Ratapan yang Menguatkan
Sastra lisan yang dinyanyikan masyarakat rumpun Melanesia atas suatu kedukaan itu terasa menyayat hati. Namun, ”lament” atau nyanyian ratapan, justru bertujuan menguatkan.
Nyanyian ratapan deras mengalir sepanjang pertunjukan ”Planet-Sebuah Lament” garapan sutradara Garin Nugroho. Sastra lisan yang dinyanyikan masyarakat rumpun Melanesia atas suatu kedukaan itu terasa menyayat hati. Namun, ”lament” atau nyanyian ratapan, justru bertujuan menguatkan.
Awal adegan serupa visual gerak tangkapan video yang diproyeksikan di sebuah layar tembus pandang. Seorang ibu memipil biji jagung. Ia kemudian menyandang tongkat pelubang tanah dan pergi ke ladang untuk menyemai biji-biji jagung tadi.
Di balik layar transparan, kemudian muncullah sosok perempuan yang ada di dalam video tadi. Ia berjalan, lalu menyibak layar itu seraya menyanyikan sebuah lamentYamaindo, lament kedukaan atas kematian.
Perempuan ini diperankan Septina Rosalina Layan (29), seorang seniman musik, pianis, komposer, juga peneliti lament Melanesia yang menetap di Merauke, Papua.
Septina memperdalam seni musik di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, lulus 2014. Kemudian ia kembali ke Merauke dan mulai aktif mendokumentasikan lagu-lagu tradisi, termasuk lament di wilayah Papua selatan.
Saat ini sudah didokumentasikan 30 lament dengan menggunakan tangga nada pentatonik. Septina mendokumentasikannya menjadi partitur bernotasi angka dan balok.
Pendokumentasian lament dari wilayah Papua selatan dilakukan Septina jauh hari sebelum bertemu Garin Nugroho belum lama ini. Garin kemudian mengajaknya menjadi salah satu komposer pementasan ”Planet-Sebuah Lament”, bersama komposer Taufik Adam dan Nursalim Yadi Anugerah.
”Lament di pembukaan tadi sebuah ratapan yang biasa dilantunkan untuk suatu kematian. Lament sebagai ratapan yang memberikan kekuatan,” ujar Septina, seusai pementasan awal ”Planet-Sebuah Lament” untuk media, Kamis (16/1/2020), di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
Pementasan untuk publik digelar pada 17-18 Januari 2020 di tempat yang sama atas dukungan Bakti Budaya Djarum Foundation, Arts Centre Melbourne, dan Asia TOPA.
Bencana
Seusai lantunan Yamaindo oleh Septina, layar tembus pandang itu tergulung ke atas. Di atas panggung tampil tujuh perempuan dan tujuh laki-laki. Mereka kelompok paduan suara Mazmur Chorale asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang segera melantunkan lament ”Amma Amnauto”.
Lament ini lagu kepedihan hati atas kemarau panjang di Timor, NTT, yang membuat masyarakat susah dan kelaparan. Lament ini juga mengiringi narasi visual gerak yang dipindahkan ke layar dinding di belakang panggung. Di layar itu, seorang laki-laki terkapar dan terbungkus noken di pinggir debur ombak pantai. Ia tak sadarkan diri.
Narasi ”Planet-Sebuah Lament” ditulis Michael Kantor, sutradara teater dan opera kenamaan di Melbourne, Australia. Michael mengisahkan, laki-laki terkapar dan terbungkus noken itu satu-satunya manusia yang selamat dari bencana tsunami.
Lament dari Mazmur Chorale Choir terus dilambungkan. Getir dan pedih terasa menyayat hati. Laki-laki itu kemudian tersadar. Ia berusaha melepaskan diri dari noken Papua yang menjadi simbol rahim ibu itu. Noken terbuat dari serat kayu yang cukup kuat untuk membawa apa pun, termasuk bayi dan bahan pangan lainnya.
Sosok laki-laki ini diperankan Boogie Papeda asal Sorong, Papua Barat. Boogie seorang koreografer dan penari yang menyelesaikan jenjang pendidikan S-1 dan S-2 di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Sang Lelaki dalam sapuan tsunami itu kemudian mendapati sebuah telur besar. Telur ini merupakan simbol pangan dan energi kehidupan yang harus diselamatkannya. Empat monster yang tumbuh dari plastik dan sampah modernitas lainnya memburu telur itu. Para monster diperankan Douglas D’Krumpers, Pricillia EM Rumbiak, Bekham Dwaa asal Papua, dan satu lagi, Galabby Thahira asal Jakarta.
