Indonesia, melalui Kemenlu RI, menolak secara tegas klaim historis China atas ZEE Indonesia di perairan Natuna karena memang klaim itu tidak pernah diakui UNCLOS 1982, dasar hukum internasional.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·3 menit baca
Sejak akhir 2019 hingga awal Januari 2020 kita dikejutkan kehadiran konvoi kapal-kapal nelayan China, dikawal kapal penjaga pantai negara itu, menangkap ikan di ZEE Indonesia di wilayah Natuna. Aparat kita sampai mengerahkan tiga kapal perang untuk mengusir mereka keluar dari ZEE Indonesia, awal pekan.
Bagi kita, keterlaluan jika otoritas China mengawal nelayannya menangkap ikan di zona yang eksklusif bagi Indonesia. China tidak memiliki tumpah tindih klaim ZEE dengan Indonesia. Beijing selalu membela setiap kehadiran nelayannya di perairan itu, dan selalu berulang. Ketika aparat kita menangkap kapal nelayan China, Juni 2009, Beijing berang. Saat itu, untuk pertama kali, Beijing mengklaim perairan tempat aktivitas nelayan China itu sebagai area penangkapan tradisional (traditional fishing area) China.
Insiden setelahnya terjadi Maret 2016. KM Kway Fey 10078, milik nelayan China, ditangkap dan hendak ditarik ke Natuna. Hal ini dihalangi kapal penjaga pantai China. Tiga bulan setelahnya, 17 Juni, insiden serupa terulang ketika petugas TNI AL mengamankan awak kapal Han Tan Cou 19038 karena menangkap ikan di ZEE Indonesia.
Terkait dua insiden pada 2016 itu, Beijing menegaskan dan mengklaim, nelayannya menangkap ikan di tempat penangkapan tradisional China. Juga dikatakan, China memiliki tumpah tindih klaim dengan Indonesia atas hak dan kepentingan maritim di ZEE Indonesia.
Merespons insiden terbaru di Natuna akhir-akhir ini, Beijing menyebutkan, China memiliki hak-hak bersejarah atas apa yang disebut relevant waters. Walau alasan kehadirannya berubah-ubah, China tampaknya tetap berusaha atau merasa memiliki hak menegaskan klaimnya.
Klaim China itu berpijak pada batas-batas imajiner sepihak, yang disebut ”sembilan garis putus-putus” (nine dashed lines/9DL), di dalamnya mencakup ZEE Indonesia. Kemenlu RI menegaskan, klaim China itu ilegal karena bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) atau Hukum Perjanjian Laut Internasional, yang juga ikut diratifikasi China.
Indonesia, melalui Kemenlu RI, menolak secara tegas klaim historis China atas ZEE Indonesia di perairan Natuna karena memang klaim itu tidak pernah diakui UNCLOS 1982, dasar hukum internasional yang diterima secara umum di negara-negara terkait. Argumen China soal ”sembilan garis putus-putus” juga digugurkan melalui putusan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) tahun 2016.
Istilah relevant waters yang diklaim China tak dikenal dan tak sesuai UNCLOS 1982. Menlu RI Retno LP Marsudi, pekan lalu, menegaskan, berdasarkan UNCLOS 1982, Indonesia tak memiliki klaim tumpang tindih dengan China. Atas dasar itu, sangat tidak relevan berdialog apa pun dengan China tentang delimitasi batas maritim di perairan Natuna.
Ketidakjelasan makna 9DL, dengan istilah yang dikampanyekan Beijing berubah-ubah—relevant waters, historical rights, traditional fishing groud, dan istilah lainnya—menunjukkan China rancu dan galau menggambarkan klaimnya. Bagi Indonesia, dengan menegaskan klaim China itu ilegal, 9DL tak mungkin diperlakukan sebagai garis klaim untuk tujuan delimitasi maritim karena penarikannya bertentangan dengan hukum internasional dan hukum laut.
Apa yang harus dilakukan agar insiden-insiden seperti itu tidak berulang? Indonesia harus secara konsisten selalu hadir di perairan Natuna. Berpijak pada UNCLOS 1982 dan keputusan PCA tahun 2016, negara kita tidak boleh mundur dari ZEE Indonesia di Natuna.