Mencegah Libya Jadi ”Suriah Kedua”
Perundingan di antara pihak-pihak yang bertikai di Libya kembali digelar di Berlin, Jerman. Sasarannya jelas, agar konflik bersenjata di medan pertempuran berubah menjadi negosiasi di meja perundingan demi perdamaian Libya.
Konferensi internasional tentang Libya, yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa, digelar di Berlin, Jerman, Minggu (19/1/ 2020). Rakyat Libya dan masyarakat internasional tentu sangat berharap forum konferensi Berlin itu bisa menjadi awal proses politik baru yang dapat mengakhiri perang saudara di Libya pasca-ambruknya rezim Moammar Khadafy pada 2011.
Sebanyak 12 negara hadir dalam konferensi itu, yakni Amerika Serikat (AS), China, Rusia, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Mesir, Uni Emirat Arab, Turki, Aljazair, dan Kongo. Dari negara-negara itu, bahkan para pemimpinnya dijadwalkan hadir langsung: Presiden Vladimir Putin (Rusia), Presiden Recep Tayyip Erdogan (Turki), Presiden Emmanuel Macron (Perancis), PM Giuseppe Conte (Italia), dan PM Inggris Boris Johnson. AS mengirim Menlu Mike Pompeo.
Ada empat organisasi internasional dan regional yang turut berpartisipasi, yaitu PBB, Uni Eropa, Uni Afrika, dan Liga Arab. Dan, yang terpenting, hadir pula dua tokoh Libya yang bertikai, yakni PM Fayez al- Sarraj dan Khalifa Haftar. PBB dan Jerman adalah pihak yang berinisiatif menggelar konferensi di Berlin itu. Perang di Libya sudah hampir sembilan tahun berkecamuk.
Eskalasi sekitar Tripoli
Sejak April 2019, salah satu titik kecamuk pertempuran itu berlokasi di sekitar ibu kota Tripoli. Pasukan loyalis Haftar sampai saat masih gagal masuk Tripoli. Pasukan loyalis PM Sarraj berupaya mati-matian mempertahankan kota itu.
Perang Tripoli ini membuyarkan upaya politik yang digalang PBB selama ini. Perang tersebut secara de facto telah mengubur kesepakatan damai Skhirat, Maroko, pada Desember 2015 dengan sponsor PBB yang melahirkan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) pimpinan PM Sarraj. Perang Tripoli juga mengempaskan hasil konferensi internasional tentang Libya di Paris, Mei 2018; dan di Palermo, Italia, November 2018. Solusi Libya pun hingga kini masih buntu.
Utusan Khusus PBB untuk Libya, Ghassan Salameh, dalam wawancara dengan harian Asharq al-Awsat edisi Sabtu (18/1/ 2020) mengungkapkan, ide digelarnya konferensi tentang Libya di Berlin dilontarkan dalam pertemuan dirinya dengan Kanselir Jerman Angela Merkel di Berlin pada 15 Agustus 2019.
Namun, menjelang konferensi Berlin tersebut, perang Tripoli terus bereskalasi. Sarraj dan Haftar ingin memperkuat posisi politik masing-masing di forum konferensi Berlin. Haftar mendapat bantuan militer makin melimpah dari Mesir, UEA, dan Rusia untuk dapat menguasai Tripoli sebelum konferensi di Berlin digelar. Rusia disinyalir menggunakan tentara bayaran dari satuan Wagner untuk membantu Haftar. Haftar dilaporkan pula menyewa tentaran bayaran dari satuan Janjaweed Sudan.
Pasukan loyalis PM Sarraj pun mulai kewalahan menghadapi tentara bayaran dari Rusia dan Sudan itu. Hal ini mendorong Sarraj segera meminta bantuan militer Turki untuk mempertahankan Tripoli melalui kesepakatan kerja sama pertahanan dan kemaritiman Libya-Turki yang ditandatangani di Istanbul pada akhir November 2019. Turki diberitakan telah mulai mengirim tim penasihat militer, pasukan khusus, dan satuan dari Tentara Pembebasan Suriah (FSA) loyalis Turki ke Tripoli.
