Nelayan Pantura Mempersiapkan Diri Melaut ke Natuna
Sebanyak 177 kapal dari Kota Tegal, Jawa Tengah, didaftarkan pemiliknya untuk mengikuti tes identifikasi sebagai syarat melaut di perairan Natuna, Kepulauan Riau.
Oleh
KRISTI UTAMI /PANDU WIYOGA
·4 menit baca
TEGAL, KOMPAS — Sebanyak 177 kapal dari Kota Tegal, Jawa Tengah, didaftarkan pemiliknya untuk mengikuti tes identifikasi yang digelar Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jika dinyatakan layak, kapal-kapal tersebut akan diizinkan untuk ikut melaut di perairan Natuna, Kepulauan Riau.
Beberapa hari lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengundang perwakilan nelayan dari pantai utara (pantura) Jateng berdiskusi terkait rencana mobilisasi nelayan pantura ke Natuna. Berdasarkan hasil diskusi tersebut, pemerintah memutuskan memobilisasi sekitar 50 kapal berukuran di atas 100 gros ton (GT). Alokasi itu untuk nelayan Kabupaten Pati, Kabupaten Rembang, dan Kota Tegal.
Kemungkinan pemerintah akan turun ke daerah-daerah untuk mengidentifikasi kapal mulai pekan depan.
Sebelum berangkat ke Natuna, semua kapal wajib mengikuti tes identifikasi yang diselenggarakan KKP. Tes identifikasi tersebut meliputi tes fisik dan kelengkapan perizinan kapal.
”Kemungkinan pemerintah akan turun ke daerah-daerah untuk mengidentifikasi kapal mulai pekan depan. Adapun untuk waktu keberangkatan ke Natuna masih akan didiskusikan lagi,” kata Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Riswanto di Kota Tegal, Minggu (19/1/2020).
Pengurus HNSI dan Paguyuban Nelayan Kota Tegal (PNKT) mengundang para pemilik kapal di atas 100 GT mengikuti sosialisasi terkait persiapan mobilisasi nelayan pantura ke Natuna, Sabtu (18/1/2020). Dalam kegiatan tersebut, 177 kapal didaftarkan oleh pemiliknya untuk ikut dalam tes identifikasi.
Wasto (51), pemilik kapal asal Kelurahan Muarareja, Kecamatan Tegal Barat, mengatakan, dirinya memiliki lima kapal berukuran di atas 100 GT. Wasto mendaftarkan semua kapalnya agar setidaknya salah satu kapalnya bisa lolos tes.
Saya ingin memastikan kapal-kapal saya layak diberangkatkan ke Natuna.
Saat ini, semua kapal milik Wasto masih melaut. Kapal-kapal tersebut dijadwalkan kembali ke Kota Tegal pada pertengahan Februari. Namun, Wasto sudah menghubungi para nakhoda supaya kapalnya bisa pulang ke Kota Tegal lebih cepat, yakni pada awal Februari.
”Setelah kapal tiba, saya akan mengecek kondisi fisik kapal, alat navigasi kapal, alat tangkap, dan perlengkapan penunjang lain. Saya ingin memastikan kapal-kapal saya layak diberangkatkan ke Natuna,” ujar Wasto.
Sebagian nelayan pantura tertarik ikut melaut di Natuna karena sumber daya lautnya melimpah. Menurut Wasto, selama ini, sejumlah wilayah tangkapan sumber daya lautnya belum dieksplorasi, termasuk Natuna. Wasto menilai, nelayan-nelayan pantura memiliki kapasitas untuk melakukan hal tersebut.
Wasto mengaku belum mendapat informasi terkait alat tangkap apa saja yang diizinkan pemerintah untuk digunakan saat melaut di Natuna. Begitu pula soal daerah tangkapannya.
”Kemungkinan kapal saya akan pakai alat tangkap cantrang atau purse sein. Kalau untuk daerah tangkapan, idealnya di atas 12 mil laut (22 kilometer) supaya tidak bentrok dengan daerah tangkapan nelayan lokal,” ujar Wasto.
Sementara itu, di Kepulauan Riau, Inisiator Aliansi Nelayan Natuna Hendri menyatakan, nelayan setempat belum dilibatkan dalam diskusi terkait rencana mobilisasi nelayan dari pantura Jawa. Nelayan setempat mendesak pemerintah membatasi daerah tangkap di perairan yang berjarak di atas 100 mil (185 km) dari garis pantai agar tidak timbul konflik baru.
”Jika mereka (nelayan pantura) menggunakan cantrang di perairan 30-50 mil, dampaknya justru akan lebih besar dari penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal asing. Tangkapan kami pasti lebih anjlok,” kata Hendri.
Pada 2016, KKP juga pernah membuka kesempatan bagi nelayan pantura Jawa untuk melaut di Natuna. Bedanya, saat itu, nelayan pantura Jawa sebelumnya diberi modal dan insentif dana lebih dulu untuk mengganti cantrang dengan pukat cincin (Kompas, 22/7/2016).
Wakil Bupati Natuna Ngesti Yuni Suprapti berharap, pemerintah pusat bisa bertindak cepat menanggapi kekhawatiran nelayan lokal itu. Tindakan itu berupa segera menetapkan regulasi terkait daerah tangkap, alat tangkap, dan tempat penjualan ikan yang diizinkan sebelum memberangkatkan nelayan pantura Jawa ke Natuna.
”Kami ingin upaya pemerintah menyelesaikan masalah penangkapan ikan ilegal oleh kapal asing dengan mendatangkan nelayan dari pantura Jawa itu tidak malah menimbulkan konflik baru,” ujar Ngesti.
Selama ini, kapal asing banyak yang berani masuk ke Laut Natuna Utara karena jumlah nelayan lokal yang berani melaut hingga ke perairan itu masih sangat sedikit. Nelayan di Natuna, yang mayoritas mengandalkan kapal berukuran 5 GT, kesulitan menghadapi ombak tinggi di perairan itu.
”Kami butuh bantuan dari pemerintah pusat untuk mengembangkan nelayan lokal. Bantuan itu bisa berupa kapal berukuran di atas 5 GT atau juga bisa bantuan berupa pelatihan untuk meningkatkan kemampuan nelayan lokal,” kata Ngesti.
Selain itu, Ngesti juga mengimbau agar nelayan lokal tidak lagi khawatir bertemu kapal asing ketika melaut sampai ke perairan perbatasan. Patroli rutin yang dilaksanakan Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan TNI AL berhasil mengusir kapal asing dari perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara.