Bayang-bayang Sepakbola dalam Pilkada
Meskipun belum ada prestasi cemerlang di Asia Tenggara apalagi Asia, sepakbola Indonesia punya posisi penting dalam diskursus kehidupan berbangsa. Di antaranya karena pilkada, ikut mempengaruhi. Seperti apa?
Meskipun belum memiliki prestasi cemerlang di level Asia Tenggara apalagi Asia, sepakbola di Indonesia telah memiliki posisi penting dalam diskursus kehidupan berbangsa di negeri ini. Sepakbola telah menghadirkan pengaruh bagi budaya sosial di Tanah Air, sehingga tak heran kontestasi politik, seperti pemilihan kepala daerah atau pilkada, tidak bisa terlepas dari “pengaruh” olahraga paling masyhur di muka bumi itu.
Sejak sistem pilkada serentak dimulai pada 2015 sejumlah tokoh yang dikenal berkecimpung di dunia sepakbola tidak pernah absen ikut bersaing dalam kontes demokrasi regional tersebut.
Dalam Pilkada 2018, contohnya, Presiden Direktur PT Sriwijaya Optimis Mandiri (SOM) atau Sriwijaya FC Dodi Reza Alex ikut bersaing sebagai calon gubernur Sumatera Selatan untuk menggantikan sang ayah, Alex Noerdin. Di awal Liga 1 2018, Sriwijaya merekrut sejumlah pemain berpredikat bintang, di antaranya, Hamka Hamzah, Makan Konate, Alberto “Beto” Goncalves, hingga Esteban Vizcara, bahkan skuad itu dilengkapi penunjukkan Rahmad Darmawan sebagai pelatih. Seperti diketahui, Rahmad adalah sosok yang mempersembahkan gelar Divisi Utama Liga Indonesia pertama untuk Sriwijaya FC.
Alhasil, Sriwijaya FC kala itu disebut sebagai salah satu kandidat juara. Tetapi, “Laskar Wong Kito” gagal menemukan konsistensi dalam menjalankan kompetisi. Hingga pertengahan musim, Hamka dan kolega hanya mampu bertengger di posisi ke-10 yang berjarak enam poin dari posisi juara paruh musim Persib Bandung.
Kebijakan untuk memberikan perhatian terhadap Sriwijaya FC nyatanya tidak mampu membuat Dodi bersama pasangannya Giri Ramanda Kiemas meraih suara mayoritas dalam Pilkada Gubernur Sumatera Selatan. Dodi-Giri kalah suara dari kompetitornya, Herman Deru-Mawardi Yahya. Setelah pemungutan suara pilkada, 27 Juni 2018, Dodi tidak lagi aktif dalam berbagai kegiatan Sriwijaya FC. Puncaknya, pada November 2018, Dodi mengundurkan diri sebagai Presiden Direktur PT SOM.
"Ketika sejumlah lembaga hitung cepat menyebut Dodi-Giri gagal meraih kursi gubernur-wakil gubernur Sumatera Selatan di hari pemungutan suara, 27 Juni 2018, sebulan berselang terjadi eksodus para pemain bintang dari Sriwijaya FC"
Ketika sejumlah lembaga hitung cepat menyebut Dodi-Giri gagal meraih kursi gubernur-wakil gubernur Sumatera Selatan di hari pemungutan suara, 27 Juni 2018, sebulan berselang terjadi eksodus para pemain bintang dari Sriwijaya FC. Alasannya, para pemain dan pelatih tidak menerima pembayaran gaji selama dua bulan. Bahkan setahun setelah Pilkada 2018, Sriwijaya FC digugat 28 pemain musim 2018 karena menunggak pembayaran gaji sebesar Rp 2,9 miliar.
Di akhir musim 2018, Sriwijaya FC terdepak dari persaingan kompetisi terelite di Tanah Air. Mereka berada di posisi ke-16, sehingga harus terdegradasi ke Liga 2. Berkompetisi di Liga 2 masih harus dilakukan Sriwijaya FC di musim 2020.
Padahal, Sriwijaya FC termasuk salah satu klub elite Indonesia sejak mengakuisisi lisensi klub Persijatim Solo FC pada 2004. “Laskar Wong Kito” sebelumnya menyandang dua gelar Liga Indonesia dan tiga gelar Piala Indonesia. Bahkan, pada musim 2009, Sriwijaya FC adalah duta Indonesia di Liga Champions Asia.
Di Liga 1 2018, nasib PSMS Medan nyaris serupa dengan Sriwijaya FC. Keduanya harus turun kasta di tahun yang sama setelah para pimpinan klub itu bertarung di Pilkada 2018.
Seperti diketahui, Pembina PSMS Medan Edy Rahmayadi, yang kala itu menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), memenangkan kontestasi Pilkada Gubernur Sumatera Utara.
