Transjakarta yang Mencuri Perhatian Warga
Setelah 16 tahun melayani, jejaring bus transjakarta kian meluas. Transjakarta sudah merebut perhatian warga Jakarta dengan jangkauan dan tarif yang terjangkau.
Setelah 16 tahun melayani, jejaring bus Transjakarta kian meluas. Transjakarta sudah merebut perhatian warga Jakarta dengan jangkauan dan tarif yang terjangkau. Meskipun demikian, tuntutan akan pelayanan yang lebih baik terus ada, baik terkait waktu tempuh, halte yang nyaman, maupun kemungkinan integrasi pembayaran.
Dalam jajak pendapat Kompas, 2-3 November 2019, 32,6 persen dari 531 responden menjadikan Transjakarta sebagai moda angkutan umum andalan di Jakarta.
Di posisi berikutnya, 23 persen responden mengandalkan ojek daring atau taksi daring, 19,4 persen menyebutkan KRL komuter, dan 6,4 persen memilih bus sedang, seperti Metromini, Kopaja, Kopami Jaya, Koantas Bima, dan Deborah.
Masih dari survei yang dimuat di Kompas, 22 Desember 2019 itu, sebagian besar responden menyebutkan tarif murah sebagai kecenderungan memilih moda transportasi umum itu. Hal itu disampaikan oleh 38,7 persen pengguna Transjakarta, 32 persen penumpang KRL, dan 50 persen pemakai bus sedang non-Transjakarta.
Di pertengahan tahun 2019, dari survei Kompas pada 24-25 Juni yang dimuat di harian Kompas 7 Juli, tecermin bahwa 29,8 persen dari 516 responden merasakan bahwa kemacetan di Jakarta berkurang. Hal itu muncul karena 44,6 persen responden merasakan semakin mudah mengakses angkutan umum.
Baca juga : Transjakarta dan Tantangan Integrasi
Baca juga : Transjakarta Memasuki Usia 16 tahun
Pengalaman dari para responden dalam survei yang dilaksanakan Litbang Kompas itu sedikit banyak menunjukkan bahwa pembenahan angkutan umum di Jakarta sudah berjalan di jalur yang benar.
Lebih spesifik lagi, layanan bus Transjakarta juga mulai dirasakan manfaatnya oleh banyak penumpang dan warga Jakarta. Apalagi, dalam kurun 16 tahun berkiprah, Transjakarta tidak hanya melayani 13 koridor dengan jalur khusus, tetapi total 247 rute.
Sebagian besar rute berada di wilayah DKI Jakarta, dan sebagian kecil menyentuh daerah yang berbatasan dengan Ibu Kota. PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) selaku operator bus Transjakarta mengklaim, jangkauan layanan mencapai 83 persen dari luas wilayah Jakarta per 31 Desember 2019.
Sebagian besar responden menyebutkan tarif murah sebagai kecenderungan memilih moda transportasi umum itu. Hal itu disampaikan oleh 38,7 persen pengguna Transjakarta, 32 persen penumpang KRL, dan 50 persen pemakai bus sedang non-Transjakarta.
Dengan keluasan cakupan layanan ini, tidak heran Transjakarta menjadi andalan warga Jakarta, pekerja komuter, siswa sekolah, sampai wisatawan yang hendak menjelajah Jakarta.
Apalagi, dengan tarif tunggal Rp 3.500, penumpang Transjakarta bebas melanjutkan perjalanan sampai tujuan. Di beberapa layanan, Transjakarta masih mengoperasikan bus gratis. Akan tetapi, di beberapa titik transit nonhalte khusus, penumpang harus membayar lagi jika ingin berganti bus.
Bagi Santi (49), penumpang Transjakarta yang ditemui di Terminal Blok M, Jakarta Selatan, layanan Transjakarta secara umum sudah bagus. Kondisi bus bersih, nyaman, dilengkapi penyejuk ruangan (AC), dan penumpang merasa aman.
Baca juga : Jakarta Bangun Sistem Transportasi Berkelanjutan yang Semakin Diminati Publik
Waktu keberangkatan bus juga kurang lebih sesuai dengan waktu yang diperkirakan dalam aplikasi Trafi. Hanya saja, bus terkadang tiba beberapa menit sebelum atau setelah waktu yang diprediksikan.
