Pertemuan Moskwa gagal membawa Libya menuju damai. Giliran Eropa mengupayakan damai di Libya yang dilanda perang saudara.
Pembicaraan damai itu dilakukan setelah Komandan Tentara Nasional Libya (LNA) Jenderal Khalifa Haftar dan sekutunya menutup lebih dari setengah produksi minyak Libya. Haftar yang menguasai lebih dari separuh wilayah Libya, sejak April lalu, menyerang kota yang dikuasai pemerintah kesepakatan nasional (GNA).
Meski didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa, pemerintahan yang dipimpin Perdana Menteri Fayez al-Sarraj mulai kewalahan menghadapi pasukan Haftar. Al-Sarraj pun lalu membuat perjanjian maritim dengan Turki, yang mendapat tekanan dari beberapa negara pendukung Haftar, seperti Arab Saudi, Rusia, Uni Emirat Arab, dan Mesir. Bahkan, Barat menduga Haftar juga dibantu tentara bayaran Rusia.
Awal bulan ini diumumkan gencatan senjata. Namun, kedua belah pihak saling menyalahkan atas pelanggaran. Upaya menengahi gencatan senjata yang langgeng rusak, pekan lalu, pada pertemuan puncak di Moskwa.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Jerman berusaha mempertemukan kekuatan asing masing-masing pihak yang bertikai di Libya. Dalam draf komunike yang disiapkan, Jerman menyerukan semua pihak menahan diri dan tidak merusak fasilitas minyak di Libya. Draf itu juga mengakui NOC, perusahaan minyak negara yang berbasis di Tripoli, ibu kota Libya, yang diakui PBB, sebagai satu-satunya entitas sah yang diizinkan untuk menjual minyak Libya.
Haftar mundur dari KTT Turki-Rusia, pekan lalu, di Moskwa dan meningkatkan konflik ketika sekutu Haftar menutup pelabuhan minyak di wilayah timur, hingga memotong produksi minyak sebesar 800.000 barel per hari. Haftar berencana hadir pada pertemuan di Berlin, Jerman, Minggu (19/1/2020).
Harapan minimal dari pertemuan di Berlin, gencatan senjata permanen dapat disepakati. Akan tetapi, keputusan Turki yang mengabaikan permintaan Uni Eropa dan mengirimkan tentara membantu GNA sangat berbahaya di tengah dukungan terang-terangan Rusia dan negara lainnya.
KTT ini adalah upaya terbaru mengembalikan stabilitas dan perdamaian di Libya. Seperti upaya gagal sebelumnya dalam mengamankan gencatan senjata yang langgeng, Haftar akan menjadi pusat perhatian karena menjadi kunci utama perdamaian di Libya. Haftar secara dramatis meninggalkan perundingan di Moskwa pada 12 Januari sebelum menandatangani perjanjian dengan Fayez al-Sarraj.
Haftar ingin faksi-faksi bersenjata di Libya barat (GNA) membubarkan diri dan menyerukan agar kesepakatan militer dan maritim antara GNA dan Turki dibatalkan. Seperti dilontarkan Menlu Jerman Heiko Maas, Eropa dan para pemain yang berpengaruh di wilayah itu semuanya telah dipanggil ke Berlin. ”Kita harus memastikan Libya tidak menjadi Suriah kedua,” ujarnya.