Sebelum terpilih sebagai Gubernur Sumatera Selatan, Edy cukup memberi perhatian kepada PSMS Medan. Prestasi Edy ialah membawa kembali tim “Ayam Kinantan” kembali promosi ke Liga 1 pada tahun 2017 setelah sempat terseok-seok di Liga 2 sejak 2011. Tetapi, kesibukan Edy sebagai orang nomor satu di Sumatera Utara membuat nasib PSMS Medan terbengkalai.
Prestasi buruk yang dialami dua klub Sumatera itu tidak berlaku bagi satu-satunya klub asal Sulawesi di Liga 1, yaitu PSM Makassar. Walaupun pimpinannya berkiprah dalam Pilkada Wali Kota Makassar, Sulawesi Selatan, prestasi PSM Makassar masih jauh lebih baik dari Sriwijaya FC dan PSMS Medan. Sejak Pilkada 2018, PSM Makassar berhasil meraih gelar juara Piala Indonesia 2018, berada di peringkat ke-2 Liga 1 2018, dan semifinalis zona Asia Tenggara Piala AFC 2019.
Adapun CEO PSM Makassar Munafri Arifuddin ikut serta sebagai calon Wali Kota Makassar, tetapi dirinya kalah dari kotak kosong. Pasangan Munafri-Andi Rahmawatika Dewi meraih 264.245 suara, sedangkan kotak kosong mendapatkan 300.795 suara. Hal itu menjadi kemenangan perdana kotak kosong dalam pilkada.
"Adapun CEO PSM Makassar Munafri Arifuddin ikut serta sebagai calon Wali Kota Makassar, tetapi dirinya kalah dari kotak kosong"
Untuk meraih kursi Wali Kota Makassar, Munafri sebelumnya sempat mengadakan Asia Super Cup 2018, Januari 2018. Dalam turnamen pra-musim yang dimenangkan PSM Makassar itu, Munafri-Rahmawatika selalu hadir di lokasi turnamen, yaitu Stadion Mattoangin, Makassar. Bahkan, tiga hari jelang pemungutan suara, sejumlah pemain PSM Makassar, di antaranya, Ferdinand Sinaga, Zulkifli Syukur, dan Rizky Pellu, mengunggah foto di akun Instagram mereka yang berdampingan dengan foto Munafri-Rahmawatika dengan slogan “Makassar untuk Kita!”.
Pada Pilkada 2020, Munafri kembali akan maju sebagai calon wali kota Makassar. Kepada sejumlah wartawan ketika pengenalan tim pelatih PSM Makassar untuk musim 2020, awal Januari lalu, Munafri memastikan, dirinya tidak akan mundur sebagai CEO PSM Makassar, meskipun akan bertarung kembali pada Pilkada 2020.
“Saya begitu mencintai klub ini (PSM). Bukan hanya tahun ini, (isu mundur) itu juga pernah muncul dua tahun lalu, tetapi kami tetap bisa eksis di Liga 1,” kata Munafri yang sejak 2016 menjabat sebagai CEO PSM Makassar.
Selain Munafri, CEO Persela Lamongan Yuhronur Efendi juga telah menyiapkan diri untuk bersaing sebagai calon Bupati Lamongan, Jawa Timur. Saat ini Yuhronur merupakan Sekretaris Daerah Kabupaten Lamongan, Di bawah kendali Yuhronur, prestasi Persela cenderung stabil sebagai tim papan tengah.
Alat politik
Penggunaan klub sepakbola untuk meningkatkan elektabilitas tidak hanya terjadi dalam pemilihan pimpinan politik di Indonesia. Sebagai contoh di Italia, Silvio Berlusconi yang sempat menjadi Perdana Menteri Italia tiga periode, yakni Mei 1994-Januari 1995, Juni 2001-Mei 2006, serta Mei 2008-November 2011, dikenal terlebih dahulu sebagai pemilik klub AC Milan.
Berlusconi yang merupakan taipan media membeli AC Milan pada 1986. Di bawah kekuasaannya, tim asal Milan itu meraih kejayaan di akhir dekade 1980-an hingga awal 2000-an. Ia membentuk partai politik yang diberi nama dengan nuansa sepakbola, yaitu “Forza Italia” pada 1994. Partai itu pun yang mengantarkan Berlusconi sebagai orang nomor satu di “Negeri Pizza”.
Adapun di Turki, Juni 2019, Ekrem Imamoglu terpilih sebagai Wali Kota Istanbul. Dalam periode kampanye, ia gemar hadir di stadion dalam pertandingan tim terbaik di Istanbul, seperti Besiktas, Fenerbahce, dan Galastasaray.