Penumpang pun harus mengantisipasi dan berangkat ke tujuan sekitar 30 menit hingga satu jam lebih awal dibandingkan naik ojek daring ataupun taksi.
”Jadwal bus memang tidak bisa dipastikan, tetapi paling tidak bus pasti lewat setiap 10-15 menit. Yang kurang bagus mungkin haltenya. Tidak semua halte dilengkapi dengan selter dan tempat duduk. Kalau hujan, penumpang pasti kehujanan saat menunggu bus,” tutur Santi.
Penumpang lain, Aldo (29), berharap kebijakan pembatasan kendaraan pribadi di dalam kota, seperti ganjil genap, bisa diperluas sehingga kepadatan lalu lintas berkurang dan perjalanan bus lebih lancar. ”Sulit bagi bus untuk berangkat tepat waktu karena kemacetan Jakarta,” ucapnya.
Konsep integrasi
Tahun ini, Jakarta meraih penghargaan Honorable Mention atas kebijakan mengintegrasikan bus Transjakarta dengan berbagai moda transportasi umum, seperti angkutan kota JakLingko, KRL, MRT, dan LRT. Penghargaan itu disampaikan dalam ajang tahunan Sustainable Transportation Award Ke-16 di Washington DC, Amerika Serikat, Selasa (14/1).
Upaya mengintegrasikan berbagai moda tersebut diakui berhasil meningkatkan penumpang bus Transjakarta hingga hampir 1 juta orang per hari.
Berkat pencapaian itu, Jakarta berhasil mengungguli 13 kota negara lain yang diunggulkan, termasuk Richmond (AS), Kingston (Kanada), dan Pasig (Filipina).
Walaupun Transjakarta mulai meraih sejumlah penghargaan dan mencuri perhatian warga Jakarta, tantangan moda angkutan ini masih besar. Apalagi, dalam kaitan mencapai target pengguna transportasi massal (moda share) 30 persen pada 2022 dan 60 persen di tahun 2030. Saat ini, perjalanan di Jakarta menggunakan transportasi massal baru sekitar 24 persen.
Alvinsyah, pengamat transportasi dari Universitas Indonesia, dalam keterangan tertulis, Selasa (14/1/2020), menjelaskan, secara ide dan konsep, JakLingko itu bagus. Intinya publik dipermudah untuk menggunakan angkutan umum dengan sistem transaksi terpadu dan dibuat murah.
Sejauh ini sistem JakLingko mengintegrasikan bus besar dan sedang yang dioperatori Transjakarta dengan angkutan kota seperti mikrolet dan KWK. Selain meluaskan jaringan Transjakarta, sistem ini juga memudahkan pengguna berpindah moda.
Menurut Alvin, konsep ini harus didukung secara penuh. Konsekuensinya, cakupan layanan angkutan umum, jumlah armada ditambah, dan penumpang akan bertambah.
Direktur Utama PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) Agung Wicaksono, Selasa (14/1), mengatakan, selama 2019, Transjakarta mencapai rekor penumpang tertinggi pada 16 Desember, yakni 998.658 penumpang. Rata-rata 800.000 penumpang memakai Transjakarta dalam satu hari.
Sepanjang 2019 tercatat 263 juta penumpang memakai Transjakarta, naik 40 persen dari tahun 2018.
Baca juga : JakLingko Bisa Perluas Layanan Angkutan Umum
Sebagian di antaranya ditopang armada mikrotrans atau angkutan kota yang sudah bergabung dengan sistem JakLingko dari Transjakarta. ”Jumlah penumpang mikrotrans selama Desember berkisar 155.000-199.000 orang per hari,” katanya.
Jumlah armada Transjakarta saat ini 3.888 unit. Sebagian besar, yaitu 1.636 unit, merupakan angkutan kota yang telah bergabung dengan JakLingko.
Syafrin Liputo, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, mengatakan, kapasitas terpasang Transjakarta adalah 2 juta penumpang per hari.
”Artinya, target penumpang masih bisa ditingkatkan,” katanya.
Syafrin mengatakan, melalui JakLingko, semua moda, baik yang berbasis jalan maupun rel, diintegrasikan. Hal itu akan membuat pergerakan penumpang untuk berpindah dari moda satu ke moda lainnya lebih mudah.
Terkait keluasan cakupan, Transjakarta memiliki banyak peluang yang bisa dikembangkan di masa mendatang. Salah satunya dengan menggandeng operator bus yang selama ini belum bergabung dengan Transjakarta.
