Lagu berbahasa cirebonan dengan musik tarling—gitar suling—itu berbalut jazz. Penonton pun bergoyang. Adaptasi itu terus berjalan di tengah zaman yang terus bergerak cepat.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
”Kecewa”, lagu yang dipopulerkan artis pantura, Dian Anic (31), disuguhkan dalam pentas Pantura Jazz Festival di Goa Sunyaragi, Kota Cirebon, Jawa Barat. Lagu berbahasa cirebonan dengan musik tarling—gitar suling—itu berbalut jazz. Penonton pun bergoyang. Adaptasi itu terus berjalan di tengah zaman yang terus bergerak cepat.
Mengenakan gaun atasan hijau, Dian tampil dengan latar tumpukan batu cadas goa berumur ratusan tahun. Pantulan lampu biru, pink, ungu, dan merah menyinari bebatuan tersebut, Sabtu (21/12/2019) malam. Tempat duduk amfiteater berkapasitas 1.000 orang penuh. Bahkan, sejumlah remaja duduk bersila meskipun lantai basah dijatuhi hujan.
Dian diiringi Meteor Big Band yang kerap membawakan musik jazz. Tabuhan gendang khas dangdut pun berganti ketukan drum yang berayun mengikuti tempo irama lagu. Tiupan suling juga berubah menjadi saksofon. Rasa dangdutnya sudah dilucuti.
Dian bahkan ber-scat singing yang lazim dilakukan seniman jazz dalam berimprovisasi vokal dengan lantunan ”wa...aaaaaa…”. Ia juga melakukan call and response—panggil dan sahut dalam tradisi panggung jazz. Caranya, Dian memberi pancingan fras, lalu pemain saksofon dan bas membalasnya dengan memainkan musiknya.
Penampilan Dian kali ini tidak seperti biasanya. Tidak ada lagi penonton yang naik ke panggung untuk berjoget sekaligus menyawer. Gantinya, sepasang penari latar. Panggilan ”bos” yang akrab ditujukan untuk penyawer pun sama sekali tak terdengar.
”Dulu, image musik tarling hanya disukai orang tua. Sekarang, remaja banyak sekali. Apalagi, dijadikan jazz. Saya bangga jadi orang Cirebon, tetapi jangan naik joget ke sini, ya,” ujar Dian, anak keluarga nelayan di pesisir Gebang.
Dian yang terjun ke dunia tarling dangdut (tardut) sejak 2006 mengaku merasakan perbedaan mencolok saat lagunya dibawakan dalam irama jazz.
”Ini tantangan. Kami latihan berulang-ulang dalam sehari. Saya harus banyak belajar,” kata Dian yang telah menelurkan 11 album tarling dangdut.
Di bawah atap langit gelap dan bintang gemintang, perempuan berambut panjang ini melantunkan lagu ”Kecewa”, ”Janji Purnama”, ”Pengen Disayang”, dan ”Warung Pojok” yang dipopulerkan legenda tarling, Uun Kurniasih. Semuanya dibawakan dalam genre jazz.
Meski demikian, ciri khas tardut, seperti suara cengkok dan bahasa cirebonan, masih bergema. Begitu pula dengan lantunan gamelan. Dian juga masih sempat melempar humor, khas tarling, dengan mengubah suaranya menjadi cempreng saat minta minum kepada panitia. Penonton pun tertawa.
Selain Dian, artis pantura lainnya, Novi KD dan Larisa, turut menghibur penonton dengan balutan jazz. Lagu ”Tetep Demen”, yang biasanya dibawakan dalam tempo cepat, kali ini melambat dengan sentuhan saksofon. Lagu ”Juragan Empang” pun didominasi dengan bas dan snare drum.
”Siapa bilang pantura enggak bisa nge- jazz?” kata Larisa disambut sorakan penonton.
Jazz pantura
Ada pula band Lair asal Jatiwangi, Majalengka, yang tampil dengan sejumlah alat musik berbahan genteng. Jatiwangi merupakan sentra genteng. Lair beraksi mengenakan pakaian perajin genteng dan membawakan sintren, seni pertunjukan pantura, dalam bentuk jazz.