Stop opsi militer
Arah Libya ke depan pun bisa semakin runyam di tengah kemungkinan pecah perang langsung antara Turki dan Mesir di Tripoli. Ada kekhawatiran, konflik akan menyebabkan Libya jadi ”Suriah Kedua”. Maka, kini mulai dibangun lagi narasi: tak ada solusi militer di Libya. Semua pihak yang bertikai harus kembali ke opsi politik.
Turki segera menggandeng Rusia, seperti skenario di Suriah lewat forum Astana, untuk bekerja sama menciptakan gencatan senjata di Libya dan kemudian dimulai lagi proses politik. Duet Turki-Rusia itu sekaligus memperkuat misi konferensi Berlin setelah berhasil mengundang Sarraj dan Haftar ke Moskwa, Rusia, Senin (13/1/ 2020), agar keduanya mau menandatangani kesepakatan gencatan senjata.
Sarraj langsung menandatangani kesepakatan gencatan senjata itu. Namun, Haftar menolak menandatangani kesepakatan damai itu sebagai protes terhadap keterlibatan Turki dalam sponsor atas kesepakatan gencatan senjata tersebut. Kepada Menlu Jerman Heiko Maas yang dia temui di Benghazi, Kamis (16/1), Haftar menyatakan akan berkomitmen pada kesepakatan gencatan senjata meski tak menandatangani.
Kesediaan Haftar dan Sarraj berkomitmen pada kesepakatan gencatan senjata itu merupakan langkah positif. Langkah selanjutnya pasca-konferensi Berlin, yaitu menunggu komitmen regional dan internasional berandil menciptakan perdamaian di Libya.
Seperti dimaklumi, faktor utama terus berkecamuknya perang di Libya adalah ikut terseretnya negeri itu ke dalam pertarungan geopolitik di Timur Tengah. Sarraj didukung poros Turki-Qatar, sedangkan Haftar dibantu poros Mesir- UEA. Keterlibatan internasional dalam aksi dukung-mendukung di Libya juga memperunyam situasi negeri itu. Rusia-Perancis mendukung Haftar, sementara Italia membantu Sarraj.
Pasca-konferensi Berlin, semua kekuatan regional dan internasional itu mestinya angkat kaki dari Libya jika proses politik di negara itu diharapkan berhasil. Sebaliknya, sia-sia digelar konferensi Berlin apabila kekuatan regional dan internasional tetap bercokol di Libya.
Payung politik
Menurut Salameh dalam wawancara dengan Asharq al-Awsat, konferensi Berlin dipersiapkan cukup matang selama lima bulan terakhir ini dengan tujuan membentuk pemerintah persatuan nasional Libya. Ia juga mengungkapkan, konferensi Berlin akan menjadi payung politik bagi semua kesepakatan yang dicapai dalam forum konferensi Berlin dan kesepakatan politik susulan yang dicapai di antara pimpinan Libya di forum pertemuan atau perundingan lokal di internal Libya.
Salameh menyampaikan, ada proses politik paralel terkait Libya saat ini, yaitu pertama Konferensi Berlin dan kedua perundingan lokal Libya. Perundingan lokal Libya mencakup tiga isu, yakni politik, militer, dan ekonomi.
Menurut Salameh, perundingan terkait ekonomi sudah dimulai sejak 6 Januari, dihadiri delegasi kubu Sarraj dan Haftar. Adapun perundingan politik akan digelar di Geneva akhir Januari ini, sedangkan perundingan bidang keamanan akan digelar dalam waktu dekat di tempat yang ditentukan kemudian.
Menjelang konferensi Berlin, media Arab dan internasional memperoleh draf peta jalan menuju masa depan Libya. Di antara isi peta jalan itu adalah PBB membentuk komite yang bertugas membentuk pemerintah persatuan nasional dan menyiapkan pemilu. Komite itu akan terdiri dari 14 anggota dari kubu Sarraj, 14 anggota dari kubu Haftar, serta 14 anggota dari kelompok non-Sarraj dan non-Haftar.
Di bidang keamanan, akan dibentuk komite beranggotakan 5 perwira dari kubu Sarraj dan 5 perwira dari kubu Haftar untuk menyatukan militer Libya, sekaligus membubarkan milisi-milisi bersenjata. Kini menunggu komitmen semua pihak untuk menghormati dan melaksanakan hasil konferensi Berlin itu. Jangan sampai Libya menjadi ”Suriah Kedua”.