Nusa Tenggara Timur hanya memiliki 29 warisan budaya tak benda yang bersertifikat nasional sejak 2013 hingga 2019. NTT perlu kerja keras melakukan survei dan penelitian atas potensi warisan itu.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Nusa Tenggara Timur hanya memiliki 29 warisan budaya tak benda yang bersertifikat nasional sejak 2013 hingga 2019. NTT perlu kerja keras melakukan survei dan penelitian atas potensi warisan itu.
Kepala Seksi Sejarah dan Nilai Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Purwaning Setiyo Hastuti di Kupang, Minggu (19/1/2020), mengatakan, potensi warisan budaya tak benda (WBTB) di NTT sangat besar, tetapi masyarakat belum paham. WBTB di NTT didominasi adat istiadat, rumah adat, ritus-ritus, dan perayaan.
”Sejak 2013 hingga 2019 hanya 29 WBTB yang mendapat sertifikat nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jumlah ini masih terlalu sedikit karena NTT memiliki potensi WBTB sangat besar. Pemkab/pemkot perlu kerja keras melakukan penelitian mengenai suatu adat istiadat, kesenian, ritus, tarian, alat musik, kerajinan, dan kuliner di masyarakat,” kata Hastuti.
Pemkab/pemkot perlu kerja keras melakukan penelitian mengenai suatu adat istiadat, kesenian, ritus, tarian, alat musik, kerajinan, dan kuliner di masyarakat.
Sebanyak 29 WBTB NTT itu, antara lain, jagung bose, motif tenun ikat Sikka, alat musik sasando, kuliner se’I, mokko Alor, kampung adat Bena, semana santa di Larantuka, tarian ja’I Bajawa, jagung titi Flores Timur, serta motif tenun ikat Rote Ndao, Sumba, Ende, dan Flores Timur. Sekitar 200 WBTB masih dalam penyelidikan, terutama mengenai asal-usul, sejarah, luas jangkauan pengguna, dan hubungan dengan penduduk setempat.
Setelah diteliti, WTWB itu diajukan ke Kemendikbud. Pengujian WBTB butuh waktu lebih kurang dua tahun, kemudian diputuskan layak menjadi WBTB atau tidak. Jika layak akan dikeluarkan sertifikat warisan budaya tak benda tersebut.
Ia mengatakan, WBTB menyangkut tradisi dan ekspresi lisan, adat istidat masyarakat, ritus-ritus, perayaan, pengetahuan, dan kebiasaan publik, seni pertunjukan, kemahiran, kerajinan trandisional, dan hubungan dengan alam semesta. WBTB menyangkut penghayatan hidup seseorang dalam masyarakat terkait lingkungan dan masa lalu hidup mereka.
Penetapan sertifikat WBTB tidak hanya menyangkut kuantitas, tetapi juga kualitas, kemudian sesuatu yang dijalankan, digunakan, atau dipraktikan masyarakat itu harus berusia 50 tahun atau telah diwariskan selama dua generasi.
Dengan adanya pencatatan dan penetapan, kerja budaya yang dianut dan dimiliki komunitas, budayawan, dan masyarakat akan tetap lestari dan dikembangkan. Kerja budaya itu menjadi milik NTT dan hak patennya NTT.
”Selalu ada perayaan karya WBTB melalui festival tertentu, seperti tenun ikat, kuliner se’I, sasando, tenun ikat, tarian-tarian daerah, perayaan semana santa di Larantuka, dan festival rumah adat. Ini bagian dari pelestarian dan menjaga warisan itu agar tetap dilanjutkan dari generasi ke generasi. Semua ini memiliki kaitan dengan pariwisata sekaligus berdampak bagi kesejahteraan masyarakat,” kata Hastuti.
Budayawan NTT, Pastor Gregorius Neonbasu SVD, mengatakan, banyak WBTB di NTT terancam punah, bahkan sudah punah, seperti cerita rakyat, permainan tradisional, dan lagu-lagu (daerah) rakyat. Sebaiknya, di zaman teknologi komputer ini, permainan-permainan tradisional, cerita rakyat, dan WBTB lain yang terancam punah atau telah punah itu digali dan dihidupkan kembali.
Makin banyak WBTB di kalangan masyarakat diharapkan bisa mendukung sektor pariwisata. WBTB ini merangkai, menghiasi, dan mempercantik setiap kegiatan wisata di suatu daerah.
”Wisatawan membeludak di Yogyakarta bukan karena keindahan alam, melainkan Yogyakarta kaya akan WBTB. Para seniman lokal, termasuk masyarakat Yogyakarta, memiliki tradisi dan adat istiadat yang kuat. Mereka juga terus berinovasi dan terus berkreasi menampilkan sesuatu yang unik dan terbaru sehingga menjadi daya tarik tersendiri,” kata Gregorius.