Kali ini sang penari tidak pingsan saat dilempari uang. Dalam pertunjukan sintren yang kaya akan magis, penari biasanya tak sadarkan diri ketika terkena duit, seperti manusia yang kerap lupa diri kala bergelimang harta.
Mendengar lagu pantura nge-jazz, Wakil Wali Kota Cirebon Eti Herawati pun tak kuasa menggerakkan kepalanya dan sesekali bertepuk tangan.
”Ini pertama kalinya musik tarling dipadukan dengan jazz. Mudah-mudahan, Pantura Jazz Festival rutin digelar dan berkolaborasi dengan musisi jazz Tanah Air. Ini upaya kami menarik wisatawan ke Cirebon,” ucapnya.
Beberapa tahun terakhir, festival yang mengambil nama jazz memang naik daun. Sebut saja Ngayogjazz di lingkungan perdesaan Yogyakarta, Mahakam Jazz Fiesta di tepi Sungai Mahakam, Ijen Summer Jazz dan Jazz Gunung di pegunungan Jawa Timur, hingga Ubud Village Jazz Festival di Bali. Kini, giliran pantura dirajut dengan jazz.
Akan tetapi, bagi Maulana Malik Ibrahim (27), penggemar Dian Anic, kurang sepakat jika lagu tardut dijadikan jazz. Otong, sapaan akrab Malik, baru kali pertama mendengar lagu tardut berpadu jazz.
Meski demikian, dia tetap bergoyang dengan membawa spanduk dengan foto Dian bertuliskan ”Dianisme, Generasi Milenial, Bos Sambel Gledek dari Plered-Setu Wetan”.
Dianisme merupakan sebutan untuk penggemar Dian. Adapun bos sambel merujuk pada pengusaha sambel di Plered.
”Goyang maning (lagi),” ucap Otong sambil menggerakkan jempolnya. Walaupun tidak sepakat lagu superstarnya dijadikan jazz, Otong tidak menghina Dian dan acara tersebut.
Seperti biasa, juru parkir itu juga memberikan empat bungkus kerupuk melarat khas Plered seharga Rp 20.000, diambil dari penghasilan hariannya, Rp 70.000, bagi idolanya. Musik memang bukan soal suka atau tidak suka, melainkan hati yang bicara.
Adaptasi
Penulis buku Tarling Dangdut: Migrasi Bunyi dari Gamelan ke Gitar-Suling yang diterbitkan Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Indramayu (2007), Supali Kasim, menilai tarling terus berubah mengikuti perkembangan zaman.
Tahun 1931, seorang komisaris Belanda datang ke rumah ahli gamelan Pak Talam di Kepandean, Indramayu, untuk memperbaiki gitar.
Sugra, anak Pak Talam, lalu mencoba memainkan nada pentatonik gamelan dengan gitar. Kemudian, mengalirlah tembang-tembang cirebonan dan dermayonan dengan iringan petikan gitar dan suling (tarling). Sebelumnya, tembang itu hanya diiringi gamelan.
Pada 1980-an, tarling mulai dipengaruhi dangdut dan hingga kini dikenal tarling dangdut. Ketika tardut dipadupadankan dengan jazz, pendengarnya pun tetap goyang.
”Kesenian ini majikannya adalah masyarakat. Apa yang disukai masyarakat, kesenian mengikuti,” ucap Supali.
Menjelang hari berganti, Pantura Jazz Festival pun berakhir. Goa Sunyaragi
yang dibangun tahun 1703 oleh Pangeran Aria Cerbon dengan melibatkan ahli bangunan etnis Tionghoa itu kembali sunyi seperti arti kata ”sunya”. Goa itu memang didesain sebagai tempat menyepikan raga untuk bertapa.
Pantura Jazz seakan menyelipkan renungan, pada era disrupsi ini, siapa pun harus beradaptasi, seperti tarling yang tetap menari di telinga pendengar. Kuncinya, berkolaborasi dengan dangdut, bahkan jazz. Teringat ungkapan kuno: siapa yang tidak bisa beradaptasi, akan punah ditelan zaman.