UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu agar regulasi bisa menyesuaikan dengan bentuk-bentuk korupsi yang terus berkembang. Revisi harus memungkinkan pembuktian terbalik dan suap sektor swasta.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perkembangan bentuk-bentuk tindak pidana korupsi memerlukan antisipasi dalam pengaturan hukuman dan bagaimana menjerat para pelakunya. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor dinilai banyak yang kurang relevan dengan perkembangan dan semakin canggihnya kejahatan korupsi.
Pemerintah dan DPR pun dinilai perlu merevisi UU TIpikor. Menurut para peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) revisi perlu dilakukan agar regulasi bisa menyesuaikan dengan bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang terus berkembang.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Senin (20/1/2020), mengatakan, UU 20/2001 sudah lama tidak direvisi. Sehingga sudah tidak sesuai dengan bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang terus berkembang.
Ia memaparkan sejumlah poin terkait korupsi yang perlu diatur secara lebih detail dalam revisi UU 20/2001. Poin-poin tersebut di antaranya soal pidana hukuman mati, pembuktian terbalik, dan suap sektor swasta.
Kurnia mengkritisi Pasal 37 Ayat (1) UU 20/2001 yang mengatur soal pembuktian terbalik. Aturan itu menyebutkan, terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Hal itu berbeda jika dibandingkan dengan ketentuan di Pasal 77 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
“Di UU 8/2010 sifatnya adalah kewajiban untuk menjelaskan asal-usul harta kekayaan,” kata Kurnia di Kantor ICW, Jakarta.
Perbedaan itu yang disoroti ICW. Menurut Kurnia, bila merupakan harta kekayaan itu dari tindak pidana, maka akan menjadi bukti penguat bagi jaksa. Oleh sebab itu, Kurnia merasa perlu untuk memasukkan mekanisme pembalikan beban pembuktian pada revisi UU 20/2001. Alasan lain adalah karena isu ini juga berkaitan dengan recovery asset.
Poin lain yang dibahas adalah persoalan suap di sektor swasta, yang menurut Kurnia, telah menjadi masalah dewasa ini. Ia menjelaskan, ketika ada pihak swasta menyuap swasta, hal itu tidak bisa ditindak oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam sektor swasta ada persekongkolan horisontal yang mana akan berdampak pada ranah investasi karena ada potensi persaingan usaha yang tidak sehat.
Peneliti ICW lainnya, Wana Alamsyah, menambahkan, terminologi yang ada di dalam UU 20/2001 relasinya hanya dalam konteks penyelenggara negara dengan sektor swasta. Belum mengatur potensi adanya suap di antara pelaku swasta. Wana mengatakan, berdasarkan riset yang dilakukan ICW, sejak 2015 sampai 2018 setidaknya aktor paling banyak melakukan tindak pidana korupsi adalah dari unsur swasta.
“Artinya adalah selama ini kita melihat ada kecenderungan itu,” kata Wana.
Perdagangan pengaruh
Satu isu yang dinilai penting untuk diakomodir dalam revisi UU 20/2001 adalah soal perdagangan pengaruh yang belum diatur dalam UU tersebut. Wana menerangkan, perbedaan antara suap dan perdagangan pengaruh sangat tipis. Dalam perkara suap, ada dua subjek yang berinteraksi. Adapun dalam perdagangan pengaruh ada tiga subjek.
Perdagangan pengaruh sempat mencuat dalam kasus dugaan korupsi kuota impor sapi pada 2013 yang menyeret Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthi Hasan Ishaaq. Dalam kasus itu, Luthfi menggunakan posisinya sebagai Presiden PKS untuk mempengaruhi kebijakan Menteri Pertanian Suswono yang juga berasal dari PKS.
Belum diaturnya poin soal perdagangan pengaruh dalam UU 20/2001 menurut Wana sangat krusial. Sebab, penegak hukum butuh instrumen yang sangat jelas untuk menindak suatu perkara.
“Kalau seandainya tidak diundangkan di dalam revisi UU 20/2001, akan muncul perdebatan di tengah masyarakat apakah kasus ini bisa diaktegorikan sebagai penyuapan atau tidak,” ujar Wana.
Dihubungi secara terpisah Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Hukum, dan Kerja Sama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Bambang Wiyono mengatakan, belum mengetahui apakah pemerintah berencana untuk merevisi UU 20/2001 atau tidak.
Menurut Bambang, biasanya bila ada usulan revisi terhadap UU dari pemerintah, itu akan dibahas bersama tim pengusul dan tim internal pemerintah. Adapun revisi UU 20/2001 tidak masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2019-2024 yang ditetapkan DPR pada 17 Desember 2019.
“Yang jelas, kalau ada revisi UU, itu akan dibahas melalui Prolegnas. Nanti akan dibuat naskah akademik dan dibahas di Badan Legislasi DPR,” kata Bambang.