Para monster memainkan koreografi tarian hiphop. Mereka menyegarkan suasana di tengah lantunan serangkaian lament berturutan. Namun, adegan kembali menuju klimaks kepedihan. Para monster berhasil membunuh laki-laki yang tersisa dari bencana dan berusaha merebut telur simbol pangan dan energi kehidupan tadi.
Beruntunglah, telur itu sudah diselamatkan seekor burung yang diperankan koreografer Rianto, yang kini berbasis di Jepang. Rianto mengkhususkan diri dalam pengembangan seni lengger asal Banyumas, Jawa Tengah, tempat asalnya. Kisah Rianto inilah yang kemudian menjadi inspirasi Garin Nugroho dalam pembuatan film Kucumbu Tubuh Indahku (2018).
Isu global
Bukanlah Garin jika tidak mampu memainkan isu-isu global yang aktual di dalam setiap karya pertunjukannya. Di antaranya, lament atau ratapan dikaitkan dengan isu global perubahan iklim serta ancaman krisis pangan dan energi di masa mendatang.
Kawasan Indonesia timur menjadi sorotan di dalam isu global, terutama NTT dan wilayah Papua. Ada dampak perubahan iklim berupa kekeringan berkepanjangan di NTT. Ada isu politik terkait separatisme di Papua. Keputusan Garin menekankan kekayaan tradisi seni lament masyarakat Indonesia timur patut diapresiasi.
Inspirasi memanggungkan lament ini diperoleh Garin semenjak tujuh tahun silam. Ketika itu ia menjumpai lantunan lament di sebuah perayaan Paskah di Pulau Procida, Italia. Garin menjumpai hal serupa di Larantuka, Flores, NTT. Ia tersentuh lantunan merdu lament atau nyanyian ratapan yang dimainkan untuk sebuah tablo jalan salib sebagai kisah sengsara penyaliban Yesus di rangkaian perayaan Paskah.
”Lament itu mengisahkan kepedihan kemanusiaan, tetapi sekaligus untuk menemukan jalan cinta dan kebangkitan kembali di dunia,” ujar Garin.
”Planet-Sebuah Lament” dirancang berdurasi 70 menit. Pertunjukan ini merupakan gabungan teater, film, tari, dan nyanyian lagu sebagai perpaduan budaya Indonesia timur atau Melanesia.
Penulis naskah Michael Kantor menuturkan, para monster jelmaan plastik dan rongsokan sampah tak terurai di Bumi itu akan terus menggerus kehidupan manusia. Mereka terus memburu pangan dan sumber energi manusia.
Untuk pementasan di panggung, Direktur Seni ”Planet-Sebuah Lament”, Ong Hari Wahyu mengaktualisasikan konsep sampah tak terurai melalui rajutan baju bekas pakai.
Pertama kali, baju-baju yang dirajut terkait satu sama lain itu membentuk bidang persegi panjang dan digelar di lantai panggung. Di suatu adegan,
satu sudut rajutan baju ditarik ke atas dan ini berfungsi dekoratif panggung yang cukup menarik.
Di adegan berikutnya, satu titik sudut lainnya juga ditarik ke atas. Rajutan baju bekas itu pun terpapar menjadi layar panggung. ”Baju-baju bekas ini ada sembilan karung. Nantinya akan dibawa untuk pementasan ’Planet-Sebuah Lament’di beberapa negara berikutnya,” ujar Garin, sebelum mengawali pentas di panggung.
Pada Februari 2020, ”Planet-Sebuah Lament” dijadwalkan pentas di Melbourne, Australia. Berikutnya, juga akan dipentaskan di Dusseldorf, Jerman, dan di Amsterdam, Belanda.
Lakon ”Planet-Sebuah Lament” menjadi sebuah renungan sekaligus pertaruhan di tengah bertubinya bencana. Apakah segala pertarungan yang terlalui akan menjadi jalan keselamatan ataukah kehancuran paripurna.
Lament atau nyanyian ratapan pada akhirnya menyimpan harapan sekaligus kekuatan untuk kembali kepada keselamatan manusia dan planetnya.