Aksi SN Tak Dapat Dicegah Karena Kurangnya Empati di Lingkungannya
Sayang sekali, siswi sekolah menengah pertama berinisial SN hidup di lingkungan yang kurang kuat empati sosialnya. Beban persoalan yang dipikirkannya tidak terdeteksi oleh teman-teman, guru, dan pihak-pihak lain.
Oleh
Aguido Adri
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS –Kurangnya sikap empati dan kepekaan lingkungan sekitar berujung pada aksi bunuh diri. Seorang siswi sekolah menengah pertama berinisial SN (14) melompat dari lantai empat gedung sekolahnya pekan lalu. Jika lingkungan sekolah cepat menyadari prilaku siswi kelas VIII, kemungkinan aksi nekatnya bisa dicegah.
R (40), petugas kebersihan sekolah, sejak tiga bulan lalu menyadari ada yang tidak beres dengan prilaku SN. R kerap melihat SN menyendiri dan murung di lantai tiga. Bahkan sebelum SN terjun, temannya sesama petugas kebersihan melihat SN menangis di lantai 4. Saat itu, SN melepas sepatu, ikat pinggang, dan kacamata. Petugas itu membujuk SN untuk turun, tetapi SN masih ak beranjak dari tempatnya.
“Saya sudah lama menduga jika SN memiliki masalah, tetapi saya tidak tahu seberat apa masalahnya. Saya pun tidak berpikir untuk melaporkan apa yang saya lihat ke guru. Begitu pula ketika sebelum SN terjun, seharusnya kami cepat menyadari dan melapor ke guru,” kata R.
Berdasarkan laporan Data Kesehatan Dunia (Global Health Data Exchange) tahun 2017, prevalensi gangguan mental tertinggi di Indonesia berada di kelompok usia 15-19 tahun, yaitu 9,86 persen. Kelompok itu diikuti kelompok usia 10-14 tahun sebesar 9,25 persen.
Data mengenai anak atau remaja yang mengalami gangguan mental juga ditunjukkan hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat dalam Global School-Based Student Health Survey (GSHS) tahun 2015. Dalam laporan itu, disebutkan bahwa 60,17 persen pelajar SMP-SMA di Indonesia diindikasikan mengalami gejala gangguan mental emosional.
Tingginya angka gangguan mental pada anak dan remaja ini bisa saja terjadi karena orangtua dan masyarakat abai atau tidak paham terhadap gejala yang terjadi. Mereka menganggap perubahan sikap dan perilaku sebagai hal yang lumrah dalam pertumbuhan anak. Perkembangan mental anak menjadi terabaikan.
Penelitian serupa pada tahun yang sama dilakukan Kementerian Kesehatan dalam Global School-Based Student Health Survey (GSHS) terhadap 10.837 pelajar SMP dan SMA. Hasilnya, 5,2 persen responden pelajar memiliki ide bunuh diri, 5,5 persen sudah memiliki rencana bunuh diri, dan 3,9 persen telah melakukan percobaan bunuh diri.
Fenomena ini menjadi peringatan bahwa jangan abaikan sekecil apa pun gangguan mental pada anak dan remaja. Anak dan remaja secara umum belum mampu berpikir rasional dalam menghadapi tekanan atau masalah yang dialaminya.
Kurangnya empati ini disoroti oleh Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti. Ia menilai, empati dan kepekaan tampaknya tidak muncul di lingkungan sekolah terutama ada wali kelas dan guru bimbingan konseling (BK) yang merupakan orangtua peserta didik selama berada di sekolah.
Jika memang tidak terjadi perundungan, Retno menyoroti, kurangnya perhatian dari keluarga atau lingkungan sekitar bisa berdampak pada remaja. Ketiadaan empati dari lingkungan membuat SN tidak mempunyai tempat untuk berbagi masalah yang ia hadapi dan merasa tidak mendapat perhatian atau disayang.