Sebelumnya, Imamoglu sempat memimpin distrik barat Istanbul, Beylikduzu, pada 2014-2019. Untuk meraih kursi Wali Kota Beylikduzu, Imamoglu aktif sebagai pembina tim sepakbola lokal Beylikduzuspor.
Di Indonesia, keterlibatan sejumlah tokoh politik dalam klub sepakbola lebih terasa sebelum terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Melalui Permendagri itu, pemerintah melarang pemerintah daerah mengalokasikan anggaran belanja untuk keperluan klub profesional.
"Di Indonesia, keterlibatan sejumlah tokoh politik dalam klub sepakbola lebih terasa sebelum terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)"
Sejak sistem pilkada dipilih langsung oleh masyarakat sejak 2005, raihan gelar juara Divisi Utama Liga Indonesia suatu klub dapat berjalan simultan bagi keberhasilan karier politik tokoh pembina. Setidaknya sang tokoh pembina, yang umumnya juga berstatus kepala daerah di wilayah klub itu, mampu mempertahankan jabatannya di kontestasi pemilihan kepala daerah.
Misalnya ketika Persebaya Surabaya menjuarai Divisi Utama Liga Indonesia musim 2004, Ketua Umum Persebaya Bambang DH memenangkan Pemilihan Wali Kota Surabaya 2005.
Adapun Ketua Umum Persipura Jayapura Menase Robert Kambu meraih suara terbanyak dalam Pemilihan Wali Kota Jayapura 2005. Di tahun yang sama, Persipura meraih gelar juara Divisi Utama Liga Indonesia untuk yang pertama kalinya.
Prestasi politik yang dialami Bambang, dan Menase, sempat pula dialami Presiden Kehormatan Arema FC Rendra Krisna yang membawa Arema juara Liga Super Indonesia 2010. Pada tahun itu, Rendra juga meraih kursi Bupati Malang, Jawa Timur.
Menurut Elena Semino dan Michela Masci dalam “Politics is Football: Metaphor in the Discourse of Silvio Berlusconi in Italy (1996)” sepakbola digunakan para figur politik untuk menciptakan metafora demi menghadirkan imej positif bagi individu politisi maupun partai politik yang diwakili politisi tersebut. Melalui aktivitas mereka yang berkaitan dengan sepakbola memungkinkan mereka untuk membangun bermacam hubungan antara politisi dengan target pemilih mereka.
Bagaimana masyarakat pecinta bola di Indonesia cenderung hanya menjadi magnet bagi politisi? Jurnal bertajuk “The Politics of Indonesian and Turkish Soccer: A Comparative Analysis (2013)karya James M Dorsey dan Leonard C Sebastian menjelaskan, masyarakat Indonesia terjebak dalam tiga elemen neksus, yaitu sepakbola, politik, dan bisnis. Secara ideal, ketiga elemen itu seharusnya berkolaborasi untuk menghasilkan konstribusi bagi masyarakat yang bersinggungan dengan sepakbola.
“Masyarakat pecinta sepakbola di Indonesia harus mengorbankan uang pajak mereka yang digunakan elite daerah untuk kepentingan klub sepakbola, martabat mereka karena kurangnya penghargaan dari klub dan tim nasional, dan, bahkan, hidup mereka akibat berbagai insiden kekerasan dalam pertandingan,” tulis Dorsey dan Sebastian.
“Masyarakat pecinta sepakbola di Indonesia harus mengorbankan uang pajak mereka yang digunakan elite daerah untuk kepentingan klub sepakbola, martabat mereka karena kurangnya penghargaan dari klub dan tim nasional, dan, bahkan, hidup mereka akibat berbagai insiden kekerasan dalam pertandingan”
Koordinator Save Our Soccer Akmal Marhali mengungkapkan, sebelum tahun 2010, ketika penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk mengelola klub sepakbola belum diharamkan, keuangan daerah adalah keran utama pembiayaan untuk klub yang dipimpin oleh kepala daerah.
“Kala itu, prestasi klub sepakbola merupakan salah satu modal pencitraan kepala daerah yang ingin bertarung lagi dalam pilkada,” ujar Akmal.
Meskipun klub sepakbola telah mandiri dan tidak lagi bergantung pada APBD, menurut Akmal, citra sepakbola sebagai kendaraan politik belum sepenuhnya bisa dilepaskan. Sepakbola yang memikat minat orang banyak untuk hadir di stadion dan pemberitaan yang intens di media, lanjut dia, menjadi daya tarik untuk menaikkan elektabilitas bagi tokoh politik yang berniat bertarung dalam pilkada.
Lalu, apakah para tokoh sepakbola bisa meraih hasil yang lebih baik di Pilkada 2020? Hanya masyarakat yang akan menentukan ketika memasuki tempat pemungutan suara, 23 September mendatang.