Perlu memahami orang miskin dan kemiskinan untuk mempercepat turunnya jumlah orang miskin dan mengatasi ketimpangan kesejahteraan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pekan lalu, per September 2019 jumlah orang miskin di perdesaan dan perkotaan turun dari 9,66 persen pada September 2018 menjadi 9,22 persen atau 24,79 juta orang, turun 0,88 juta orang.
Hal yang perlu mendapat perhatian adalah relatif tingginya jumlah penduduk miskin di perdesaan, yaitu 12,60 persen, dibandingkan dengan perkotaan sebesar 6,56 persen. Meskipun bila dibandingkan dengan nilai rasio gini tahun 2014 sebesar 0,414, ketimpangan saat ini turun cukup jauh, rasio gini yang menunjukkan ketimpangan, hanya turun tipis dari 0,384 pada September 2018 menjadi 0,380 pada September 2019. Penurunan terjadi di perdesaan, dari 0,319 menjadi 0,315, sementara di perkotaan tetap 0,391.
Secara nasional, BPS menggunakan angka garis kemiskinan Rp 440.538 per kapita sebagai dasar menghitung kemampuan memenuhi kebutuhan dasar makanan dan nonmakanan. Artinya, seseorang dianggap miskin bila pengeluarannya kurang dari Rp 15.000 per hari.
Hal yang perlu menjadi perhatian adalah tingginya sumbangan pengeluaran bahan makanan, yaitu beras, terhadap kemiskinan; di perdesaan menyumbang 25,82 persen dan di perkotaan 20,35 persen. Pengeluaran terbanyak kedua adalah rokok, masing-masing 10,37 persen dan 11,17 persen.
Tingginya pengeluaran untuk beras dan rokok menggambarkan sangat terbatasnya kemampuan keluarga miskin memenuhi kebutuhan dasar lain dan nonpangan, seperti kesehatan dan pendidikan. Ada baiknya mengkaji juga kebijakan bantuan berbentuk uang meski nontunai. Lihat juga hubungan antara program bantuan dan masih tingginya jumlah anak pendek karena kurang gizi, rendahnya literasi, serta masih tingginya angka kematian ibu melahirkan dan angka kematian bayi.
Pemerintah memberikan perhatian besar untuk pendidikan dan kesehatan dasar serta infrastruktur. Pemerintah juga terus mencari jalan membantu orang miskin. Namun, melambatnya penurunan jumlah orang miskin dan rasio gini memperlihatkan semakin tidak mudah mengurangi jumlah orang miskin di tengah perbaikan pendapatan per kapita nasional.
Agar kebijakan dapat tepat membantu orang miskin, ada baiknya memahami orang miskin seperti saran peraih Nobel ekonomi, Abhijit V Banerjee dan Esther Duflo dalam Poor Economics. Keduanya menemukan, bantuan kredit mikro sangat membantu mengatasi kemiskinan walau bukan resep ajaib.
Orang miskin di banyak negara berkembang kerap harus mengurus diri mereka sendiri ketika ekonomi melambat. Indonesia diprediksi akan mengalami perlambatan ekonomi tahun ini. Kiranya pemerintah menaruh perhatian khusus agar perlambatan itu tidak membuat orang miskin semakin sulit dan yang hampir miskin jatuh menjadi miskin.