Melalui JakLingko, semua moda, baik yang berbasis jalan maupun rel, diintegrasikan. Hal itu akan membuat pergerakan penumpang untuk berpindah dari moda satu ke moda lainnya lebih mudah.
Memang, langkah ini tidak sepenuhnya mudah karena ada sejumlah persyaratan yang mesti dipenuhi calon mitra, seperti armada yang berusia di bawah 5 tahun.
Metode pembayaran
Yang juga tengah disiapkan, lanjut Syafrin, adalah metode pembayaran. Nantinya akan ada tarif gabungan beberapa moda (bundling). Saat ini, yang masih disiapkan adalah tarif bundling untuk moda berbasis jalan.
Dengan tarif ini, ketika seorang penumpang naik bus kecil, lalu berganti bus sedang atau bus besar dalam periode waktu yang ditetapkan, bisa membayar dengan tarif bundling. Hal itu akan lebih hemat dan menarik bagi pengguna.
Sejauh ini, terkait cara pembayaran, penumpang bus Transjakarta relatif dimudahkan dengan berbagai pilihan kartu uang bank yang bisa dipakai bertransaksi membayar tiket bus. Hampir semua kartu yang diterbitkan perbankan bisa dipakai di halte Transjakarta.
Penumpang bus nonkoridor memilih alternatif membayar tunai dan mendapatkan karcis bukti pembayaran sebagai tiket bus.
Untuk mendukung keterjangkauan tarif angkutan umum hari ini, baik yang berbasis jalan maupun rel, Pemprov DKI menganggarkan subsidi penumpang (public service obligation/PSO).
Apabila dengan konsep JakLingko jangkauannya semakin luas, besaran PSO yang dianggarkan akan berubah seiring dinamika jumlah pelanggan.
Terkait dengan besaran PSO itu, lanjut Alvinsyah, sebenarnya tinggal dihitung secara cermat dan dengan data yang sahih berbasiskan keseimbangan permintaan dan penawaran.
Pertama, dihitung dulu tarif komersial atau tarif yang tidak memerlukan PSO. Setelah itu dikaji kerelaan/kemauan bayar pengguna untuk layanan yang ditawarkan. Dari perbandingan tarif komersial dengan kemauan bayar, pemerintah menetapkan tarif untuk publik dan selisihnya menjadi besaran PSO.
Jika proses ini dilakukan, menurut Alvin, seharusnya tidak ada pernyataan mengenai PSO yang terlalu besar. Itu karena semuanya berbasis analisis yang terukur.
PSO transportasi yang diusulkan dalam KUA-PPAS DKI 2020 sebesar Rp 5,662 triliun. Angka itu diturunkan menjadi Rp 4,55 triliun dalam pembahasan KUA-PPAS.
Akibatnya, PSO untuk pengguna bus Transjakarta turun dari Rp 4,197 triliun menjadi Rp 3,291 triliun. Alokasi PSO untuk penumpang MRT Jakarta dari usulan Rp 938,5 miliar menjadi Rp 825 miliar. PSO penumpang LRT dikurangi dari Rp 527,5 miliar menjadi Rp 439,6 miliar.
Syafrin, seperti dikutip di Kompas, 3 Desember 2019, mengatakan, PSO dihitung untuk kebutuhan subsidi selama 10 bulan. Sisanya akan diperjuangkan kembali dalam pembahasan APBD Perubahan 2020. Syafrin memastikan, tidak ada perubahan tarif angkutan yang dibayarkan masyarakat.
Hingga APBD DKI 2020 disahkan, angka PSO itu tidak berubah.
PSO untuk pengguna bus Transjakarta turun dari Rp 4,197 triliun menjadi Rp 3,291 triliun. Alokasi PSO untuk penumpang MRT Jakarta dari usulan Rp 938,5 miliar menjadi Rp 825 miliar. PSO penumpang LRT dikurangi dari Rp 527,5 miliar menjadi Rp 439,6 miliar.
Persoalan keterjangkauan tarif ini menjadi salah satu tantangan di tahun ini bagi moda angkutan umum. Demi menambah daya tarik, penerapan tarif mesti tepat.
Apalagi, bagi sebagian besar penumpang angkutan umum, persoalan tarif ini masih sensitif, seperti tecermin dalam survei Litbang Kompas di awal tulisan ini.