style meski setelahnya saya langsung ke dokter. Sampai sekarang pundak masih sakit karena banyak lembur mengerjakan motif-motif itu," katanya sembari tertawa.
Tahun ini, giliran AS, tempat kustom kulture berkembang, yang memanggilnya. Awal Februari ini, ia diundang menjadi peserta dalam ajang Cycle Showcase Saint Louis 2020. Namun, karena waktu antara datangnya undangan dan pelaksanaan sangat mepet, ia hanya akan mengirimkan karya di atas helmnya ke sana.
September 2020, ia juga diundang ke ajang Brushmaster Getaway 2020 di Paonia, Colorado. Besar kemungkinan dia akan hadir. Jika jadi, dia bakal jadi orang kedua di luar AS yang jadi pembicara di ajang itu. Tahun lalu ada pembicara asal Jepang yang berbagi ilmu di sana.
"Mereka sepertinya ingin tahu banyak tentang Indonesian style. Ini jadi kesempatan besar bicara di negara asal kostum kulture," ujarnya.
Akan tetapi, tidak hanya bakal tampil di negara tempat kustom kulture tumbuh yang membuatnya dag-dig-dug. Ada acara Dip’n Drag yang rencananya bakal digelar untuk kedua kali awal Maret tahun ini di Bandung. Sebagai salah satu pionir, dia merasa harus bertanggung jawab mendampingi rekan-rekan usia muda meniti karier.
Jumlah seniman custom painting, kata Fahmi, berlimpah dan punya kualitas karya yang luar biasa. Namun, mereka masih menyimpan kelemahan, seperti belum mampu menjual karya dan membangun citra diri yang lebih baik. “Tahun lalu ada 17 seniman yang hadir. Kami berdiskusi banyak hal, mulai gaya berpakaian saat bertemu pelanggan hingga bagaimana menghargai karya sendiri. Ada juga kolaborasi karya dalam satu media. Tidak ada jarak antara senior dan yunior. Semua setara dalam karya," katanya.
Tidak hanya itu, Fahmi juga mulai getol memperkenalkan secara gratis di dunia kustom kulture di sekolah-sekolah formal. Ia menjadi guru tamu di depan anak-anak SMP Taruna Bakti, Bandung, meski hanya sehari. Tahun ini, dia masih menunggu persetujuan dari SMPN 9 Bandung untuk melakukan hal serupa. Fahmi almamater sekolah itu.
Setyo Budiono (31) merasakan langsung kebaikan itu. Fahmi adalah mentornya di custom painting sejak 10 tahun lalu. Dari awalnya hanya bisa menggambar, Tyo kini memiliki studio custom painting sendiri, Lokalhiro, yang berdiri akhir 2017.
“Kang Fahmi tidak pernah pelit ilmu asalkan kami mau belajar. Banyak teknik dia berikan. Dia justru mendorong kami untuk mandiri,” kata Tyo yang kini bisa mendapat lebih dari 20 pekerjaan dalam setahun.
Jelang siang, matahari bersinar semakin garang. Namun, lampu duduk di atas meja gambarnya masih terang benderang. Ditemani foto ibunya, Weti Sofwati (72), yang tengah membuat kue kering, Fahmi masih tekun mengerjakan desain di helm milik sahabatnya itu. Untuk Fahmi, Weti adalah inspirasi.
Fahmi setuju bila tangan yang telaten bisa jadi warisan ibunya. Namun, dia mengatakan, bukan bakat saja yang diturunkan. Kebiasaan ibunya mengajarkan cara membuat hingga membagikan kue yang sudah jadi sedikit banyak memberi Fahmi semangat.